Islam Nusantara dan Islam Konghucu
Bila di Indonesia ada Islam Nusantara, maka di Cina ada Islam Konghucu. Keduanya merayakan maulid dan punya kenduri tahlilan.
SAID Aqil Siradj mendefinisikan Islam Nusantara sebagai Islam yang berciri “ramah, anti radikal, inklusif dan toleran” karena tempaan sejarah panjang persebarannya yang “didakwahkan [dengan cara] merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya” asli negeri kita. Maka dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia (15/6/2015), ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menegaskan, Islam Nusantara merupakan anti-tesis “Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.”
Azyumardi Azra berpandangan serupa. Dikutip dari laman NU Online (27/7/2018), guru besar UIN Syarif Hidayatullah itu mengartikan “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy‘ari, fikih mazhab Syafi‘i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran.” Adapun Islam Arab yang cuma memiliki dua ortodoksi (kalam Salafi-Wahabi dan fikih Hanbali dengan pemahaman Islam serba literal), tulisnya di harian Republika (18/6/2015), “terlalu kering dan sederhana bagi kaum Muslimin Nusantara” yang “telah dan terus mengamalkan Islam yang kaya dan penuh nuansa.”
Baca juga: Terdapat ribuan konghuihui atau muslim keturunan Konghucu di Cina
Bila benar Islam Nusantara dan Islam Arab berseberangan, maka yang mempunyai tak sedikit kesamaan dengan Islam Nusantara ialah Islam Konghucu (Huiru) yang dikembangkan cendekiawan-cendekiawan muslim Cina sejak akhir masa pemerintahan Dinasti Ming. Yang membedakan di antara keduanya, saya kira, hanyalah mazhab yang dipraktikkan: muslim Cina bermazhab Hanafi walaupun, tentu, tidak menolak tiga mazhab besar lainnya. Banyak pula muslim Cina yang bertasawuf mengikuti tarekat Naqsyabandiyah, Kubrawiyah, atau Qadiriyyah dengan beragam alirannya. Yang tak kalah menarik, muslim Cina juga memperingati maulid Nabi dan mengadakan kenduri tahlilan –dinamai “ermaili”– guna menyelamati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari kematian.
Ikhtiar Menyelamatkan Islam
Mirip ketika Islam masuk ke Nusantara yang waktu itu masyarakatnya didominasi oleh penganut Hindu, Buddha, dan animisme (atau lebih tepatnya agama lokal arkais Kapitayan, kata Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo), Islam pertama kali tiba di Cina saat penguasa dan mayoritas penduduk Dinasti Tang menjadi pemeluk Buddha dan pengamal kepercayaan Cina klasik Taoisme atau Konfusianisme.
Baca juga: Selain saudagar, tentara Arab yang ditawan berperan menyebarkan Islam pada zaman Dinasti Tang
Kecuali di Xinjiang yang konversi Islamnya bersifat politis melalui pemberangusan kerajaan-kerajaan Buddhis, diseminasi Islam di Cina secara garis besar berjalan damai serta natural lewat perdagangan dan kawin-mawin antara saudagar muslim dari Arab/Persia dengan warga setempat. Karenanya, penyebaran Islam yang cenderung tanpa dai misionaris yang sistematis, terstruktur, dan masif ini, hampir tidak pernah mengalami hambatan berarti sampai tiba masa kepemimpinan Dinasti Ming.
Kita tahu, Dinasti Ming menggunakan isu rasial untuk menggulingkan Dinasti Yuan (1271–1368). Slogan yang dipakai Zhu Yuanzhang, petani miskin yang kelak menjadi kaisar pertama Dinasti Ming, buat mengompori pemberontakan terhadap Dinasti Yuan yaitu “usir kaum barbar utara, kembalikan kejayaan Tionghoa”(qu zhu hu lu, huifu Zhonghua).
Sebagai tindak lanjutnya, selepas naik takhta pada 1368, Zhu Yuanzhang segera memberlakukan kebijakan asimilasi paksa terhadap mereka yang dicap nonpribumi. Memang, seirama dengan kebijakan Soeharto terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Baca juga: Bagaimana Islam menyebar di Xinjiang, Cina?
Dalam Catatan Fakta Ming (Ming Shilu) bagian “Catatan Fakta Progenitor Mulia” (Taizu Shilu) jilid 30, Zhu Yuanzhang pada tahun pertamanya memerintah, secara langsung mengeluarkan titah yang isinya “melarang segala penggunaan busana, bahasa, dan nama asing” (hu fu, hu yu, hu xing, yiqie jinzhi).
Perintah Zhu Yuanzhang mujarab. Taizu Shilu jilid 30 menyimpulkan, “adat istiadat asing yang mengakar ratusan tahun, semuanya kembali ke kebiasaan Cina laiknya sedia kala” (bai you yu nian hu su, xi fu Zhongguo zhi jiu yi).
Oleh sebab orang-orang Mongol beserta kelompok etnik orang-orang bermata berwarna (semu ren) terkategori orang asing, muslim (huihui) tak pelak terkena imbas lantaran, ungkap jilid 1 Catatan Sehabis Bertani (Chuo Geng Lu) susunan sejarawan cum sastrawan Tao Zongyi, tergolong semu ren.
Baca juga: Penyebaran dan perkembangan Islam di Cina selama ribuan warsa masa kedinastian
Alhasil selain nama-nama Arab/Persia yang lumrah dipakai muslim berubah lebih bernuansa Cina (Muhammad, misalnya, bermetamorfosis menjadi marga Ma), mereka pun perlahan kehilangan kemampuannya memahami bahasa nenek moyangnya: Arab atau Persia.
Berangkat dari kekhawatiran akan degradasi pengetahuan muslim terhadap pengetahuan keislaman sebagai implikasi dari politik identitas penguasa, Hu Dengzhou (1522–1597) mendirikan apa yang kelak masyhur disebut “jingtang jiaoyu” alias madrasah diniyah, di Weinan, Provinsi Shaanxi.
Dibentuknya madrasah diniyah yang mulanya cuma bertempat di rumah Hu Dengzhou tapi lekas menjalar ke masjid-masjid di daerah lain, menjadi “game changer” dakwah Islam di Cina. Islam yang awalnya sebatas diajarkan dari mulut ke mulut dalam ranah internal keluarga, berganti menjadi terbuka di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Keturunan Rasulullah dipercaya menjadi gubernur pertama Provinsi Yunnan Cina
Kitab-kitab keagamaan dalam bahasa Arab dan Persia semacam Talkhīṣ al-Miftāḥ karya Sa‘ad al-Dīn al-Taftazānī, Al-‘Aqā’id al-Nasfiyyah karya Abū Ḥafṣ ‘Umar al-Nasafī, Syarḥ al-Wiqāyah karya ‘Ubaidullāh ibn Mas‘ūd, Tafsīr al-Jalālain karya Jalāl al-Dīn al-Mahallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Mirṣād al-ʻIbād min al-Mabdaʼ ilā al-Maʻād karya Anūšervān al-Rāzī, Ashi‘‘at al-Lama‘ât karya Nūr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Jāmī, kembali diperkenalkan.
Walhasil, para “manla” –panggilan untuk santri jingtang jiaoyu– tidak dipaksa mengartikulasikan bahasa Arab atau Persia dengan fasih sesuai cara pengejaan asalnya. Bahasa Mandarin yang sudah menjadi lingua franca dipakai sebagai media transliterasi. Terciptalah “jingtang yu”, bahasa Arab/Persia yang menggunakan huruf Cina sebagai alat bantu pelafalannya. “As-salāmu‘alaikum”, contohnya, diucapkan dengan delapan aksara Mandarin “An sai lia mu a lai ku mu”. Salat asar yang bahasa Persianya “namāz dīgar”, dibunyikan sebagai “na ma zi di gai er”.
Hingga kini, mudah sekali menemukan kosakata-kosakata jingtang yu dalam bahasa sehari-hari muslim Cina. Pengaruh jingtang yu terhadap bacaan Alquran mereka pun masih amat kental terasa. Dulu, saya sempat nyaris terpingkal-pingkal tatkala bermakmum pada imam masjid di Xiamen, Provinsi Fujian, yang tahu-tahu melantunkan ayat dengan logat dan langgam yang terdengar asing bagi saya yang alumni pesantren.
Memang benar, lanskap pembahasa-lokalan (vernakularisasi) Islam kian meluas. Kalau sebelum Dinasti Ming tampak pada masjid yang dibangun menyerupai kelenteng saja, di era Dinasti Ming –meminjam istilah Gus Dur– “pribumisasi Islam” mulai merambah pada ranah peribadatan yang, amsal kecilnya, terlihat dari pelafazan Alquran muslim Cina yang beraksen khas itu.
Menyelaraskan bukan Mengafirkan
Usaha mengadaptasi Islam dengan kebudayaan Cina makin sering dilakukan sehabis Dinasti Ming ditumbangkan orang-orang Manchuria klan Aisin Gioro pada 1644 yang akhirnya mengorbitkan Dinasti Qing.
Jamak diketahui, Dinasti Qing bersikap represif terhadap Islam. Selain karena muslim sering mengobarkan pemberontakan, juga dipicu oleh petinggi-petinggi Dinasti Qing yang menganggap ajaran Islam bertentangan dengan kepercayaan Cina.
Sekretaris Agung Chen Shiguan, umpamanya, pada 1724 mengajukan usul kepada Kaisar Yongzheng agar memerintahkan muslim murtad dan menghancurkan masjid-masjidnya sendiri sebab “Agama Islam ... tidak memuja dewa-dewa [kita], malah mengultuskan yang lain. Komplotannya banyak. Mereka saling bersekongkol melakukan kejahatan dan membahayakan masyarakat” (Huijiao ... bu si shen zhi, ling li zong zhu. Dang yu zhong sheng, ji e hai min). Bagian pertama jilid 9 Kumpulan Usul Pilihan Dinasti Qing (Qing Qi Xian Lei Zheng Xuan Bian) susunan Li Huan (1827–1891) menginformasikan demikian.
Baca juga: Ketidaksukaan terhadap Islam di Cina sudah sejak era kedinastian
Namun, alih-alih meradang, ulama-ulama zaman Dinasti Qing justru kalem menangkisnya dengan mengarang kitab-kitab berbahasa Mandarin kuno untuk menginformasikan kepada khalayak ramai bahwa terdapat banyak kemiripian antara ajaran Islam dengan ajaran Cina yang terwakili oleh falsafah Konghucu. Kitab-kitab jenis ini lazim disebut “Han ketabu”, jingtang yu yang berarti kitab yang ditulis oleh muslim Cina.
Dalam mukadimah Tianfang Dianli (Hukum dan Ritual Islam), kitabnya yang berjumlah 20 jilid, Liu Zhi menyatakan, “Kendati [syariat Islam] termaktub di kitab Arab, akan tetapi ia tidak berbeda dengan [ajaran-ajaran] kitab Konfusianisme. Sekalipun [muslim] mempraktikkan peribadahan Arab, tapi bagaikan menjalankan ritus agama orang-orang suci dan raja-raja [Cina] terdahulu” (sui zai zai Tianfang zhi shu, er bu yi hu Ru zhe zhi dian, zun xi Tianfang zhi li, ji you zun xi xian sheng xian wang zhi jiao ye).
Tak heran, dalam Tianfang Xingli (Filsafat Islam), kitabnya yang lain, ulama asal Nanjing dimaksud langsung memakai terminologi-terminologi Konfusianisme untuk menjabarkan teologi penciptaan menurut Islam. Belakangan, Han ketabu ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Syarḥ al-Laṭā’if oleh Muḥammad Nūr al-Ḥaq ibn Luqmān al-Ṣīnī Ma Lianyuan (1841–1903).
Liu Zhi barangkali terinspirasi Wang Daiyu –ulama berjuluk “zhen hui lao ren” (sesepuh muslim tulen)– yang memelopori penggunaan istilah-istilah Konfusianisme untuk menerangkan tauḥīd rubūbiyyah, ulūhiyyah, dan waḥdat al-wujūd melalui mahakaryanya yang beraura sufistik, Zhengjiao Zhenquan (Penjelasan tentang Islam).
Baca juga: Adakah peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?
Nah, Islam yang terbuka dan akomodatif terhadap tradisi Cina inilah yang akhirnya diistilahkan sebagai Islam Konghucu. Dan, sebagaimana Islam Nusantara, Islam Konghucu juga “menumbuhkan karakter wasathiyah” yang “ramah, anti radikal, inklusif dan toleran.” Andai mubalignya ngamukan dan demen mengafir-ngafirkan yang liyan, mungkinkah Islam bisa berkembang di Nusantara dan di Cina sampai sekarang?
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar