13 Jam Bersama Maut
Ratusan tawanan Republik diangkut dalam gerbong-gerbong tertutup dan dibiarkan bertempur melawan hawa panas, rasa dahaga dan ancaman kematian sepanjang Bondowoso-Wonokromo.
72 tahun lalu, sekira 100 tawanan Republik digiring ke stasiun Bondowoso. Mereka lantas dinaikan ke tiga gerbong. Masing-masing bernomor GR.4416, GR.5769 dan GR.10152. Rencananya tawanan tersebut akan diberangkatkan ke Surabaya pada hari itu juga.
Namun, begitu peluit pemberangkatan akan ditiup, masalah muncul ketika massa yang sebagian besar terdiri dari keluarga para tawanan memenuhi stasiun. Akhirnya, pihak militer Belanda diam-diam memutuskan pemberangkatan akan dilakukan besok pagi.
Minggu, 23 November 1947. Pagi baru saja datang ketika para tawanan kembali diangkut ke stasiun Bondowoso. Begitu tiba di stasiun mereka langsung dimasukkan ke dalam tiga gerbong kereta barang. Tepat jam 7:00 usai ditutup rapat, kereta api pun berangkat.
Slamet Karsono masih ingat, suasana menjadi gelap dan pengap, terlebih di gerbong tersebut tak ada lubang hawa sama sekali. Selama kereta api berjalan suasana terasa sangat menyiksa. Hawa panas mulai mendera.
“Semakin siang, udara semakin panas dan menjadikan sebagian dari kami panik: menggedor-gedor badan kereta supaya gerbong dibuka,” ujar Slamet Karsono dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid IV. Serdadu pengawal dari Marinir Kerajaan (KM) tak menghiraukannya.
Baca juga: Pembantaian di perkebunan karet
Menjelang tengah hari, kereta api akan tiba di stasiun Jember. Di tengah suasana sangat panas, gelap dan pengap, Karsono masih sempat menyaksikan sosok-sosok tubuh bertelanjang bulat saling berebut lubang udara sebesar ujung paku di dinding gerbong. Seorang gerilyawan tua asal Maesan bernama Asbun tak berdaya di tengah-tengah himpitan orang-orang kalap itu.
“ Ya Allah… Ya Allah… Ya Allah… Allahu Akbar, berilah aku kekuatan. Ya Allahhh, panasss… Airrr…” rintihnya.
Karsono tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan menolong Asbun, dia sendiri tengah tersiksa oleh situasi gerbong yang seolah neraka. Tak kuat menahan rasa haus, dia meminta rekannya bernama Singgih untuk buang air kecil. Dia terpaksa minum air seni itu. “Rasanya pahit,” kenang lelaki kelahiran Purbalingga pada 1915 itu.
Penderitaan para tawanan agak berkurang saat kereta api mulai berangkat lagi dari stasiun Jember (setelah dua jam berhenti), hujan turun rintik-rintik. Otomatis suhu panas di dalam gerbong berangsur turun. Sementara itu, para tawanan yang masih mampu bergerak merayap bak binatang melata: coba menjilati titik-titik air hujan yang melekat di dinding gerbong.
Baca juga: Pembantaian kilat di Rengat
Di gerbong lain, Soetedjo merasakan kondisi yang sama seperti dialami oleh Karsono. Kekurangan cairan dan energi yang banyak keluar karena kerja keras membuat lubang udara dengan sepasang sendok dan garpu, menjadikan mereka kehausan. Pernah dicoba menggedor-gedor bagian gerbong yang ditempati para pengawal untuk memohon air minum, namun jawaban menyakitkan justru mereka dapat.
“Godverdomme! Hei anjing, di sini tidak ada air, yang ada peluru. Di Surabaya, nanti kamu bisa minum sepuas-puasnya!”
Menurut Djoko Sri Moeljono (79), Soetedjo berserta kawan-kawannya bisa bertahan berkat satu buah mangga yang kebetulan dibawa salah seorang tawanan. “Biji plok-nya kemudian dijilati sepanjang perjalanan sekadar untuk membasahi tenggorokan,” ungkap putra dari Soetedjo tersebut.
Suasana neraka mulai berakhir menjelang pukul 20.00, saat kereta api tiba di tujuan: Stasiun Wonokromo, Surabaya. Setelah peluit tanda berhenti berbunyi, para serdadu pengawal berloncatan lalu membuka pintu gerbong-gerbong dan menghardik para tawanan untuk cepat keluar satu per satu.
“Ayo, cepat! Keluar!” teriak seorang serdadu seraya mengokang senjatanya. Namun, tak ada suara sama sekali. Suasana hening.
Awalnya para pengawal marah dan terus berteriak-teriak, namun setelah semua pintu gerbong dibuka lebar, terkejutlah mereka. Di hadapan mata mereka, nampak tumpukan dan serakan manusia. Ada yang dalam posisi berpelukan, terlentang dan tertelungkup. Di sisi lain, sejumlah tawanan mati dalam kondisi terbelalak matanya, sementara tawanan lain tewas dengan seluruh tubuh penuh goresan kuku.
Usai semua diturunkan, 46 dari 100 tawanan telah tewas. Dalam prose evakuasi, para gerilyawan yang gugur itu tidak mudah diangkut dan dipindahkan mengingat kulit mereka sudah terlanjur menyatu dengan badan gerbong dan akan terkelupas bila dipaksakan.
Baca juga: Pembantaian Tambun Angke 1947
Sejatinya, seorang anggota militer Belanda bernama Giovanni Hakkenberg sudah memberitahu kondisi tak manusiawi gerbong-gerbong itu kepada komandan lokal dari Dinas Keamanan Brigade Marinir (VDMB). Bahkan, pemberitahuan itu diulangi Giovanni ketika melihat indikasi laporannya tidak diindahkan. “Jangan lakukan itu,” katanya seperti dikutip Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950.
Namun, komandan itu juga tak bisa berbuat apa-apa, karena gerbong-gerbong itu sudah terlanjur ada di stasiun Bondowoso. Sedangkan pengiriman tawanan ke Surabaya harus secepatnya dilaksanakan.
Belakangan, Joop Eikenboom (salah satu serdadu yang terlibat dalam pengawalan kereta api maut itu) menyatakan rasa penyesalannya. Seperti rekan-rekan lainnya, semula dia mengira para tawanan tersebut adalah para penjahat, bukan para buruh tani biasa atau tentara seperti dirinya.
“Sementara ini, saya berpendapat bahwa pemerintah pada waktu itu telah melakukan tindakan yang benar-benar salah,” kata Joop dikutip Gert Oostindie.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar