Raja Airlangga Mengembalikan Kejayaan Mataram Kuno
Raja Airlangga menerbitkan prasasti untuk melegitimasi kekuasaannya. Memuat silsilah dan peperangan menundukkan musuh-musuhnya.
Jawa seakan ditimpa pralaya, kehancuran dunia pada akhir zaman Kaliyuga. Istana Mataram Kuno di Jawa Timur terbakar tak bersisa. Serangan Haji Wurawari juga menewaskan Maharaja Dharmawangsa Tguh. Pemerintahannya berakhir pada 1016.
Menantu sekaligus keponakannya, Airlangga, melarikan diri ke hutan. Setelah hidup bersama para rsi selama beberapa tahun, dia kembali ke puing-puing kerajaan mertuanya dan dinobatkan pada 1019.
Ade Latifa Soetrisno dalam “Prasasti Baru Tahun 925 S/1030 M: Sebuah Kajian Ulang”, skripsi di jurusan arkeologi Universitas Indonesia tahun 1988, menyebutkan bahwa keadaan di Jawa ketika awal pemerintahan Airlangga masih sangat kacau. “Kerajaan Dharmawangsa telah terpecah menjadi sekian banyak kerajaan kecil yang menimbulkan kesukaran besar kepada Airlangga,” tulis Ade.
Baca juga: Menggali Isi Prasasti Airlangga di Museum India
Airlangga tidak langsung menundukkan musuh-musuhnya. Dia menerbitkan Prasasti Pucangan untuk melegitimasi kekuasaannya. Prasasti itu memuat silsilah keluarganya hingga Mpu Sindok, pendiri Dinasti Isana sekaligus penguasa Mataram pertama setelah pusatnya pindah ke Jawa Timur.
Airlangga juga menerbitkan beberapa prasasti berisi kemenangannya dalam peperangan melawan raja-raja daerah yang tak mau tunduk. Keterangan ini ditemukan pula dalam Prasasti Pucangan. Tersua juga bagaimana dia memberikan hadiah gelar kehormatan dan status sima kepada mereka yang berjasa memperkuat kedudukannya.
Musuh-musuh Airlangga
Upaya Airlangga memerangi musuh-musuhnya untuk menundukkan mereka agar mengakui hegemoninya.
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, dalam laporan penelitian “Prasasti-Prasasti Sekitar Masa Pemerintahan Raja Airlangga: Suatu Kajian Analitis” tahun 1996, mencatat penyerangan-penyerangan Airlangga dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta (1037 M). Operasi militernya dilakukan sejak tahun 1029 (951 Saka) hingga 1037 (959 Saka).
Airlangga menyerang wilayah Wuratan dan mengalahkan rajanya, Wisnuprabhawa, pada 1029 (951 Saka). Raja ini adalah putra dari raja yang ikut menyerang Dharmmawangsa Tguh.
Pada 1031 (953 Saka), Airlangga mengalahkan Haji Wengker yang bernama Panuda. “...yang hina seperti Rawana,” catat prasasti itu.
Panuda sempat melarikan diri meninggalkan keratonnya di Lewa. Namun, dia dikejar ke Desa Galuh dan Barat. Pada 1031 (953 Saka), anaknya dapat dikalahkan, keratonnya dihancurkan sampai tak bersisa.
Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno
Menurut Vernika Hapri Witasari, arkeolog Universitas Indonesia dalam skripsinya “Prasasti Pucangan Sanskerta 959 Saka (Suatu Kajian Ulang)” tahun 2009, lawan Airlangga sangat kuat. Hal ini tercatat dalam Prasasti Pucangan bahwa “dengan pasukan tentara yang sangat besar jumlahnya” Raja Airlangga menyerang Raja Wengker.
Namun, tak jelas apakah Raja Wengker tewas dalam serangan itu atau hanya ditawan. Di dalam prasasti hanya ditulis “berhasil diserang dan dikalahkan”. Di kemudian hari Raja Wengker menyerang kembali.
Pada 1032 (954 Saka), Airlangga melibas Haji Wurawari. Maka, lenyaplah segala perusuh di tanah Jawa. Namun, dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta disebutkan bahwa pada tahun itu Airlangga juga menyerang seorang ratu perempuan yang gagah perkasa seperti raksasa. Walaupun sulit, dia tetap menang.
Balas Jasa
Kemenangan lainnya disebutkan dalam Prasasti Baru dari tahun 1030 (952 Saka). Kali ini Raja Hasin yang harus menerima kekalahan. Atas kemenangannya, Airlangga memberi hadiah sima kepada rakyat Desa Baru yang telah memberi penginapan kepada raja dan tentaranya pada awal serangan.
Sementara Prasasti Terep (1032) mencatat berita kekalahan Airlangga pada tahun yang sama dengan serangannya ke Haji Wurawari dan kerajaan ratu perempuan perkasa.
Kekalahan itu membuat raja terpaksa meninggalkan keratonnya di Wwatan Mas dan melarikan diri ke Patakan. Tak disebutkan siapa musuh yang menyerang kerajaan pada saat itu.
Baca juga: Raja-Raja di Singgasana Mataram Kuno
Isi Prasasti Terep menyebutkan bahwa raja telah memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong berkat jasanya saat raja menyingkir dari Wwatan Mas ke Patakan.
Rakai Pangkaja Dyah Tumambong telah berdoa dan melakukan puja kepada Bhatari Durga agar Airlangga memperoleh kemenangan dalam peperangan. “Dia berjanji jika permohonannya terkabul akan mengajukan permohonan pada raja agar Desa Terep, tempat pertapaan yang digunakan untuk berdoa dan pujanya itu dijadikan sima,” tulis Ninie.
Setelah Airlangga mendapat kemenangan, dia pun meluluskan permohonan Dyah Tumambong. Pada namanya disematkan gelar Rakai Halu. Sehingga namanya menjadi Rakai Halu Dyah Tumambong.
Prasasti Pucangan masih menyebut satu serangan lagi dari Haji Wengker. Dia mungkin memberontak pada 1035 (957 Saka). Raja itu bernama Wijayawarmma.
Baca juga: Perempuan Penguasa Masa Mataram Kuno
Dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta dijelaskan pada 957 Saka Airlangga berangkat ke barat dengan pasukan siap tempur dan prajurit tangguh tidak terhitung. Mereka meraih kemenangan terhadap Wijayawarmma. Tak lama setelah itu, Wijayawarmma ditangkap oleh pasukannya sendiri dan gugur.
Namun, keterangan berbeda terbaca pada bagian Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno (1041). Pada 1035, Airlangga menaklukkan Wijayawarmma di Tapa. Dia berusaha melarikan diri mencari desa yang sulit dijangkau oleh pasukan Airlangga. Dia meninggalkan putra, permaisuri, kekayaan, dan berbagai jenis kendaraan.
Peperangan Airlangga belum juga berakhir. Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno mencatat bahwa pada 1037, Wijayawarmma melarikan diri ke Kapang dengan pasukan yang masih setia dan berhasil dikalahkan di Sarasa. “Setelah itu perang pun berakhir,” tulis Vernika.
Vernika berpendapat penggambaran Ailangga yang menundukkan musuh-musuhnya itu, khususnya dalam Prasasti Pucangan, menunjukkan betapa raja sanggup menenteramkan negaranya. “Hal ini mengingat bahwa Prasasti Pucangan adalah upaya legitimasi sebagai raja yang memang berhak atas takhta kerajaan,” jelas Vernika.
Baca juga: Ekspedisi Mataram Kuno ke Luar Jawa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar