- Hendaru Tri Hanggoro
- 4 Jun 2012
- 4 menit membaca
Diperbarui: 9 jam yang lalu
Clifford Geertz tiba di sebuah desa kecil di Bali awal April 1958 bersama istrinya, Hildred Geertz. Sebagai antropolog, mereka bermaksud meneliti budaya dan masyarakat di sana. Pada hari ke-10 kunjungan, mereka pergi ke sudut desa yang tersembunyi. Di sana, puluhan orang telah berkumpul. Adu ayam tengah dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan seksama. Tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!” Orang-orang berlarian. Tak terkecuali Geertz dan istrinya.
Geertz menuangkan pengalamannya dalam karyanya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting”, termuat dalam Intrepetation of Cultures. Karya itu mengupas aspek antropologis adu ayam (tajen) di Bali. Geertz mengungkapkan, bagi kebanyakan lelaki Bali, tajen menjadi simbol maskulinitas. “Pada arena adu ayam, yang terlihat bertarung memang ayam, tapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali,” tulis Geertz. Namun polisi beranggapan lain. Tajen adalah judi. Kriminal. Jauh dari tujuan awalnya.
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.












