Shili Foshi yang Berubah Jadi San-fo-tsi
Pada masa Dinasti Tang, Sriwijaya dicatat dengan nama Shili Foshi dan ditulis San-fo-tsi pada masa Dinasti Sung. Mengapa ditulis dengan nama berbeda?
Di laut selatan sebuah kerajaan bangsa liar dikenal dengan nama Kerajaan San-fo-tsi. Ia memerintah 15 macam negeri. Letak San-fo-tsi ada di antara Chen-la dan Shepo. Bila angin baik, berlayar dari Kwang-tung ke negara itu bisa ditempuh dalam waktu 20 hari.
Negeri itu tak menghasilkan gandum. Mereka memproduksi padi, kapri kuning dan hijau. Masyarakatnya menggunakan huruf Sanskerta. Mereka juga mengenal huruf Tiongkok. Jika mereka mengirim utusan ke Tiongkok mereka menulis dengan huruf itu.
Begitu Dinasti Song (960-1279) di Tiongkok mencatat keberadaan kerajaan San-fo-tsi. Sementara itu, berita dari Zhu Fan Zhi atau Catatan Bangsa Asing yang disusun kepala bea cukai di Quanzhou, Fujian, Zhao Rugua pada masa Dinasti Song, menguraikan San-fo-tsi adalah negeri di selatan Ch-uan-hou, yang berhadapan dengan Formosa Utara. Rakyatnya bersarung kain kapas dan berpayung sutra. Mereka pandai berperang, baik di laut maupun di darat. Organisasi ketentaraannya sangat rapi.
Banyak ahli, termasuk W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, yang menafsirkan San-Fo-tsi sebagai Kedatuan Sriwijaya yang ada di Palembang. Arkeolog George Cœdès dalam Kedatuan Sriwijaya pun mendukung pernyataan itu. Ia mengutip berita Tionghoa Zhao Rugua yang juga mengatakan kalau San-Fo-tsi berada di tepi laut besar dan menguasai lalu lintas pelayaran dari dan ke Tiongkok.
Baca juga: I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya
Namun, Slamet Muljana dalam Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi berteori bahwa San-fo-tsi adalah kerajaan yang berbeda. San-fo-tsi mulai tercatat pada abad ke-10 merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya pada abad ke-7.
Sebelumnya, Kerajaan Sriwijaya pernah disebut dalam catatan Tiongkok dengan nama Shili foshi (Che-li-fo-che). Nama ini tercatat dalam Sejarah Baru Dinasti T’ang (Hsin-t’ang-shu) dari 618-907, maupun dalam karya biksu Tiongkok I-Tsing yang mampir di Sumatra dalam perjalanannya ke Nalanda.
Hsin-t’ang-shu mencatat, Kerajaan Shili foshi mengirim utusan ke Tiongkok dalam kurun waktu 670-673 dan 737-741. Namun, sejak itu, utusan dari sana tak dikabarkan lagi. Beberapa abad setelah Shili foshi tak muncul, dalam perdagangan internasional pada 960 muncul kerajaan di Sumatra yang dicatat dengan nama berbeda, San-fo-tsi. Negeri ini mengirim utusan ke Tiongkok berkali-kali.
Sejarah Dinasti Sung (Sung Shi) mencatat kedatangan utusan itu ke Tiongkok pada 960, 962, 971, 974, 975, 980, 983, 985, dan 988. Utusan yang terakhir tinggal di Kanton sampai 990. Waktu itu ia medengar negerinya sedang diserang oleh tentara dari negeri Cho-p’o.
Baca juga: Pertukaran Pelajar antara Sriwijaya dan Nalanda
Hampir bersamaan dengan berita Tiongkok tentang adanya sebuah kerajaan bernama San-fo-tsi di lautan selatan, sejarah India memberikan petunjuk keberadaan kerajaan di tanah Sumatra, yaitu dalam prasasti Nalanda dari abad ke-9.
Tersebutlah Raja Dewapaladewa, Raja Benggala di India, memerintahkan membuat prasasti yang memberitakan Sri Maharaja Balaputradewa menghadiahkan beberapa bangunan vihara kepada Universitas Nalanda. Ia berasal dari Suwarnadwipa, yang berarti Pulau Emas, dan menganut agama Buddha. Tertulis pula kakek sang Raja Balaputradewa yang dikenal dengan sebutan Sailendravamsatilaka Sri Wirawairimathana atau permata keluarga Sailendra, pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira.
Sejarawan Slamet Muljana berpendapat Suwarnadwipa adalah nama Sanskerta asli yang tidak digunakan dalam prasasti-prasasti Jawa dan Melayu. Yang digunakan dalam prasasti Jawa, yaitu Prasasti Amoghapasa (1286), adalah Suwarnabhumi. Arca ini dikirim Raja Kertanegara dari Singhasari kepada Raja Tribhuwanaraja sebagai Raja Suwarnabhumi. Ekspedisi yang terjadi pada 1275 ini kemudian dikenal sebagai Pamalayu.
Baca juga: Menolak Penaklukkan Jawa atas Malayu
Dengan begitu, San-fo-tsi sebenarnya adalah transliterasi dari kata swarnabhumi. Ia merupakan kelanjutan dari Sriwijaya yang pernah berjaya pada abad ke-7.
Pendapat itu kemudian didukung oleh sejarawan Suwardono dalam Sejarah Indonesia Masa Hidu-Buddha. “Kerajaan San-fo-tsi merupakan kelanjutan atau kebangkitan kembali dari Sriwijaya (Shili Foshi),” kata Suwardono.
Analoginya, menurut Suwardono, seperti Kerjaan Singhasari yang didirikan oleh Rajasa. Ia kemudian hancur pada 1292. Berikutnya timbul kerajaan baru bernama Majapahit. Mengapa tak diberi nama yang sama oleh Wijaya? Alasannya, Majapahit ibu kotanya tak lagi di tempat di mana Singasari beribukota. Wijaya memindahkannya ke Trik, Mojokerto.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Jambi
Begitu juga dengan Shili foshi yang sempat tenggelam dalam hubungan internasional selama sekira 150 tahun lebih. Ia baru bangkit lagi pada akhir abad ke-9. “Bangkitnya Sriwijaya sebagai negara baru serta nama yang baru yaitu San-fo-tsi (Suwarnabhumi), dengan kota yang baru pula, yakni Jambi."
Ibu Kota Baru Sriwijaya
Namun, dalam Sriwijaya, Slamet Muljana seakan mengubah pandangannya. Swarnadwipa tak mungkin ditranskripsikan San-fo-tsi dalam tulisan Tionghoa. Sementara Swarnadwipa yang ada dalam prasasti Nalanda jelas merujuk pada pusat pemerintahan yang sama dengan yang disebut dalam prasasti-prasasti Sriwijaya.
Alasannya, nama Swarnadwipa telah banyak dikenal dalam berita Tionghoa. I-Tsing menyebut dalam karyanya dengan Chin-chou atau Pulau Emas. Baik Swarnadwipa maupun Swarnabhumi punya arti yang sama dengan itu sebagai sebutan lawas untuk Pulau Sumatra.
“Ia tak mentranskripsikannya ke dalam huruf Tionghoa tapi menerjemahkannya,” jelas Slamet Muljana.
Pun letaknya, menurut Slamet Muljana, bukan pula di Jambi. Justru Jambi mungkin adalah bawahan San-fo-tsi. Dalam Sung-hui-yao atau catatan pemerintahan pada masa Dinasti Sung, pada 1082, Kerajaan Jambi masih berdiri sendiri sebagai bagian dari kerajaan San-fo-tsi. Kerajaan Jambi itu disebut Chan-pei.
Baca juga: Pulau Emas di Barat Nusantara
Nama yang mirip, yaitu Kien-pi disebutkan dalam Zhu Fan Zhi sebagai salah satu dari 15 negara bawahan San-fo-tsi. Selain Kien-pi, Zhu Fan Zhi yang disusun pada 1225 menyebut negeri bawahan kerajaan San-fo-tsi lainnya yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia, Kilantan, Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-t’a, Tan-ma-ling, Kia-lo-hi, Pa-lin-fong, Sin-to, Lan-mu-li, dan Siam.
Slamet Muljana kemudian menyamakan Pong-fong dengan Pahang, Tong-ya nong dengan Trengganu, Ling-ya-si-kia dengan Langkasuka, Ki-lan-tan dengan Kelantan, Ji-lo-ting dengan Jelotong di ujung tenggara Semenanjung, Tan-ma-ling dengan Tamralingga, Kia-lo-hi dengan Grahi, Pal-lin-fong dengan Palembang, Sin-to dengan Sunda, Ken-pi dengan Pulau Kempe di teluk Aru, Lan-wu-li dengan Lamuri (Aceh), Si-lan dengan Cyelon atau Sailan atau Sri Lanka.
Baca juga: Raja-raja yang Bertakhta di Sriwijaya
Karena Palembang dan Jambi masuk ke dalam daftar bawahan San-fo-tsi, artinya kerajaan itu tak bisa dicari di keduanya. Slamet Muljana beranggapan San-fo-tsi haruslah transkripsi dari nama tempat yang sudah ada pada masa Sriwijaya. Pasalnya pada 960 ketika Sriwijaya masih berdiri, nama San-fo-tsi telah muncul dalam sejarah Tionghoa. Selain di dalam catatan resminya juga ada dalam Prasasti Kanton (1079) yang mencatat perbaikan kuil Ti’en Ching atas biaya raja San-fo-tsi bernama Ti-hu-ka-lo.
Slamet Muljana lalu menemukan transkripsi San-fo-tsi tak jauh dari nama Sambhogin. Ini didapat setelah ia meminta dua orang Tionghoa menulis Sambhogin dengan huruf Tionghoa. “Keduanya menjawab sulit sekali. Namun mereka berusaha juga untuk menulisnya. Mereka lalu membacanya menurut ucapan Mandarin dan Kanton: San-fo-tsi,” kata Slamet Muljana.
Berdasarkan percobaan itu, dia yakin kalau San-fo-tsi dalam sejarah Sung adalah transkripsi dari Sambhogin. Sekarang nama itu menjadi Sabukingking, yang kini ada di timur Palembang, di tepi Sungai Musi.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Palembang
“Demikianlah Sabukingking atau Sambhogin adalah ibu kota Sriwijaya pada abad ke-10 ke atas,” kata Slamet Muljana.
Artinya, ibu kota Sriwijaya pada abad ke-10 berpindah. Tapi, perpindahan itu tak jauh, dari Palembang ke Sabukingking.
“Orang-orang Tionghoa menyebut nama kerajaan, yang pada waktu itu masih jelas bernama Sriwijaya, dengan nama pusat kerajaannya,” kata Slamet Muljana.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar