Aksi Tentara Semut di Zaman Revolusi
Anak-anak di Sumatra Barat ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Disebut tentara semut, mereka bertugas menjadi mata-mata hingga merakit bom molotov.
SEKILAS tak ada yang mencurigakan dari gerak-gerik anak-anak yang tengah asyik bermain di siang hari itu. Namun, tanpa disadari oleh orang-orang di sekitarnya, anak-anak tersebut sesungguhnya tengah menggali informasi mengenai pergerakan tentara Sekutu dan NICA di Padang.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak hanya dilakukan orang-orang dewasa. Anak-anak juga tergerak untuk ikut ambil bagian dalam mengusir pasukan Belanda. Di Sumatra Barat, anak-anak ini disebut tantara samuik atau tentara semut.
Dalam Ensiklopedi Minangkabau dijelaskan, tantara samuik atau tentara semut adalah sebutan populer yang diberikan masyarakat untuk menyebut kelompok anak-anak remaja yang terpanggil untuk membantu perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan pada masa Aksi Militer Belanda I dan II tahun 1947–1948. Anak-anak ini diberi latihan dasar kemiliteran dan tugas-tugas bantuan seperti menjadi kurir, mata-mata, hingga petugas palang merah.
Baca juga: Mengerjai Tentara Pelajar
Menurut Erniwati dalam “Everyday life of the Chinese in Revolutionary Padang, 1945–1948” termuat di Revolutionary Worlds: Local Perspectives and Dynamics during the Indonesian Independence War, 1945–1949, para intel Republik juga kerap mendapat informasi mengenai aktivitas pasukan Sekutu dan NICA di Padang dari warga sekitar yang sering kali memperoleh informasi tersebut dari anak-anak mereka sendiri.
“Berusia antara 7 hingga 12 tahun, anak-anak ini ‘berpatroli’ di jalanan sambil bermain bola, menerbangkan layang-layang, dan permainan lainnya di siang hari, sementara di malam hari, mereka memata-matai tentara Sekutu dan NICA. Anak-anak ini dikenal sebagai ‘tentara anak’ (Tentara Cilik atau Tentara Samuik),” tulis Erniwati.
Tak jarang anak-anak ini menyelinap ke daerah pendudukan musuh untuk mencari informasi apa saja yang bisa mereka dapatkan. Selain itu, tentara semut juga kerap membantu menyelundupkan alat-alat keperluangan perjuangan.
Salah satu tokoh yang pernah menjadi anggota tentara semut adalah Azwar Anas, menteri perhubungan dan menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat era Orde Baru. Dalam biografinya, Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang yang ditulis Abrar Yusra, mantan Ketua Umum PSSI (1983–1991) itu mengisahkan, ia dan adiknya, Akil Anas, merupakan anggota tentara semut pimpinan Mayor Syuib.
“Di zaman Jepang, Mayor Syuib melatih kami sebagai tentara cilik. Kami dilatih berperang menggunakan bambu runcing di Rawang, Mata Air. Kala itu saya memang suka main perang-perangan dan kepada kami ditanamkan jiwa prajurit,” kenang Azwar.
Baca juga: Calon Insinyur Gugur dalam Pertempuran
Ketika pasukan Belanda hendak kembali menguasai Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Azwar dan sebagian tentara cilik direkrut menjadi tentara semut. Tugas mereka mengawasi pergerakan Sekutu. Di bawah komando Pak Marah Capuak, Azwar sering ditugaskan menjadi penjual telur ke tangsi Sekutu di Ganting untuk mencari informasi. Pria kelahiran 2 Agustus 1933 itu kemudian melaporkan hasil pengintaiannya. “Tentara Sekutu yang India dan Pakistan baik-baik,” sebut Azwar. “Kepada merekalah Pandeka Samuik, pejuang yang sangat terkenal saat itu, membeli senjata buat kebutuhan pejuang gerilya Indonesia.”
Selain menjadi mata-mata, anggota tentara semut juga mendapat tugas membuat bom-bom molotov. Menurut Azwar, dibutuhkan teknik tersendiri untuk merakit bom ini. Pasalnya, jika salah memasang sumbu, bom tak bisa meledak. Biasanya dalam membuat bom ini, ia dan kawan-kawannya akan memasukkan pecahan kaca, bensin, pasir halus, dan cabe rawit ke dalam botol. Bom-bom molotov rakitan tentara semut kemudian dikirim kepada para gerilyawan yang kekurangan senjata di berbagai medan pertempuran di kota Padang maupun di luar kota.
Baca juga: Pelajar Makassar Bernyali Besar
Azwar yang kala itu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama juga mendapat tugas membuat spanduk dan poster berisi slogan-slogan perjuangan dalam bahasa Inggris. Pernah suatu pagi setelah memasang poster perjuangan, ia disergap serdadu Ambon dari pasukan NICA di markas mereka di Jalan Sudirman, Padang. Kendati sempat ditangkap, akhirnya ia dibebaskan.
Menjalani hidup di tengah keadaan genting, ditambah lagi menjadi anggota tentara semut, Azwar sadar harus waspada dan berhati-hati. Rumahnya di Mata Air pernah menjadi sasaran tembak tentara Belanda. Kala itu adiknya tengah berada di dalam rumah. Beruntung Akil selamat meski anjing dan dinding rumahnya diterjang peluru. Peristiwa ini cukup membekas bagi Azwar dan adiknya. Oleh karena itu, jika mereka merasa kondisi tengah tidak aman –khususnya ketika tentara Sekutu berpatroli ke wilayah Mata Air– keduanya tidak pulang ke rumah dan memilih menginap di rumah kerabat.
Seperti Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), tentara semut di Sumatra Barat menjadi fragmen tersendiri dalam sejarah perjuangan bangsa. Kehadiran tentara semut merupakan manifestasi dari semangat perjuangan rakyat dalam mengusir penjajah yang melibatkan semua lapisan masyarakat termasuk anak-anak.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar