Ali Moertopo Disebut Pernah Jadi Agen Belanda
Ali Moertopo pernah ditangkap karena dicurigai agen Belanda. Hampir saja dihabisi.
Letnan Jenderal TNI Ali Moertopo merupakan salah satu jenderal penting Orde Baru di awal dekade 1970-an. Kala itu, ia menjabat staf pribadi Presiden Soeharto dan wakil kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, kini Badan Intelijen Negara).
Ali Moertopo, menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, merupakan jenis perwira yang mampu memecahkan masalah secara efisien. Ia punya cara mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia. Setelah usaha itulah, bekas perwira intelijen Soeharto itu naik mendapat jabatan-jabatan penting terkait intelijen.
Setelah digeser dari jabatan intelijen, Ali Moertopo tetap jadi orang penting bagi Orde Baru dengan jabatan terakhir menteri penerangan.
Tidak banyak catatan tentang Ali Moertopo ketika muda. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menyebut pria kelahiran Blora, 23 September 1924 itu lulusan Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO) tahun 1941. Di awal revolusi kemerdekaan, Ali Moertopo menjadi anggota Resimen 17 Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Pekalongan. Pada era 1950-an, ia pernah menjadi komandan kompi Batalyon 431 Banteng Raiders di Jawa Tengah.
Suatu waktu di era 1990-an, beberapa veteran mempermasalahkan apa yang dicatat sejarawan Cornelis van Dijk tentang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang menyebut Kapten Ali Moertopo selaku komandan militer kota menjebak Kutil masuk ke Pekalongan dan meringkusnya. Para veteran meragukan kisah itu karena kala itu Ali Moertopo hanya dianggap tobang atau pembantu tentara. Kutil alias Sakhyani terkenal sebagai jagoan rakyat yang terlibat dalam revolusi sosial di tiga daerah (Brebes, Pemalang, dan Tegal).
“Seingat kami, Pekalongan tidak pernah diserbu oleh gerombolan Kutil, kalau tidak salah justru Resimen 17 yang menyerang kedudukan Kutil, dengan mamanfaatkan Pak Thalib (mantan bromocorah kelas berat) yang berpengaruh dan disegani,” kata Harijadi Djajadiputra dalam suratnya kepada pamannya, Wadyono tanggal 22 Mei 1992, yang tersimpan dalam koleksi digital sejarawan Anton Lucas.
Baca juga: Koleksi Digital Anton Lucas
Wadyono merupakan salah satu tokoh kunci dalam peristiwa tiga daerah. Wadyono menjabat komandan Resimen 17 ketika Kutil dan pengikutnya merajalela di Pekalongan. Jadi, Wadyono atasan tertinggi Ali Moertopo di Resimen 17. Wadyono juga punya cerita tentang Ali Moertopo ketika muda.
“Pernah Ali Moertopo pada pertemuan reuni mantan anggota Resimen 17 di Pekalongan tahun 1980-an mengatakan bahwa waktu Belanda masuk Pekalongan, aksi polisonil pertama, ia tidak lari ke luar kota, tapi berjuang melawan Belanda di dalam kota. Hal itu ia ceritakan dengan bangga. Waktu itu ia sudah menteri penerangan,” kata Wadyono dalam suratnya kepada Anton Lucas tanggal 29 Mei 1992.
Setelah Ali Moertopo tutup usia pada 15 Mei 1984 di Jakarta, muncul cerita-cerita tentang Ali Moertopo muda. Salah satunya cerita yang menyebut Ali Moertopo pernah menjadi mata-mata Belanda.
“Sesudah Ali almarhum, ada bekas anak buah saya yang menghubungi saya dan mengatakan bahwa Ali waktu itu menjadi anggota NEFIS (Netherlands Force Intelligence Service). Bahkan kemudian waktu Belanda mundur ia ditangkap anak buah saya, lalu dibawa ke Wiradesa akan dibunuh. Tapi tidak jadi,” kata Wadyono.
Rival Ali Moertopo, yakni Jenderal TNI Soemitro juga mendapat informasi dari Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Masyumi, bahwa pada masa revolusi Ali Moertopo tertangkap di Tegal.
“Katanya (Kasman Singodimedjo) Ali Moertopo dulu bekas tentara Angkatan Laut Belanda, ia bagian dari spionase (Netherlands Force Intelligence Service). Kemudian ia tertangkap di daerah Tegal oleh Hizbullah,” kata Soemitro dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74 karya Heru Cahyono.
Ali Moertopo mau dibunuh, tetapi oleh komandan Hizbullah dicegah, “Jangan dibunuh, orang ini bisa dimanfaatkan.” “Nah, kemudian dimanfaatkanlah Ali Moertopo sebagai double agent,” kata Soemitro.
Sementara itu, menurut Wadyono, Ali Moertopo tidak dihabisi mungkin ada satu “deal" tertentu karena Ali Moertopo memang pandai bicara. Ketika Wadyono bertanya kepada bekas anak buahnya kenapa tidak menceritakan kisah Ali Moertopo itu sedari dulu. Ia menjawab, “siapa yang berani pada waktu itu.” Maksudnya waktu Ali Moertopo masih hidup dan menjadi pejabat penting Orde Baru.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar