top of page

Sejarah Indonesia

Prostitusi Masa Jawa Kuno

Prostitusi Masa Jawa Kuno

Prostitusi telah ada sejak masa Jawa Kuno. Ada petugas yang mengawasi, mengatur, dan menarik pajaknya.

18 Januari 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Relief yang menggambarkan kegiatan seks di dinding Kuil Khajuraho, India. (Wikimedia Commons).

JIKA wanita mengiringkan seorang gadis dan mengantarkannya ke rumah seorang pemuda, atau jika ada wanita memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena mendapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua wanita baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda 4000 oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya.


Begitulah bunyi salah satu pasal dalam undang-undang Agama tentang Paradara atau perbuatan mesum. Ada 17 pasal dalam bab Paradara. Isinya secara umum mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, terutama larangan mengganggu perempuan bersuami.


Dengan peraturan yang begitu ketat, nyatanya keberadaan pekerja seks komersial tetap diakui oleh penguasa pada masa Jawa Kuno. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menerangkan kata jalir berarti pekerja seks. Begitu pula kajaliran. Dua kata itu sering muncul dalam kitab susastra dan prasasti.


Dalam karya sastra, kata jalir muncul dalam Kakawin Bharattayuddha, Kidung Sunda, Kitab Tantri Demung, dan Nitisastra. Selain jalir, ada kata lanji yang dalam istilah Jawa Kuna dan Jawa Tengahan konon digunakan terkait pelacuran. Lanji dijumpai dalam Kakawin Ramayana, Sarasamuccaya, Slokantara, dan Tantri Kadiri.


“Secara harfiah (lanji, red.) berarti berzina, PSK, tergila-gila pada perempuan atau lelaki,” kata Dwi ketika ditemui usai acara Pindah Tongkrongan bersama Komunitas Sahabat Museum (Batmus) di Museum Nasional, akhir pekan lalu.


Keberadaan pelacuran juga disebut dalam berita Tiongkok. Kronik Dinasti Tang, Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu, menyebut di Kerajaan Kalingga (Holing) banyak "perempuan berbisa". Jika seseorang berhubungan kelamin dengannya, dia akan luka-luka bernanah dan mati, tetapi mayatnya tak membusuk.


“Berita ini menggambarkan penyakit kelamin telah ada di Jawa pada abad ke-8 Masehi. Dalam istilah Jawa Baru, penyakit ini dinamai rojo singo,” ujar Dwi.


Pemungut pajak dari muncikari

Sementara itu, istilah juru jalir disebut dalam beberapa prasasti dari abad ke-9 M. Misalnya, Prasasti Garaman yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan dari Kerajaan Janggala pada 975 Saka (1053 M) dan pada sisi belakang Prasasti Waharu I tahun 795 Saka (873 M).


Banyak yang mengartikan juru jalir sebagai muncikari. Dwi punya pendapat lain. Menurutnya juru jalir adalah orang yang bertugas memungut pajak dari para muncikari sekaligus mengatur dan mengawasi pelacuran. “Muncikari mestinya ada istilahnya sendiri. Penarikan pajak itu terhadap muncikari bukan kepada pekerja seks-nya,” kata Dwi.


Juru jalir merupakan petugas resmi pemerintah. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Perdaban Jawa, berdasarkan data prasasti, juru jalir masuk dalam kelompok petugas kerajaan yang disebut mangila drawya haji artinya memungut milik raja.


Sebagian dari mereka berkedudukan sebagai abdi dalem keraton. Hidupnya pun tergantung dari gaji yang diambil melalui bendahara kerajaan. “Mangilala Drawya Haji adalah sekelompok pejabat rendahan yang sering dianggap sebagai pejabat-pejabat pemungut pajak,” tulis Supratikno.


Kelompok itu muncul pada abad ke-9 M hingga awal abad ke-14 M sezaman dengan periode Mataram Kuno hingga awal Majapahit. Ketika kelompok ini disebut pertama kali dalam prasasti masa Mataram Kuno, jumlahnya tidak sampai sepuluh. Jumlahnya bertambah dan mencapai jumlahnya tertinggi lebih dari 100 orang pada periode Tamwlang-Kahuripan. Sesudah periode ini jumlahnya menyusut dan mencapai titik terendah pada masa Majapahit.


“Besar kemungkinan semenjak masa Hindu-Buddha pelacuran telah menjadi profesi lewat jasa layanan seks komersial. Bisa dipahami bila prasasti menyebut kata gabung juru jalir. Secara harfiah, istilah juru menunjuk pada kepala, pimpinan, ketua,” kata Dwi.


Yang jelas, jika petugas itu disebutkan dalam prasasti, maka muncikari pun pasti telah ada pada masa Jawa Kuno. Begitu pula para pekerja seks. “Sehingga dapat dikatakan dengan adanya jabatan itu, merupakan pengesahan dari penguasa akan adanya pelacuran,” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Puslit Arkenas.


Namun, menurut Titi dalam Perempuan Jawa, pekerjaan ini tak secara tersurat dijelaskan apakah dilakukan hanya oleh perempuan. Walaupun beberapa karya sastra menggambarkan profesi ini dikerjakan oleh perempuan.


Dwi menyebutkan dalam Tantri Demung misalnya, kata putry atau putri yang berarti anak perempuan muncul mendahului kata si jalir. Begitupun dalam Kakawin Nitisastra yang menempatkan kata perempuan (wadhu) sebelum kata kajaliran.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Seputar Karnak, Kuil Paling Penting di Afrika Utara

Seputar Karnak, Kuil Paling Penting di Afrika Utara

Sudah sejak 150 tahun para arkeolog meneliti Karnak. Akan tetapi asal-usul dan evolusi kompleks kuil dari Peradaban Mesir Kuno itu baru terungkap belum lama ini.
Jalan Panjang Memulangkan Fosil "Manusia Jawa"

Jalan Panjang Memulangkan Fosil "Manusia Jawa"

Akhirnya Belanda serahkan koleksi Dubois. Tidak hanya fosil “Manusia Jawa” tapi juga 28 ribu temuan lain selama Dubois mengeksplorasi Sumatera hingga Jawa.
Ketika Ibukota Khmer Diserbu dan Dijarah Ayutthaya

Ketika Ibukota Khmer Diserbu dan Dijarah Ayutthaya

Konflik antara Kamboja dan Thailand punya sejarah panjang sejak era Khmer dan Ayutthaya yang berimbas pada kejatuhan Angkor.
Candi Preah Vihear dalam Pusaran Sengketa

Candi Preah Vihear dalam Pusaran Sengketa

Riwayat candi yang lebih tua dari Angkor Wat dan sezaman dengan Candi Borobudur. Sudah jadi situs warisan dunia namun melulu dipersengketakan Kamboja dan Thailand.
200 Tahun Perang Jawa: Nama Diponegoro Bakal Terus Hidup

200 Tahun Perang Jawa: Nama Diponegoro Bakal Terus Hidup

Setelah 200 tahun berlalu, Perang Jawa diperingati di Perpusnas RI dalam Pameran 200 Tahun Perang Jawa. Selain tulisan, pelana kuda dan keris Diponegoro turut dipamerkan.
bottom of page