Ridwan Saidi dan Dapunta Hyang
Ridwan Saidi menyebut penguasa Sriwijaya ini sebagai emanasi Tuhan. Siapa Dapunta Hyang sebenarnya?
Banyak kesalahan yang dilakukan para ahli ketika menerjemahkan prasasti-prasasti Sriwijaya. Karenanya pengertian akan keberadaan Sriwijaya selama ini pun banyak yang salah kaprah.
Hal itu dikatakan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam salah satu video yang diunggah di kanal YouTube "Macan Idealis". Menurutnya, salah satu kesalahan adalah pengertian mengenai tokoh Dapunta Hyang yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Kesalahan itu disebabkan kekhilafan para ahli yang menyangka prasasti itu berbahasa Melayu Kuno. Padahal prasasti itu berbahasa Armenia. “Banyak sekali bahasa Melayu menyerap dari bahasa Armenia. Jadi ketika dibaca oh ini bahasa Melayu padahal bahasa Armenia,” kata Ridwan.
Akibatnya, tokoh Dapunta Hyang dikira para ahli sebagai seorang prabu. “Padahal itu artinya image Tuhan,” kata Ridwan.
Selain itu, Ridwan juga menyalahkan penerjemahan kata Sriwijaya. Menurutnya dalam bahasa Armenia, Sriwijaya artinya Sang Ruang. Jadi, Kedatuan Sriwijaya artinya bukan Keraton Sriwijaya, tapi selubung Sang Ruang.
Ridwan sendiri mengaku tak membaca keseluruhan Prasasti Kedukan Bukit. Namun, menurutnya, prasasti itu mengisahkan para agamawan yang disebut rsi. Mereka suka sekali air dan buah-buahan segar. Mereka selalu beribadah kepada image Tuhan, yaitu Dapunta Hyang sehingga badan mereka menjadi sehat.
Ridwan juga menganggap Prasasti Kedukan Bukit bukanlah bukti adanya Kerajaan Sriwijaya. Namun itu adalah bukti adanya komunitas spiritual kaum Sheba yang dibawa Ratu Sheba pada abad ke-2.
“Jadi, ini maknanya soal beribadah. Ini prasasti soal teologi bukan tentang power. Kedukan Bukit itu teologi dari kaum Sheba,” kata Ridwan.
Baca juga: Membantah Sriwijaya Fiktif
Sementara itu, berdasarkan terjemahan yang dilakukan ahli epigrafi Indonesia, Boechari dan filolog Belanda, J.G. de Casparis, prasasti yang ditemukan di Palembang itu isinya adalah tentang Dapunta Hyang yang naik perahu untuk menempuh suatu perjalanan. Dia berangkat dari Minangga Tamwan membawa bala tentara dua puluh ribu jumlahnya.
“…sukacita. pada hari ke lima paro-terang bulan (Asada) lega gembira datang membuat wanua ini…(maka) Sriwijaya berjaya, dan perjalanan itupun berhasil dan makmur sejak itu,” catat prasasti itu.
Sebelumnya, N.J. Krom dan Mohammad Yamin menganggap kalau prasasti Kedukan Bukit adalah proklamasi Kerajaan Sriwijaya. Namun, menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya, prasasti ini tak ada hubungannya dengan soal pendirian Sriwijaya.
Berdasarkan berita Tiongkok, Sejarah Dinasti Tang, Kerajaan Sriwijaya telah mengirim utusan ke Tiongkok pada 670, sekitar 13 tahun sebelum Prasasti Kedukan Bukit diterbitkan.
Artinya, pada 683, yaitu pertanggalan dalam Prasasti Kedukan Bukit, Kerajaan Sriwijaya telah berdiri tegak. Bahkan Dapunta Hyang sudah punya tentara paling tidak 20.000 orang.
“Demikianlah anggapan bahwa Piagam Kedukan Bukit adalah piagam proklamasi dengan sendirinya tidak dapat dipertahankan,” tulis Slamet Muljana.
Baca juga: Inilah Akta Kelahiran Sriwijaya
Maka, Slamet Muljana pun berpendapat Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti siddhayatra, bahkan prasasti jayasiddhayatra. Maksudnya, prasasti ini mencatat perjalanan jaya sebagaimana disebutkan di dalamnya. Menurutnya sudah jelas bahwa perjalanan jaya adalah kejadian besar dalam kehidupan kenegaraan. Perjalanan jaya itu mempunyai hubungan dengan kemenangan yang diperoleh dalam peperangan.
“Piagam Kedukan Bukit itu piagam perjalanan, terbukti karena pada piagam yang terlalu pendek itu tercatat beberapa perjalanan,” tulis Slamet Muljana.
Dapunta adalah Gelar
Adapun tokoh Dapunta Hyang, menurut Slamet Muljana tak merujuk pada aspek ketuhanan seperti yang dikatakan Ridwan Saidi. Dapunta adalah gelar seseorang.
Pasalnya, bukan cuma sekali tokoh bergelar dapunta ini disebutkan dalam sejarah. Gelar dapunta hyang juga muncul dalam Prasasti Talang Tuwo yang dikeluarkan setahun setelah terbitnya Prasasti Kedukan Bukit.
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di dekat Bukit Siguntang, Palembang. Di dalamnya, istilah dapunta hyang menjadi awalan bagi nama Sri Jayanasa, yaitu parwanda punta hyang sri jayanasa.
Prasasti itu mengisahkan Sri Jayanasa sebagai tokoh yang memerintahkan pembangunan taman Sriksetra. Taman ini ditanami beragam buah-buahan untuk kebaikan masyarakat. Pada akhir prasasti terdapat doa untuk Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Baca juga: Raja Sriwijaya Membangun Taman Kota
Agaknya bunyi prasasti ini yang lebih mirip isi Prasasti Kedukan Bukit versi Ridwan Saidi, yaitu tentang buah-buahan dan doa bagi Dapunta Hyang. Doa itu untuk mendoakan Dapunta Hyang sebagai balasan amalannya, yaitu memberi hadiah taman buah-buahan bagi rakyatnya.
Menurut Slamet Muljana prasasti itu lebih jauh mengungkapkan harapan di balik pembangunannya. Di balik keinginan untuk beramal, pemberian hadiah itu juga disertai doa agar Dapunta Hyang memperoleh pula kebaikan. Sesuai ajaran Buddha, taman yang dibangun Sri Jayanasa itu merupakan persembahan dengan tujuan mencapai level tertinggi dalam kehidupan Buddha yang dijalaninya.
Berdasarkan prasasti ini, menurut Slamet Muljana, dapunta hyang adalah gelar penguasa Sriwijaya, yaitu Sri Jayanasa yang memerintahkan pembangunan taman. Begitu pula yang dimaksud dalam Prasasti Kedukan Bukit.
“Mengingat selisih waktu antara Piagam Kedukan Bukit dan Piagam Talang Tuwo hanya satu tahun saja, maka kiranya dapunta hyang pada Kedukan Bukit adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa juga,” tulis Slamet Muljana.
Baca juga: Raja-raja yang Bertakhta di Sriwijaya
Istilah dapunta muncul pula dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Batang, Jawa Tengah. Prasasti yang juga berdialek Melayu Kuno ini diperkirakan semasa dengan Prasasti Kedukan Bukit.
Penanggalan itu dijabarkan oleh Boechari dalam "Old Malay Inscription Sojomerto" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Menurutnya, penanggalan itu didapat dengan membandingkan gaya penulisan karakter "ya" dalam Prasasti Kedukan Bukit dan juga dalam Prasasti Dinoyo di Malang dari 760.
“Dengan perbandingan itu perasasti ini sangat mungkin berasal dari abad ke-7,” tulis Boechari.
Dalam Prasasti Sojomerto, dapunta dipakai untuk mengawali penyebutan Selendra, yaitu dapunta selendra. Dia disebutkan dalam prasasti sebagai pemuja Siwa yang taat, yang memiliki ayah bernama Santanu, ibu bernama Bhadrawati, dan istri bernama Sampula.
Gelar dapunta juga dipakai oleh beberapa tokoh dengan kedudukan yang berbeda. Boechari menyebut banyak contoh dalam epigrafi Jawa Kuno yang memakai gelar seperti, punta, dapunta, dan dapu hya. Gelar-gelar itu tak melulu milik anggota keluarga kerajaan. Kebanyakan justru menjadi gelar para pemuka agama. Seperti disebutkan dalam prasasti-prasasti masa Mpu Sindok dari masa Tamwlang-Kahuripan di Jawa bagian timur sekira tahun 929-948. Gelar dapunta sering kali dipakai oleh samgat tiruan. Samgat adalah singkatan dari san pamgat, yang merupakan gelar keagamaan.
Baca juga: Merebut Kekuasaan Bersama Agamawan
Samgat tiruan pada masa Majapahit adalah salah satu dari pejabat kehakiman. Menurut Nagarakrtagama jumlahnya ada tujuh. Belum diketahui apakah hal yang sama diberlakukan pada masa Mataram Kuno.
Gelar itu juga disebut dalam Prasasti Dang Pu Hawang Glis dari 827 yang ditemukan di Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti Melayu Kuno ini menyebut gelar dapunta dan dapu hya bukan untuk keluarga kerajaan. Prasasti ini berisi tentang ritual agama.
Baca juga: Tempat Menyepi dan Belajar Agama
Yang jelas, entah dimiliki raja atau kaum agamawan, dapunta menurut bukti-bukti yang ada merupakan gelar bagi seseorang. Menurut Slamet Muljana, bukan hal yang aneh jika pemakaian gelar itu bisa berbeda-beda di berbagai tempat dan waktu.
“Pemakaian gelar terikat pada waktu dan tempat. Oleh karena itu, mungkin sebutan atau gelar yang sama, berbeda maknanya di Jawa dan di Sumatra,” tulis Slamet Muljana.
Misalnya, pemakaian gelar teuku atau tengku di Aceh. Gelar ini menunjukkan keturunan raja. Pun demikian halnya tengku dan ungku di Johor, Malaysia. Namun, sebutan yang sama di Minangkabau biasa digunakan untuk menyebut seorang guru. Derajatnya sama dengan pak di Indonesia. “Ringkasnya, gelar atau sebutan itu dalam pemakaiannya dapat mengalami perubahan semantik,” tulis Slamet Muljana.
Jika pun Ridwan Saidi meyakini gelar itu sebagai emanasi Tuhan, dia toh mengaku telah mempelajari berbagai bahasa kuno sejak 1989. Termasuk bahasa Armenia yang tak diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Dia tentu tak akan percaya pendapat para ahli itu, sebagaimana yang dia katakan dalam salah satu video di kanal YouTube "Macan Idealis": “Saya mencoba menguasai aksaranya juga termasuk hieroglif. Saya nggak percaya buku-buku yang disodorkan.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar