Akhir Palagan Jenderal Sayidiman Suryohadiprodjo
Mengenang Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo: sosok pelaku sejarah sekaligus intelektual TNI Angkatan Darat yang pendapatnya kerap hadir dalam berbagai ulasan sejarah militer Indonesia.
Satu lagi pelaku sekaligus saksi sejarah telah berpulang. Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo wafat dalam usia 93 tahun. Setelah sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto, sang jenderal menghembuskan nafas terakhirnya pada 16 Januari pukul 16.35 WIB. Pada tahun-tahun terakhirnya, Pak Sayidiman selalu berkenan membagikan banyak kisah dan memori-nya kepada kami dari Historia.
Sayidiman lahir di Bojonegoro pada 21 September 1927. Memulai karier militernya sebagai jebolan Akademi Militer Yogyakarta angkatan pertama tahun 1948. Akademi itu digagas oleh Kepala Staf TKR Letjen Oerip Soemohardjo untuk mencetak tentara profesional. Di sana, Sayidiman merupakan salah satu lulusan terbaik dan ada di peringkat ketiga.
Ketika majalah Historia (nomor 32) mengangkat ketokohan Oerip Soemohardjo sebagai laporan utama pada 2016, saya ditugaskan untuk mewawancarai Sayidiman. Saya sempat ragu Pak Sayidiman bersedia menanggapi, mengingat usianya yang sudah cukup lanjut saat itu (89 tahun). Ternyata yang bersangkutan berkenan. Ingatannya pun masih cukup segar dalam bertutur. Perbincangan dengan Pak Sayidiman selalu mengalir terbuka dan cukup panjang.
“Pak Oerip adalah militer sejati, a no-nonsense man. Tapi dengan perasaan yang halus. Yang disampaikan beliau agar kita menjadi perwira yang baik, cinta tanah air dan bangsa, penuh rasa tanggung jawab, teguh disiplin,” kata Sayidiman saat itu.
Baca juga: Gebrakan Pertama Si Opsir Tua
Ketika menjadi kadet di Akademi MIliter (MA), Sayidiman pernah terlibat langsung dalam penumpasan PKI di Madiun . Saat itu, dia adalah komandan kadet MA. Dia ditugaskan untuk bergabung dengan Batalyon Nasuhi yang masuk dalam Divisi Siliwangi untuk menumpas pasukan merah di Madiun.
Ketika menjadi komandan Batalion 309 Siliwangi, Sayidiman turun lagi ke berbagai palagan. Secara guyon, Sayidiman menyebut batalion pimpinannya sebagai “Batalion Aki” (batalion kakek) karena usia rata-rata prajuritnya terbilang senior mendekati usia 30. Bersama Batalion 309, Sayidiman memimpin operasi militer penumpasan Darul Islam di Jawa Barat dan PRRI di Tapanuli.
Ketika bertempur di Tapanuli, Sayidiman menuturkan kepada saya persinggungannya dengan Mayor Boyke Nainggolan, perwira tempur PRRI yang paling menonjol. Sebelum melancarkan serangan, Sayidiman sempat mengirimkan surat kepada Boyke agar turun dari persembunyiannya namun tidak digubris. Menurut Sayidiman, PRRI di Sumatra lebih mengutamakan perlawanan yang gagah berani ketimbang menggunakan taktik gerilya.
“Andai kata iya (bergerilya), akan repot kita hadapi gerilya di Bukit Barisan,” kata Sayidiman.
Baca juga: Aksi Pembangkangan Boyke Nainggolan
Pada dekade 1960-an, Sayidiman bertugas di Markas Besar Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) sebagai perwira pembantu bidang operasi. Penempatan itu memungkinkan Sayidiman mengenal dari jarak dekat para perwira tinggi yang tergabung dalam ring satu jajaran Angkatan Darat. Mulai dari Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani hingga para deputi maupun asistennya.
Sayidiman mengatakan, Mayjen Moersjid (Deputi I/Operasi) pribadi yang cukup dinamis walupun merupakan deputi termuda. Tipikal komandan pasukan yang sukses dan dapat berpikir Barat. Sedangkan Mayjen M.T. Harjono (Deputi III/Pembinaan), kata Sayidiman adalah seorang intelektual bermutu; kompensasi dari kurangnya pengalaman militer di lapangan. Mayjen S. Parman (Asisten I/Intelijen) disebut Sayidiman sebagai asisten yang paling cerdas. Mayjen Djamin Gintings (Asisten II/Operasi), atasan langsung Sayidiman digambarkan sebagai perwira yang dekat dengan anak buah namun kurang kritis. Sementara itu, Sayidiman mengenang Brigjen D.I. Pandjaitan (Asisten IV/Logistik) sebagai perwira yang enerjik, kritis, tapi mampu menghargai kualitas kinerja staf yang baik.
Meski punya karakter beragam, menurut Sayidiman tingkat intelektual SUAD pada era kepemimpinan Yani tidak dapat ditandingi. Tuturan Sayidiman mengenai para deputi dan asisten Yani tersebut cukup menarik dan telah terkisah dalam artikel di Historia. Selain itu, pengalaman berharga di SUAD sepertinya mempengaruhi Sayidiman dalam membentuk pola pikir militernya.
Selepas dinas dari SUAD, karier militer Sayidiman kian menanjak. Pada 1968, Sayidiman diangkat sebagai panglima Kodam XIV/Hasanuddin di Sulawesi Selatan. Sayidiman kemudian ditarik ke pusat untuk menjabat ketua Gabungan Personil (G-III) di Departemen Hankam.
Pada jenjang perwira tinggi ini, Sayidiman lebih dikenal sebagai perwira intelektual. Tipikal jenderal pemikir. Kiprah gemilang Sayidiman membuatnya digadang-gadang sebagai salah satu sosok pemimpin TNI di masa mendatang. Kans ini cukup besar, mengingat Sayidiman juga berasal dari Angkatan 45 yang turut dalam perang kemerdekaan.
Pada 1973, Sayidiman menjabat wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Nahas bagi Sayidiman terjadi setelah pecah kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Peristiwa yang sarat intrik politik itu menyebabkan Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro terjungkal dari kedudukannya. Wakil Kepala Bakin Mayjen Ali Moertopo, perwira intelijen perancang Operasi Khusus (Opsus) disebut-sebut berada dibelakang kejadian ini.
Baca juga:
Menurut pengamat militer Salim Said, Sayidiman adalah seorang yang di mata Presiden Soeharto tergolong kelompok Soemitro. Sayidiman tersingkir. “Akibatnya, tak seorang pun lulusan MA (Militaire Academie) Yogyakarta yang mencapai pangkat Jenderal bintang empat dan berkesempatan menduduki kursi KSAD” ungkap Salim dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Saya sempat menanyakan kepada Pak Sayidiman sehubungan dengan apa yang terjadi padanya dalam peristiwa Malari. Menurut Sayidiman, Soemitro terlalu yakin dengan kekuasannya sebagai pangkopkamtib lantas terjebak oleh kelihaian permainan intelijen Ali Moertopo. Akibatnya, Soemitro, Kepala Bakin Letjen Sutopo Yuwino, termasuk dirinya sendirinya menjadi korban.
“Saya dituduh mengatur perwira-perwira muda untuk turut Malari,” ujar Sayidiman dalam percakapan via pesan teks, 10 Januari 2019 silam.
Baca juga:
Pasca Malari, Sayidiman digeser ke pinggir menjadi gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Pada 1979, Sayidiman diangkat sebagai duta besar Indonesia untuk Jepang. Setelah itu, Sayidiman menjadi duta besar keliling untuk wilayah Afrika. Masa purnabakti itu tiba pada 1 Oktober 1982. Sayidiman pensiun dengan pangkat letnan jenderal.
Sekalipun tudingan yang pernah ditimpakan atas namanya itu tidak terbukti, Sayidiman tetap dapat berbesar hati. “Tapi saya tidak pernah dendam terhadap Ali Moertopo, sama sekali,” katanya. Sayidiman menang dalam pertempuran mengalahkan ego dirinya sendiri. Barangkali rasa legowo dan bebas dari dendam itu pula yang membuat Sayidiman tetap sehat sampai lanjut usia. Hingga pada akhirnya dia boleh beristirahat dengan tenang dari semua palagan di atas dunia.
Selamat jalan, Jenderal. Terimakasih telah berbagi kisah dan memori.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar