Riwayat Pertapaan di Lereng Gunung Ungaran
Dulunya lingkungan Candi Gedongsongo di lereng Gunung Ungaran cocok menjadi tempat menyepi para pertapa. Kini kelestariannya terancam.
HUTAN pinus, hawa sejuk, udara yang bersih, jauh dari hiruk pikuk suasana perkotaan yang ruwet. Di kawasan semacam itulah Kompleks Candi Gedongsongo berada. Secara berkelompok candi-candi dibangun di atas bukit dan mengikuti kontur lereng Gunung Ungaran. Jika hari cerah, Gunung Telomoyo, Merbabu, Merapi, Sumbing, dan Sindoro terlihat di kejauhan.
Kompleks Candi Gedongsongo terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, dan Desa Jubelan, Kecamatan Sumowono, yang masuk wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Nama Gedongsongo diberikan oleh penduduk setempat, yang dapat diartikan sebagai rumah (gedong) yang berjumlah sembilan (songo).
Keberadaan candi-candi ini diungkapkan kali pertama oleh Joan Gideon Loten, pejabat Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), pada 1740. Th. Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java mencatat kompleks tersebut dengan nama “Gedong Pitoe” karena hanya ditemukan tujuh kelompok bangunan. Penelitian yang dilakukan para arkeolog Belanda awal abad ke-20 menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya diubah menjadi Gedongsongo.
Baca juga: Singgah di Rumah Dewa Siwa
Saat ini hanya lima kelompok candi yang masih utuh. Letaknya berpencar. Dimulai dari Candi Gedong I yang terletak paling bawah sampai Candi Gedong V yang tertinggi.
Semua kelompok candi didirikan di puncak-puncak bukit yang berbeda. Keberadaannya dibagi menjadi dua oleh ngarai sedalam 50 m. Di sanalah mengalir mata air panas belerang. Gedong I, II dan III terletak di sisi timur ngarai. Sementara kelompok candi lainnya berada di sebelah baratnya.
Baca juga: Senja di Atas Bukit Kapur
Candi-candi Gedongsongo ini bersifat Hindu-Siwa. Sebuah yoni masih ditemukan di ruangan Candi Gedong I. Yoni melambangkan Dewi Uma atau Parwati yang merupakan pasangan dari Dewa Siwa. Arca Durga Mahisasuramardini juga masih bisa dilihat di relung utara candi. Ada pula arca Ganesa di relung sebelah timur dan Agastya di relung selatan Candi Gedong III.
Kendati tak ada prasasti yang menyebutkan masa pembangunan candi, berdasarkan ciri-ciri arsitekturnya, Candi Gedongsongo mempunyai Gaya Klasik Tua atau disebut pula Gaya Mataram Kuno.
“Candi Gedongsongo diperkirakan dibangun pada abad ke-8, sedikit lebih muda dari Candi Dieng, yaitu pada masa Kerajaan Mataram Kuno,” sebut Edi Sedyawati dkk dalam Candi Indonesia: Seri Jawa.
Tempat Bagi Para Pertapa
Arkeolog Veronique Myriam Yvonne Degroot dalam disertasinya di Universitas Leiden berjudul “Candi, Space, and Landscape: a Study on the Distribution, Orientation, and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains” berpendapat, ada alasan kuat untuk bilang bahwa Candi Gedongsongo, dan juga Candi Dieng, tidak berdiri di tengah permukiman. Areanya begitu luas. Wilayahnya berada di ketinggian yang tak cocok untuk budidaya padi basah. Sudah begitu letaknya terpencil. Degroot menyimpulkan, lingkungan di sekitar Gedongsongo lebih cocok sebagai tempat semedi bagi para pertapa dan atau tempat ziarah.
Lydia Kieven, arkeolog asal Jerman, dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit menulis keterpencilan gunung menarik peziarah yang mencari kesunyian untuk inspirasi dan memahami pengetahuan religius.
Baca juga: Kisah Para Pertapa Perempuan
“Kemungkinan besar, peziarah dari semua bagian masyarakat, khususnya anggota aristokrasi dan bahkan raja-raja, menyepi ke pertapaan guna mencari pengetahuan dan kekuatan spiritual,” tulis Lydia.
Degroot punya alasan lain kenapa Gedongsongo layak sebagai tempat semedi. Dia mencermati ada beberapa tahapan pembangunan percandian ini. Berdasarkan orientasi, denah, dan dimensinya, Candi Gedongsongo III, IV, dan VI adalah yang paling awal dibangun. Sementara Gedongsongo I dibangun pada masa berikutnya.
“Gedongsongo II dalam hal ini tidak pasti. Secara denah dan dimensi jelas berbeda dari Gedongsongo I, tetapi tidak serupa pula dengan Gedongsongo III, IV dan VI,” jelas Degroot.
Baca juga: Tempat Menyepi dan Belajar Agama
Tak ada pola yang jelas dalam perencanaan pendirian kompleks percandian ini. Hubungan antarbangunan tampak longgar atau, paling banter, tidak terencana. Sangat mungkin tempat-tempat ini berkembang secara organik dari inti bangunan asli, berbeda dari kompleks candi yang berpola konsentris seperti Kompleks Candi Prambanan yang seluruhnya direncanakan sejak awal.
Selain itu, candi-candi Gedongsongo memiliki masa huni yang sangat lama. “Sebuah prasasti abad ke-14 lebih jauh memberi kesaksian bahwa Gedongsongo masih digunakan kala itu,” kata Degroot.
Rawan Longsor
Suasana hening di lereng gunung memang mendukung pelaksanaan ritual yang sempurna. Namun sayangnya, karakteristik kawasan Gedongsongo merupakan ekosistem Gunungapi Ungaran yang punya permasalahan, yaitu rawan longsor. Bencana ini juga mengancam bagi keberadaan candi-candi di sana.
Menurut Asmara Dewi Balai, peneliti Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, dalam “Implementasi Manajemen Risiko dalam Konservasi Kawasan Cagar Budaya (Studi Kasus Kawasan Candi Gedongsongo)” dimuat Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur Vol. 9 No. 2, Desember 2015, selain rawan longsor, kawasan ini rentan oleh perubahan status hutan produksi menjadi hutan wisata dan pertanian yang tak sesuai kemampuan lahan. Sayuran wortel, kol, rumput gajah merupakan tanaman musiman di sana.
Baca juga: Bertahan di Tanah Tandus
“Pemanfaatan pertanian musiman oleh warga setempat yang sebenarnya tidak dibolehkan karena tidak sesuai karakteristik lingkungannya,” lanjut Asmara. “Perlu penyesuaian jenis tanaman dengan memperhatikan teknik penanaman dan jenis tanah.”
Deddy Erfandi, peneliti Badan Litbang Pertanian pada Balai Penelitian Tanah, dalam “Sistem Vegetasi dalam Penanganan Lahan Rawan Longsor pada Areal Pertanian”, dimuat pada Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan, menjabarkan soal penanganan longsor melalui pengelolaan vegetasi. Tanaman keras yang dijadikan sebagai pagar pada pertanaman semusim bisa menghambat aliran permukaan dan erosi. Perakarannya juga bisa menjadi pengikat struktur tanah.
Baca juga: Sejarah Vihara, Tempat Belajar Para Biksu
Upaya pelestarian kawasan Kompleks Candi Gedongsongo pernah dilakukan oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation melalui Gerakan Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan). Lewat program Candi Sadar Lingkungan (Candi Darling), mereka menanami areal Candi Gedong I dengan bambu jepang, hujan mas, pucuk merah, tabebuia rosea, pinus, cemara, puspa, serta akar wangi. Lalu di kawasan Candi Gedong IV ditanami pinus, cemara, puspa, dan akar wangi.
Euthalia Hanggari Sittadewi, peneliti Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), dalam “Peran Vegetasi dalam Aplikasi Soil Bioeningeering” di Jurnal Sains dan Teknologi Mitigasi Bencana Vol. 12 No. 2, Desember 2017, mencatat lereng yang tertutupi vegetasi seperti rumput dan bambu membuat lapisan tanah paling atasnya terlindungi.
“Untuk kasus tertentu, di mana lereng sangat curam sulit ditanami tanaman besar, maka untuk menstabilkan lereng masih dapat dilakukan dengan penanaman tanaman perdu atau semak kecil,” katanya.
Baca juga: Kebakaran Hutan Masa Majapahit
Menurutnya, tanaman akar wangi atau rumput vertiver merupakan salah satu yang dapat mengendalikan erosi. Akar wangi mempunyai sistem penetrasi akar yang dalam dan kemampuan mengikat tanah yang baik dan dapat hidup pada berbagai jenis tanah.
Dengan begitu apa yang dilakukan gerakan Candi Darling di Gedong Songo kala itu diharapkan bisa mengedukasi, khususnya kepada generasi muda, untuk bisa ikut merawat dan menjaga lingkungan. Salah satunya dengan menghijaukan situs-situs bersejarah warisan leluhur. Gerakan ini telah mengajak 250 mahasiswa ikut serta merawat Kawasan Gedong Songo. Mereka berasal dari 54 universitas di Indonesia, seperti Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, dan Universitas Negeri Semarang.
Bagaimanapun, seperti misalnya di Candi Gedongsongo, situs bersejarah dan lingkungan sekitarnya merupakan kesatuan yang tak terpisah. Bukan hanya candi yang harus dijaga. Kawasannya juga mesti dipelihara. Program penghijauan kawasan candi, karenanya, patut dilanggengkan. Tentunya demi mencegah suasana yang dulu dibangun para pembuat candi-candi Gedongsongo itu sirna.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar