Puasa Zaman Gajah Mada
Sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara sudah terbiasa puasa. Dari beragam puasa ada yang masih dilakukan hingga sekarang.
GAJAH MADA menyerukan sumpahnya dengan lantang di balairung kedaton, pada sebuah pertemuan yang dihadiri para pejabat tinggi Majapahit. Dia berkata jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik telah mengakui kejayaan Majapahit, pada waktu itulah dia amukti palapa.
Tak ada yang tahu pasti apa maksud amukti palapa. Namun, ada yang menafsirkan Gajah Mada tengah bernazar. Dia akan melakukan puasa mutih demi tercapai angan-angannya.
“Ada yang menafsirkan hamukti palapa sebagai tindakan makan nasi saja, tanpa lauk, tanpa perasa, santan. Ada yang menafsirkan begitu,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, kepada Historia.
Filolog dan sejarawan Slamet Muljana termasuk yang berpandangan serupa. Dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, dia menyamakan amukti palapa dengan bertapa. Orang yang sedang ngalapa bisa dikatakan sedang mutih karena biasanya mereka makan nasi tanpa garam atau perasa apapun.
Apa yang dilakukan Gajah Mada itu, masih dilakukan beberapa orang khususnya para penghayat Kejawen. Untuk menggapai keingginannya, mereka akan mutih, pantang mengkonsumsi apapun selalin nasi putih dan air putih.
Puasa mutih hanyalah satu di antara banyak jenis puasa yang dikenal orang Jawa. Ada yang disebut puasa patigeni, yaitu tak makan dan minum, lalu mengunci diri dalam ruang tertutup tanpa cahaya apapun. Ada pula puasa ngrowot yang hanya makan buah-buahan. Kemudian puasa weton untuk memperingati hari lahir seseorang.
Belum bisa dipastikan sejak kapan persisnya praktik yang kemudian disebut puasa itu dikenal di Nusantara, khususnya Jawa. Namun, sebagai sebuah tindakan, konsep puasa bukanlah hal yang baru saja diterima ketika ajaran Nabi Muhammad Saw masuk.
Dimulai dari bahasa, Dwi menjelaskan, kata ‘puasa’ berasal dari bahasa Jawa, yaitu poso. Sementara poso berasal dari pasa, yang ditemukan dalam bahasa Jawa Tengahan dan Jawa Kuno.
“Ini pun serapan dari bahasa Sanskerta yang secara harfiah berarti jerat, ikatan, dan kekangan. Bisa untuk fisik maupun nonfisik, seperti pengekangan nafsu, hasrat, dan keinginan,” kata Dwi.
Istilah baru kemudian meluas ketika pengaruh Islam masuk. Orang Jawa selanjutnya mengenal istilah shaum atau shiyam, yang merupakan bahasa Arab. Namun, istilah ini tak begitu saja menggantikan istilah poso. Di Jawa, siam menjadi penghalusan dari kata poso.
“Padahal siam ini secara etimologis dari bahasa Arab, shiyam, tapi keduanya direlasikan merujuk pada hal yang sama karena konsepnya hampir sama, pengendalian diri dari nafsu,” ujar Dwi.
Dalam pengertian yang seperti itu, pada masa lalu bentuk puasa atau pasa bisa dilakukan dalam bentuk tapa. Baik dalam melakukan puasa, pasa, tirakat, maupun tapa, seseorang harus punya kemampuan menghadapi godaan, mengendalikan nafsu, demi mencapai suatu tujuan.
“Ini digambarkan di sumber tekstual dan relief, sebagai jejak awal konsep pengendalian atau pengekangan diri,” ujar Dwi.
Dalam sumber kesusastraan kata pasa ditemukan dalam Kakawin Ramayana. Menurut pakar sastra Jawa Kuno, Poerbatjaraka, Ramayana versi Jawa Kuno berasal dari masa sebelum pemerintahan Mpu Sindok di Medang abad 10. Di dalamnya terdapat istilah pasa-brata, yang berarti aktivitas pasa. Di sini, pasabrata diarahkan pada penyikapan atas kedurjanaan.
“Untuk menghadapi kedurjanaan dilakukan upaya pengekangan diri. Dalam konsep Ramayana, usaha ini butuh kekuatan diri yang sangat besar. Puasa kan memang tidak mudah,” jelas Dwi.
Konsep pengendalian hawa nafsu ini juga ditemukan dalam Kakawin Arjunawiwaha. Karya gubahan Mpu Kanwa ini ditulis pada era Airlangga, penguasa Kahuripan pada awal abad 11. Dikisahkan Arjuna melakukan tapa di Gunung Indrakila demi bisa membantu saudaranya Yudhistira merebut kerajaannya kembali.
Sebagaimana diabadikan pula dalam relief Candi Surawana dari abad 14 di Pare, Kediri, dalam tapanya, Arjuna harus melawan segala macam godaan. Termasuk rayuan bidadari-bidadari kiriman surga. Dua yang tercantik adalah Suprabha dan Tilottama.
“Puasa, pasa atau tapa itu kan bagaimana menghadapi segala godaan, bukan cuma makan dan minum, tapi nafsu seks, nafsu marah, serakah, dan lainnya,” jelas Dwi.
Dalam karyanya itu, Mpu Kanwa juga menyelipkan pesannya. Katanya, lancang bagi orang yang memohon kesenangan dan kebahagiaan pada Tuhan tanpa pernah melakukan brata-yoga-tapa. Bukannya terkabul, justru yang akan diterima adalah penderitaan dan sakit hati.
Ada lagi kisah Lubdaka dalam Kakawin Siwaratrikalpa. Karya Mpu Tanakung ini dibuat pada masa Majapahit akhir abad 15. Dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka terpaksa harus bermalam di atas pohon Bilwa di tengah hutan, setelah seharian tak dapat hasil. Dia pun selama sehari penuh berpuasa tak makan dan minum.
Malam itu rupanya bertepatan dengan Siwaratri, malam pemujaan bagi Dewa Siwa. Dia pun seakan sedang melakukan puja karena tak sengaja menjatuhkan daun dan air ke atas lingga yang ada di bawahnya. Amalan yang dia lakukan itu, meski tanpa disadari, akhirnya membawanya pada kemuliaan di alam Siwaloka.
Puasa atau tirakat bagi kehidupan masyarakat Jawa Kuno merupakan bagian dari ajaran hidup. Menurut Dwi, dalam karesian dan kadewaguruan, tapa menjadi salah satu materi pelajaran. Kemampuan untuk mengendalikan nafsu dinilai penting, terutama bagi seseorang yang akan terjun ke dunia nyata.
Dalam catur asrama, atau empat tahapan kehidupan sebelum mencapai moksa, fase itu akan dilalui sebagai seorang Brahmacari. Tapa merupakan tahapan paling awal.
Seseorang akan kembali menjalani tapanya ketika mencapai fase yang ketiga, wanaprasta. Pada tahap ini, seorang kepala rumah tangga harus meninggalkan dunianya menuju kesunyian di tempat-tempat terpencil.
“Aktivitas pengendalian diri ini memang lebih sering dilakukan ketika masuk masa transisi, ketika muda mau terjun ke dunia, atau ketika menjelang tuanya,” jelas Dwi.
Contohnya adalah Airlangga. Seperti diuraikan dalam Prasasti Pucangan (1042), raja itu juga memulai karier politiknya setelah lebih dulu hidup di kalangan pertapa. Sebelum dinobatkan sebagai raja pada 1009, Airlangga selama dua tahun melakukan latihan rohani di Gunung Pucangan yang ada di perbatasan Lamongan dan Jombang.
Pada masa akhir pemerintahannya, dia pun kembali menjalani tapanya. Setelah dia membagi kerajaannya menjadi dua: Janggala dan Panjalu.
“Airlangga menjadikan tokoh Arjuna (dalam Arjunawiwaha, red.) sebagai model. Ini juga kenapa kisah Arjuna muncul pada era Airlangga,” ujar Dwi.
Aktivitas semacam ini makin subur mendekati era akhir Majapahit. Pusat-pusat keagamaan banyak bermunculan di lereng gunung yang terpencil.
Ada sebuah prasasti pendek dari Gunung Nyamil yang berasal dari masa Majapahit akhir. Di dalamnya disebutkan beragam jenis bentuk tapa. Salah satunya disebutkan kata-kata hatapa racut, yang berkaitan dengan usaha pelepasan diri dari segala dosa.
Lalu ada lagi relief di Candi Gambar Wetan, Blitar. Di sana digambarkan seorang perempuan yang sedang bersemadi sambil duduk telanjang. Perilaku yang sama diwujudkan oleh seorang pertapa laki-laki dalam relief di Candi Kedaton, Probolinggo.
Topo ngalong, bertapa dengan posisi kaki di atas, kepala di bawah seperti kalong juga mungkin dikenal sejak itu. Ada relief yang menggambarkannya di Candi Cetho, Karanganyar.
“Artinya, kegiatan ini dulu sangat beragam. Kalaupun sekarang adanya poso patigeni, mutih, kungkum, itu hanya sisa dulu yang beragam, dulu subur dilakukan,” ujar Dwi.
Mengakarnya konsep ini di tengah masyarakat Nusantara membuat konsep puasa yang dibawa oleh penyebar agama Islam tak sulit diterima. Masyarakat Nusantara sudah tak kaget lagi ketika mendapat perintah Rukun Islam yang salah satunya mengharuskan menahan diri dari segala nafsu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar