Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad
Pemerintahan Sriwijaya langgeng berkat sistem politiknya berupa kadatuan bukan imperium.
Sriwijaya mulai maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad ke-7. Namanya memudar pada abad ke-12. Ahli sejarah dan arkeologi terdahulu menganggap Sriwijaya sebuah imperium. Artinya, hanya satu kekuatan politik yang menguasai beberapa kelompok etnik atau negara dalam suatu wilayah yang luas.
Namun, berdasarkan kajian epigrafi, sejarawan Jerman, Herman Kulke, membuktikan Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan. Ia membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya.
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, atau keraton. Arkeolog dan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya.
Kadatuan Sriwijaya, kata Ninie, diakui kedaulatannya oleh wilayah Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Batu Raja. “Batu Raja adalah prasasti terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Komering Ulu,” kata Ninie, yang meyakini Kadatuan Sriwijaya berpusat di Sumatra Selatan.
Baca juga: Inilah Akta Kelahiran Sriwijaya
Ninie menjelaskan bagaimana Sriwijaya membentuk pemerintahan maritim. Sebagaimana diungkapkan Herman Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya, bahwa terdapat masyarakat yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” kata Ninie.
Dalam tulisannya, “Kadatuan Srivijaya Imperium atau Kraton Srivijaya?” Kulke menjabarkan datu yang memimpin Sriwijaya berkedudukan di pusat. Tempat tinggalnya, Kadatuan Sriwijaya, bukanlah kota berpagar tembok. Namun dibentengi oleh tiang-tiang pancang kayu.
Kadatuan Sriwijaya, seperti diungkap dalam prasasti-prasastinya, dilindungi oleh dewata (devata), kemungkinan besar para leluhur yang didewakan. “Ini menjadi akar otoritasnya sebagai datu dan bahkan dapunta hyam (gelar yang dipakai sang datu, red.) bersifat kependetaan,” tulis Kulke.
Sang datu juga memimpin balatentara (vala) yang kuat, memiliki staf pejabat, dan abdi (huluntuhan) yang cukup maju dan siap menjalankan perintahnya.
Kadatuan Sriwijaya dikelilingi oleh kawasan yang disebut vanua, terdiri dari beberapa desa beserta lahannya. Inilah zona pertanian, kerajinan, dan perdagangan yang padat penduduk. Kata vanua dijumpai dalam tiga prasasti yang menyebut "vanua Sriwijaya" (Prasasti Kedukan Bukit), biara “di vanua ini” (kepingan prasasti e), dan "smaryyada vanua ini" (Prasasti Sabokingking [SKK] atau Telaga Batu), secara berturut-turut.
Sangat mungkin, seluruh kawasan vanua beserta kadatuan, pasar, biara, taman, dan desa-desanya dianggap sebagai pusat urban Sriwijaya. Zona inilah yang kemungkinan besar dinamakan nagara atau pura di tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Misalnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa pada pertengahan abad ke-5 M.
Kadatuan dan vanua itu dikelilingi pula oleh apa yang disebut dalam Prasasti SKK dengan samaryyāda. Ini merujuk pada desa-desa lokal yang ada di kawasan sekitar Sriwijaya. Menurut bukti epigrafis, kadatuan-kadatuan itu dipimpin para datu yang tinggal di desa-desa mereka sendiri.
Ungkapan samaryyāda muncul mengingat lokasi geografis Sriwijaya yang khas. Pusat Sriwijaya bukan benar-benar ada di pedalaman dan bukan pula di bandar laut. Jaringan persungaian yang meluas ke arah hulu dari Palembang, dan daratan yang cukup panjang di tepian Sungai Musi yang menghilir dari Palembang ke laut, mungkin bukan sepenuhnya bagian dari kawasan inti datu Sriwijaya. Melainkan bagian dari samaryyāda yang ada di sekitar kadatuan Sriwijaya.
Padahal akses barang dagangan dari hutan-hutan di wilayah pedalaman penting bagi Sriwijaya. Pun bagi keamanan Sriwijaya. Karena memiliki akses terhadap laut serta hubungan dagang internasional, maka kawasan-kawasan samaryyāda kemudian berada di bawah kontrol langsung para abdi (huluntuhan) Sriwijaya.
Sementara di luar itu, ada datu-datu lainnya yang jelas lebih kuat sebagaimana datu Sriwijaya. Mereka memiliki vanua sendiri dengan samaryyāda dan bahkan tanah yang baru diperoleh. Masing-masing wilayah datu yang kuat ini disebut sebagai satu kesatuan mandala yang ada di dalam bhumi Sriwijaya.
“Namun, tak satu pun di antara datu-datu ini, baik yang di pedalaman samaryyāda Sriwijaya maupun di mandala-mandala yang jauh diizinkan mengklaim secara sah beberapa atau bahkan ketujuh piranti pembentuk otoritas Sriwijaya,” tulis Kulke.
Baca juga: Pemberontakan Terhadap Sriwijaya
Dalam kasus Sriwijaya awal, kebanyakan datu tampaknya adalah pemimpin lokal. Dia bukan seperti gubernur provinsi. Kedudukannya mungkin mirip dengan para ratu di Jawa pada masa pra-Sailendra.
“Sebagian besar datu Sriwijaya awal mungkin sebagai pemimpin lokal lama yang setelah dikalahkan dipasang kembali dan diakui kedudukan mereka semula oleh datu Sriwijaya yang lebih berkuasa, dengan syarat mereka mengakui otoritasnya,” tulis Kulke.
Kendati begitu jelas bisa diduga semua datu memiliki juga dewata leluhurnya sendiri. Sebagian dari mereka mungkin juga tinggal di puri, yang mungkin tak jauh beda dengan miliki datu Sriwijaya.
Namun, tentunya tak ada datu yang diizinkan membangun sistem mandala-mandala bawahan sendiri. Ini prasyarat paling relevan bagi terbentuknya sistem politik bhumi mirip Sriwijaya.
“Delapan komponen yang membentuk kenegaraan Sriwijaya awal adalah kadatuan, devata, huluntuhan, vala, puhavam (nakhoda, red.), vaniyaga (pedagang, red.), mandala, dan bhumi,” tulis Kulke.
Dalam hal ini, perdagangan luar negeri jelas merupakan salah satu unsur terpenting kenegaraan Sriwijaya. Namun, nakhoda dan pedagang hanya disebut satu kali dalam daftar panjang pada awal Prasasti SKK.
“Jelaslah bahwa prasasti-prasasti itu lebih mementingkan kontrol politik aktual dan kekuasaan di dalam kawasan inti Sriwijaya dan mandala-mandala daripada hubungan internasionalnya,” tulis Kulke.
Uniknya, perkembangan Sriwijaya ke depan adalah kekhasannya. Ia tak pernah berhasil atau malah tak berusaha mengubah struktur politik bhumi-nya.
Menurut Kulke, tidak mustahil, keengganan Sriwijaya menjadi kerajaan imperial yang memungkinkannya bertahan lebih dari 500 tahun. Umur panjang Sriwijaya justru dilandasi oleh tiadanya ciri struktural yang dianggap oleh para sejarawan sebagai prasyarat sebuah imperium tulen. Dengan demikian, lebih awet daripada banyak imperium yang lebih terpusat. Bahkan bergenerasi-generasi memainkan peran utama dalam sejarah Asia Tenggara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar