Agus Hernoto, Legenda Kopassus
Dia terlibat dalam berbagai operasi Kopassus. Peraih Bintang Sakti ini kemudian memegang kendali Operasi Khusus.
April 1962, bertepatan dengan Hari Kopassus. Pasukan gabungan, 30 prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (kemudian menjadi Kopassus), 18 anggota Pasukan Gerak Tjepat TNI AU, dan dua prajurit Zeni, diterjunkan di sebelah utara Fakfak, Irian Barat. Operasi Banteng I ini dipimpin oleh anggota RPKAD, Letda Agus Hernoto.
Agus bergabung dengan RPKAD pada awal tahun 1956. Dia menerima pelatihan langsung dari Mayor Idjon Djanbi. Mantan anggota Korps Speciale Troepen bernama Rokus Bernardus Visser itu ditunjuk sebagai komandan RPKAD pertama. Setelah digembleng untuk menjadi pasukan elite, Agus dan pasukan RPKAD diterjunkan menumpas DI/TII di Jawa Barat.
Agus kemudian membuat geger kompleks asrama RPKAD di Batujajar, Jawa Barat. Dia akan menangkap Komandan RPKAD, Mayor Djaelani, karena terlibat dalam Gerakan Zulkifli Lubis. Gerakan yang akan menculik KSAD Kolonel A.H. Nasution itu gagal.
Baca juga: Hikayat Pasukan Komando Indonesia
Penugasan berikutnya menumpas pemberontakan PRRI/Pesmesta. Agus bergabung dengan Kompi A RPKAD dalam Operasi Tegas. Berhasil dalam operasi itu membuat Agus dianugerahi Satyalancana Saptamarga. Selain itu, saat operasi Agus mendapat jodoh, Wirda, yang memberikan tiga putra: Army Suharyo Hernoto, Bob Heryanto Hernoto, dan Charly Hernoto. Bob menceritakan perjalanan hidup ayahnya sebagai anggota Kopassus dalam biografi Legenda Pasukan Komando: Dari Kopassus sampai Operasi Khusus.
Operasi Infiltrasi
Misi berikutnya yang dijalani Agus adalah Operasi Banteng I ke Irian Barat. Dia memimpin pasukannya sebagai tim advance atau tim pendahuluan sebelum Operasi Naga di bawah Kapten Benny Moerdani yang diterjunkan di Merauke.
Infiltrasi ini dilakukan dengan pertimbangan Belanda tidak akan mengira pasukan Indonesia melakukan penyerangan melalui udara mengingat hutan Irian Barat yang sangat sulit dan berbahaya. Para penerjun kemudian diinstruksikan untuk menyusup ke daerah lawan. Tujuannya mengacaukan situasi dari dalam sekaligus menarik perhatian Belanda agar tertuju ke wilayah daratan (tengah) sehingga pasukan TNI yang akan mendarat di pantai (daerah pinggir) dapat masuk lebih leluasa.
Operasi Banteng I sangat berat bahkan menjadi operasi terakhir Agus sebagai anggota RPKAD. Sebelum operasi, Agus mengikuti pendidikan komando di Amerika Serikat. Seluruh anggota tim kemudian menjalani latihan selama tiga bulan di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Dalam operasi itu, Agus kehilangan banyak anak buah. Dia sendiri tertembak kaki kirinya. Pecahan granat tertancap di punggung kanannya. Anak buahnya berusaha menyelamatkannya. Namun, di tengah situasi krisis itu, Agus memilih jalannya sendiri. Dia memaksa anak buahnya pergi ke tempat yang lebih aman, meninggalkannya sendirian di hutan. Dia tak ingin pergerakan pasukannya menjadi terhambat gara-gara harus membopongnya. Setelah berdebat, akhirnya anak buahnya pergi meninggalkannya sendirian di tengah hutan.
Beberapa hari kemudian, pasukan Marinir Belanda yang sedang melakukan pembersihan daerah pertempuran, mendapati Agus tergeletak bersimbah darah. Mereka membawanya ke kamp militer Belanda di Sorong, sumber lain menyebut di Hollandia (sekarang Jayapura).
“Saat kakinya terluka karena tertembak Belanda, teman-temannya sempat berupaya menyelamatkannya. Namun, karena terdesak, dia ditinggalkann dengan harapan akan dirawat tentara Belanda yang memiliki satuan medis lengkap. Pak Agus kemudian dibawa oleh pasukan Belanda ke Hollandia (sekarang Jayapura),” kata Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam Timor Timur The Untold Story.
Di kamp Belanda, Agus hanya mendapat pengobatan ala kadarnya. Malah terkadang, di tengah interogasi, luka di kakinya ditusuk bayonet agar dia mau membocorkan posisi prajurit TNI lainnya. Dia juga diinterogasi soal kapan pasukan TNI akan menyerang Irian Barat. Agus memegang teguh prinsip “lebih baik mati daripada membocorkan rahasia negara!”
Kaki kiri Agus yang hancur karena peluru masih bersarang mulai membusuk hingga muncul belatung. Tentara Belanda memutuskan untuk mengamputasinya. Amputasi kedua untuk merapikan dilakukan di RSPAD Gotot Subroto.
Presiden Sukarno memberikan penghargaan Bintang Sakti kepada para pejuang pembebasan Irian Barat pada 19 Februari 1963 di Istana Merdeka Jakarta. Namun, Agus tidak mendapatkan Bintang Sakti karena tertangkap pasukan Belanda. Selain mendapatkan kenaikan pangkat dua tingkat dari letnan dua menjadi kapten, dia juga mendapat Satyalancana Satya Dharma yang disematkan oleh Jenderal TNI A.H. Nasution.
Agus baru menerima Bintang Sakti pada 5 September 1987, tiga tahun setelah dia meninggal. Ida, istri Agus, menerima Bintang Sakti dari Presiden Soeharto dalam sebuah upacara khusus di Istana Negara. “Dia pantas mendapat penghargaan ini. Saya tahu betul dia sudah berjuang secara tulus dan ikhlas untuk Republik Indonesia,” kata Ida.
Baca juga: Kesko Siliwangi, Cikal Bakal Kopassus
Penghargaan militer tertinggi ini diberikan kepada Agus setelah Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani berkunjung ke Belanda dan bertemu Kolonel (Purn.) Jan Willem de Leeuw, pemimpin pasukan Belanda yang melawan Agus dan pasukannya di hutan Irian Barat. Dia mengungkapkan rasa hormatnya kepada Agus.
“Dia orang yang tidak pernah menyerah. Kami sangat kagum dan menghormati sikapnya yang tidak mau kompromi kendati sudah menjadi tawanan kami. Dia pantas mendapat bintang penghargaan di negara Anda,” kata De Leeuw.
“Pak Agus saya kenal dan dikenal banyak orang sebagai perwira yang mendapat anugerah Bintang Sakti. Satu anugerah yang bagi saya sebagai sesama pejuang sangat saya pandang tinggi. Sebab hanya mereka yang menunjukkan pengabdian dan jasa dalam pertempuran yang luar biasa yang akan memperoleh anugerah itu. Jumlah orang yang mendapat anugerah Bintang Sakti sangat sedikit. Sebagai seorang anggota TNI saya amat bangga bahwa salah seorang anak saya kemudian menjadi menantu seorang pemegang Bintang Sakti,” kata Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Anaknya, Umi Riyanti menikah dengan Bob Heryanto Hernoto.
Agus itu Opsus
Sebagai tentara invalid (cacat tubuh), Agus ditawari pensiun dini. Namun, dia menolak dan masih ingin mengabdi di RPKAD. Namun, Komandan RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimoeljo mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan semua anggota yang invalid. Benny Moerdani membela Agus dengan menentang keras kebijakan itu. Akibatnya, Benny juga dikeluarkan dari RPKAD. Benny masuk Kostrad, sementara Agus bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno.
Resimen Tjakrabirawa terdiri dari satu batalion prajurit terbaik dari tiap-tiap angkatan: RPKAD, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan Brigade Mobile (Brimob) Angkatan Kepolisian.
“RPKAD dipimpin oleh Soetaryo. Dia kemudian mengajak Agus bergabung dengan Tjakrabirawa. Agus bertugas seperti Dandenma (Komandan Detasemen Markas) untuk mengurusi tamu, mobil, dan lain-lain,” kata Letkol Cdm. (Purn) dr. Joseph Halim, perwira kesehatan dan anggota Opsus.
Agus tak betah di Tjakrabirawa. Dia dan Benny kemudian bergabung dengan Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Sebagai Dandenma, Agus memegang peran penting dalam mengatur dan menyediakan berbagai kebutuhan untuk operasi-operasi rahasia.
Baca juga: Soemitro dan Ali Moertopo, Kisah Duel Dua Jenderal
Di Opsus, Agus menjadi orang kepercayaan Ali dan Benny. Bahkan siapa pun yang ingin bertemu dengan Ali dan Benny harus melalui Agus sehingga ada ungkapan: "Agus itu Opsus, Opsus itu Agus."
“Begitu istimewanya Opsus, semua instansi meminta bantuan Pak Agus, sampai ada ungkapan Agus itu Opsus,” kata Joseph Halim.
Setelah Peristiwa Malari 15 Januari 1974, Opsus dibubarkan. Agus dan semua rekannya di Opsus ditarik ke Bakin di mana Ali menjabat sebagai Deputi Kepala Bakin. “Opsus itu bubar karena saking berkuasanya, orang menganggap Opsus sebagai pemerintah dalam pemerintah,” kata Joseph Halim.
Pada akhir 1970-an, Agus terkena kanker hati. Dia rutin menjalani pengobatan di rumah sakit di Singapura. Sampai akhirnya dia meninggal dunia pada 4 September 1984. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar