Terowongan Kuno di Bawah Bendungan
Teknologi pembangunan terowongan sudah dikenal masyarakat Bali Kuno. Tapi kenapa ada yang gagal?
PROYEK Bendungan Tamblang di Buleleng, Bali yang masih berjalan kelak akan memenuhi kebutuhan irigasi. Pada masa lalu pernah ada pembuatan saluran irigasi di tempat yang sama. Terowongan air kuno itu ditemukan di bawah poros fondasi utama Bendungan Tamblang.
Tim peneliti Balai Arkeologi Bali sudah meninjau terowongan kuno itu pada 8 Desember 2020. Peneliti mencatat terowongan itu memiliki lebar 70 sentimeter dan tinggi 170 sentimeter. Ada banyak ceruk kecil di dinding terowongan. Kemungkinan dulu digunakan sebagai tempat menaruh sumber penerangan selama proses pembangunan. Agaknya sedimen sudah masuk ke dalam lubang terowongan yang berada di tebing tepi Sungai Aya itu.
Keberadaan terowongan air di proyek Bendungan Tamblang menambah penemuan sistem irigasi peninggalan masa Bali Kuno. Balai Arkeologi Bali memperkirakan terowongan kuno itu merupakan peninggalan abad 11. Mereka mengambil rujukan dari Goa Raksasa yang memiliki kemiripan dimensi.
“Dari ukuran dan jejak teknik pengerjaannya mirip,” kata Kepala Balai Arkeologi Wilayah Kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, I Gusti Ngurah Suarbhawa kepada Historia.id, Rabu, 3 Maret 2021.
Baca juga: Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Air
Goa Raksasa merupakan sebutan masyarakat setempat terhadap sebuah terowongan tua yang berada di Desa Giri Emas, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Di dinding terowongan itu terdapat pahatan tahun pembuatannya, yakni tahun Saka 993 (1071). Kurun itu pula perkiraan pembuatan terowongan di Bendungan Tamblang.
Pada masa itu Kerajaan Bali Kuno dipimpin oleh Anak Wungsu. Ia anak Raja Udayana dan adik dari Airlangga, pendiri Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Anak Wungsu memerintah pada 1049 hingga 1077. Penemuan terowongan kuno itu bukti kehendak raja untuk memenuhi kebutuhan pengairan.
Ahli Terowongan
Bali dikenal memiliki sistem pengairan tradisional subak sejak berabad-abad lampau. Keterangan mengenai sistem irigasi itu termuat di sejumlah prasasti Bali Kuno.
Berbagai prasasti menjelaskan tentang bangunan penimbun air untuk irigasi. Prasasti Dawan (1053) menyebut: “Bila sampai dua malam kekurangan air sampai rusak bendungan hal ini harus dilaporkan kepada pejabat keumatan atau pengawas.” Sementara Prasasti Klungkung A (1072) menyebut: “Untuk keperluan perbaikan bendungan diperkenankan menebang kelapa, pinang, enau, bambu (petung, ampel) dan berbagai jenis kayu.”
Baca juga: Menyibak Sejarah Subak di Bali
Adapun sumber terkait terowongan air termuat dalam Prasasti Bebetin AI (896). Termaktub penjelasan adanya kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai ahli terowongan. Profesi itu dalam bahasa Bali disebut undagi pangarung. Keterangan tentang undagi pangarung juga ada dalam Prasasti Batuan (1022) bersama dengan tukang kayu (undagi kayu) dan tukang batu (undagi watu).
Prasasti Batuan menjelaskan, ahli terowongan kena pajak pendapatan dari hasil profesinya, yakni sebanyak satu kupang tiap tahun. Keterangan itu menyiratkan bahwa ahli terowongan sebagai pekerja profesional mendapat upah dan punya peran penting dalam kehidupan masyarakat Bali Kuno.
Namun, tidak selalu pekerjaan ahli terowongan berjalan sukses. Bila mengamati bentuknya, terowongan di lokasi proyek Bendungan Tamblang tak tuntas pembuatannya pada masa lampau. Kenapa?
Menembus Batuan
Ahli terowongan bukan cuma soal kepandaian menggunakan peralatan. Mereka harus mendalami pengetahuan tentang tanah, geodesi, dan hidrologi. Mereka terampil mengukur tanah, membuat garis lurus dan belokan, termasuk pula susunan tingkatan perbedaan tinggi untuk memastikan ketenangan air saat mengalir.
Para ahli terowongan juga harus mengatasi tantangan adanya batu besar di tengah pengerjaan. Jika memungkinkan mereka akan memecah batu. Tapi bila tak mungkin, tukang menggali bagian lain untuk membelokkan arah terowongan. Namun kedua hal itu tampaknya tetap menjadi kendala utama pembuatan terowongan kuno di lokasi proyek Bendungan Tamblang.
I Gusti Ngurah Suarbhawa mengatakan, terowongan kuno itu belum rampung karena keterbatasan teknologi. “Kemungkinan pembuatan terowongan itu gagal karena kondisi bebatuan,” katanya. Kondisi alam juga berpengaruh.
Struktur bebatuan di Bali hampir keseluruhan bermula dari sebaran formasi purba Buyan-Beratan atau kejadian geologi yang membentuk daratan Pulau Bali. Formasi Buyan-Beratan bertaut dengan aktivitas lempeng tektonik yang kemudian membentuk gunung api di Bali. Susunan geologi itu menghasilkan batuan tuff lapili.
Baca juga: Melestarikan Alam ala Orang Bali Kuno
Problem pembuatan terowongan air di masa lalu memang terkait batuan material yang tersusun menjadi daratan. Tim ahli geologi menemukan formasi tuff lapili, lava andesit, dan batuan intrusi di area proyek Bendungan Tamblang. Ada pula penemuan singkapan bekuan lava yang cukup keras.
“Itu yang menjadi masalah teknis (pembuatan terowongan). Tidak hanya zaman dahulu, tapi juga sekarang,” kata Ida Bagus Oka Agastya, selaku anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengurus Daerah Bali. Dia menambahkan, intrusi menyebabkan pembuatan terowongan mengalami kebuntuan.
Setelah 10 abad berlalu, kini di tempat yang sama tengah dibangun proyek Bendungan Tamblang. Proyek ini sudah dikerjakan sejak September 2019. “Bendungan Tamblang akan memenuhi kebutuhan irigasi untuk 588 hektare lahan pertanian,” kata Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, I Gede Pancarasa. Bendungan Tamblang juga akan menyuplai kebutuhan air baku dan pembangkit listrik mikrohidro.
Keberadaan terowongan kuno di bawah poros fondasi utama bendungan menjadi tantangan tersendiri. “Perlu solusi penanganan agar tidak menjadi sumber kebocoran (bendungan) dan keruntuhan terowongan,” ucapnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar