Penobatan Raja pada Masa Hindu-Buddha
Menjadi raja tidak instan. Ia harus melalui masa magang, penguatan legitimasi, dan mendapatkan restu.
Sama halnya dengan masa kini, penobatan seorang penguasa pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi suatu hal yang penting bahkan bukan sekadar seremonial. Pada dasarnya, sulit menemukan data tekstual, baik prasasti maupun karya sastra yang secara khusus memberitakan penobatan seorang raja atau pejabat.
“Beda dengan proses penetapan sima, banyak sekali mendapatkan infonya,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang kepada Historia.
Padahal, tradisi notulensi sudah ada sejak masa Hindu-Buddha. Salah satunya dikenal dengan sebutan citralekha, yaitu orang yang bertugas mencatat perintah raja. Dalam relief Candi Panataran pun diabadikan gambar murid yang mencatat ajaran dari seorang guru.
“Pencatatan mungkin dalam bentuk lontar. Ini kenapa tidak sampai ke kita, bahannya tidak awet,” kata Dwi.
Namun, perihal penobatan penguasa pada masa Hindu-Buddha tetap dapat diperoleh gambarannya. Dalam sebuah penobatan raja, simbol-simbol kebesaran hadir. Yang paling utama adalah mahkota sebagai simbol alih kekuasaan. “Ada simbol lain yang diserahkan antarpenguasa. Prasasti-prasasti Majapahit akhir menyebut terompah, tombak, dan payung,” ujar Dwi.
Baca juga: Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda
Terompah, Dwi menjelaskan, adalah alas kaki atau wujud telapak kaki seorang raja. Dalam beberapa cerita klasik, seperti Ramayana, digambarkan ketika Rama menitipkan kekuasaan pada adiknya hanya meninggalkan alas kakinya. Itulah mengapa dalam prasasti Tarumanegara terdapat cap kaki raja. Tapak ini simbol kekuasaan.
Lancana juga termasuk benda yang diserahterimakan ketika penobatan penguasa. Dalam prasasti terdapat tanda khusus dari penguasa tertentu. Misalnya Surya Majapahit, Crnggalancana milik Kertajaya, atau Garudamukha milik Airlangga.
“Di era kesultanan biasanya berbentuk cincin stempel, kalau kerajaan (Hindu-Buddha, red) namanya lancana, ini sama saja, semacam ada stempel di prasasti. Pada masa Kadiri, masing-masing penguasa punya lancana berbeda,” jelas Dwi.
Penguasa baru juga biasanya akan mengirimkan kabar ke wilayah luar kekuasaannya, sebagai bagian dari diplomasi. Misalnya kepada kerajaan adidaya di Tiongkok. “Memberitakan sudah ada perubahan penguasa, dengan kirim utusan misalnya. Apalagi kalau ada perebutan kekuasaan, perlu banget pengakuan dari luar,” jelas Dwi.
Baca juga: Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa
Penobatan penguasa baru bukan hanya soal seremonial. Pengangkatan raja baru merupakan wujud komitmen dari raja pengganti, termasuk kesinambungan program terdahulu, rencana ke depan, dan legitimasi kekuasaan.
Kesinambungan kebijakan biasanya berupa pengembangan dari program yang lalu. Misalnya, doktrin Hamukti Palapa yang dideklarasaikan Gajah Mada, patih Kerajaan Majapahit. Awalnya ini merupakan doktrin politik Ratu Majapahit, Tribhuwana Wijayattungadewi. Oleh Raja Hayam Wuruk, sebagai pengganti ibunya, doktrin politik ini diteruskan. “Jadi, tidak kemudian penguasa baru semuanya baru,” kata Dwi.
Contoh lain dilakukan Kertanagara, raja Singhasari. Dia mengembangkan program raja terdahulu, Jaya Wisnuwardhana yang berniat mengintegrasi seluruh Jawa dalam Cakrawala Mandala Jawa. Krtanagara kemudian memperluasnya menjadi Cakrawala Mandala Dwipantara, yang mencakup wilayah lebih luas.
Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris
“Untuk mencapai itu ada reformasi, ada penataan ulang dalam internal kepemerintahan,” ujar Dwi. Doktrin itu sudah disampaikan ketika penobatan raja dilakukan. Menurut Dwi, ini bisa disamakan dengan penyampaian visi dan misi pejabat pada masa kini.
“Penguasa berikutnya menyampaikan programnya ke khalayak. Kalau sekarang kan ini masuknya pada saat pilkada, untuk kompetisi yang menarik yang mana,” jelasnya.
Yang lebih penting, untuk menjadi seorang penguasa, raja-raja dulu harus melalui proses magang. Biasanya putra atau putri mahkota akan ditempatkan terlebih dahulu di daerah vassal. Mereka akan menjabat sebagai raja muda atau yang biasa disebut rajakumari, yuwaraja atau kumararaja.
“Pada masa lalu, penguasa itu tidak instan. Dia juga butuh restu dari raja terdahulu dan juga dari Dewan Penasihat atau puruhita,” pungkas Dwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar