Bambang Soepeno, Penyusun Sapta Marga TNI Ditahan Orde Baru
Meski usianya lebih muda, Bambang Soepeno senior Soeharto di TNI. Pendukung fanatik Sukarno ini ditahan Orde Baru.
Suatu hari, Brigadir Jenderal TNI Soemitro, Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), bertemu dengan Mayor Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah yang menjabat Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) menggantikan Letnan Jenderal TNI Soeharto. Umar menyampaikan keluhannya.
“Mit, Bambang Soepeno mengadakan kegiatan-kegiatan yang macam-macam. Dia berbuat yang aneh-aneh,” kata Umar, seperti dingat Soemitro dalam Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib. Setahu Soemitro, Bambang Soepeno adalah orang yang pintar omong.
Harold A. Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia menyebut Bambang Soepeno sebagai orang yang fanatik terhadap Sukarno. Bambang Soepeno yang tinggal di Jakarta disebut telah menghimpun para perwira muda yang dianggap sebagai Pelindung Inti Revolusi (Petir). Ia juga termasuk orang yang mendorong diadakannya pertemuan pada 25 dan 26 Oktober 1966 di Tretes.
Pertemuan di Tretes kemudian melahirkan Keluarga Besar Brawijaya, yang berisikan bekas pemimpin pejuang tentara di Jawa Timur pada masa revolusi. Di dalamnya ada Basuki Rachmat, Sudirman, Soengkono, dan lainnya.
“Tanggal 3 Februari 1967 Keluarga Besar Brawijaya bertemu dengan Bung Karno di Istana di Jakarta. Saya, sebagai Panglima Brawijaya memimpin rombongan itu, yang terdiri dari para mantan Panglima Brawijaya,” kata Soemitro.
Setelah pertemuan, koran El Bahar yang dikendalikan keponakan Sukarno, Laksamana R.S. Poegoeh, menggambarkan bahwa Keluarga Besar Brawijaya mendukung Sukarno. Bahkan, ada kabar bahwa pada 10 November 1967 ada rencana untuk “menculik” Presiden Sukarno ke Jawa Timur untuk melawan Orde Baru yang baru tumbuh. Gosip tinggalah gosip dan Kolonel Bambang Soepeno akhirnya ditangkap.
Tak semua jenderal di Angkatan Darat suka terhadap Bambang Soepeno. Dulu, dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 Bambang Soepeno adalah orang yang mendesak Presiden Sukarno untuk memecat Kolonel Abdul Haris Nasution. Ia disebut memberi bahan kepada parlemen untuk mencerca kepemimpinan Angkatan Darat.
Sebelum 1953, Bambang Soepeno pernah menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakil KSAD). Jabatan itu disandangnya dengan pangkat kolonel. Bambang Soepeno sendiri tak pernah menjadi jenderal. Usia pria kelahiran 1924 ini ketika menjabat Wakil KSAD belum mencapai 30 tahun.
Pada zaman pendudukan Jepang, Bambang Soepeno dilatih menjadi perwira oleh tentara Jepang dalam tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Ia berkebalikan dengan Kolonel A.H. Nasution. Jika Nasution punya ijazah SMA, Bambang Soepeno hanya terhitung lulusan SMP.
“Di PETA ia menjadi shodancho (komandan peleton) dan tampak sekali pengaruh tentara Jepang padanya. Sikapnya, caranya berpakaian, dan bicaranya banyak menirukan perwira Jepang,” tulis Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Wakil KSAD, dalam Kepemimpinan ABRI.
Mayor Jenderal TNI (Purn.) Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia mengingat Bambang Soepeno dengan tubuhnya yang agak gemuk mengesankan diri seperti jenderal Jepang penakluk Malaya, namun cara berjalannya mirip serdadu bawahan Jepang.
Hario Kecik menyebut Bambang Soepeno kurang dianggap oleh perwira Jawa Timur. “Terlebih lagi mereka tahu bahwa Bambang Soepeno tidak pernah ikut dalam pertempuran besar di kota Surabaya,” kata Hario Kecik.
Menurut Sayidiman, sejak 1947 Bambang Soepeno adalah komandan resimen Polisi Tentara di Divisi Malang. Setelah Agresi Militer Belanda I, Kolonel Bambang Soepeno yang berusia sekitar 23 tahun menggantikan Jenderal Mayor Imam Sudja’i sebagai Panglima Divisi karena dianggap kurang berhasil.
Setelah reorganisasi tentara, Bambang Soepeno tidak dijadikan panglima di Jawa Timur. Ia ditarik ke Markas Besar Komando Djawa sebagai Kepala Teritorial. Setelah tahun 1950, ia dijadikan Wakil KSAD untuk urusan umum.
Baca juga: Lima Jenderal yang Dimatikan Soeharto
Sayidiman menyebut Bambang Soepeno tidak puas terhadap kepemimpinan Nasution. Di antaranya ia menganggap Nasution terlalu mengikuti arahan dari Misi Militer Belanda pasca Konferensi Meja Bundar, di mana pada masa itu ada pertentangan terselubung antara bekas PETA dan bekas KNIL. Di masa pertentangan itu, Bambang Soepeno semakin mendekatkan diri kepada Presiden Sukarno.
Kedekatan Bambang Soepeno dengan Sukarno telah terjadi sejak zaman revolusi. Sukarno menjodohkannya dengan Sri Kusdiyantinah. Perempuan kelahiran 27 Juni 1931 ini anak Raden Sediono Padmohadiprojo yang pernah menjadi bupati Sintang, Kalimantan.
“Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia,” kata Subandrio dalam Kesaksianku tentang G-30-S.
Baca juga: Cerita di Balik Perumusan Sapta Marga TNI
Subandrio menyebut Bambang Soepeno pernah dicalonkan menjadi panglima di Jawa Tengah, namun pendukung Soeharto menolaknya. Secara usia, Bambang Soepeno lebih muda dari Soeharto tetapi pangkatnya di TNI lebih tinggi.
Terlepas dari tindakan politiknya, yang tak malu-malu itu, Bambang Soepeno diingat sebagian salah seorang yang ikut menyusun pedoman prajurit TNI. Madjalah Sedjarah Militer Angkatan Darat, No. SA-20, 1961, menyebut Kolonel Bambang Soepeno adalah pemimpin tim penyusun Sapta Marga.
Bambang Soepeno ditahan hingga tahun 1970. Ia dibebaskan karena kurang bukti. Ia yang punya penyakit lever tutup usia pada 1976. Sri Kusdyantinah yang suka sastra kemudian menikah dengan Subandrio pada 1980. Nasib Bambang Soepeno dan Subandrio sama-sama pernah jadi tahanan politik Orde Baru.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar