Pengkhianatan Sang Besan
Jayakatwang sudah dijadikan raja bawahan. Putranya pun diangkat jadi mantu. Namun mengapa dia tetap memberontak kepada Kertanegara?
Kertanegara bimbang. Di hadapannya ada mantan patih, Ragananta dan patih penggantinya, Mahisa Anengah. Ragananta berusaha mengingatkan sang raja tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi dari dalam negeri sementara ia sibuk memikirkan politik luar negerinya.
Sang patih tua berpikir adanya kemungkinan balas dendam dari salah satu raja bawahan, Jayakatwang terhadap Singhasari. “Sudah agak lama Jayakatwang tak berseba di Singhasari,” ucap sang bekas patih dalam Kidung Harsawijaya.
Namun, Patih Mahisa Anengah punya pendapat berbeda. Semestinya, kata dia, Jayakatwang berutang budi pada Kertanegara. Tadinya dia cuma juru pengalasan di pura Singhasari. Tapi Kertanegara mengangkatnya menjadi raja Kadiri di bawah kuasa Singhasari.
“Atas semua itu, beliau tak akan memberontak pemerintahan Yang Mulia,” kata Patih Mahisa Anengah.
Apalagi mengingat hubungan mereka. Prasasti Mulamalurung mencatat Turukbali, istri Jayakatwang, adalah saudara Kertanegara. Saudara ipar Kertanegara ini juga rupanya masih sepupunya.
Ditambah lagi, menurut Prasasti Kudadu, Jayakatwang kemudian berbesan dengan Kertanegara. Ardharaja diambil mantu oleh Kertanegara. Melihat itu, rasanya tak mungkin Jayakatwang memberontak.
Kertanegara pun merasa kemungkinan itu tak masuk akal. Ia menjadi tenang kembali. Ia pun menolak pendapat bekas Patih Ragananta. Ia segera melanjutkan rencananya mengirim utusan ke negeri Malayu untuk mengantar hadiah Arca Amoghapasa. Kerajaan pun kosong.
Baca juga: Menolak Penaklukkan Jawa atas Malayu
Kekosongan itu dimanfaatkan oleh Arya Wiraraja, penguasa di Madura. Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menjelaskan, pada masa Kertangera, Wiraraja menjabat sebagai demung atau demang. Tapi kemudian ia dilorot dari kedudukannya dan ditempatkan sebagai Bupati Sumenep. Karenanya Wiraraja tak senang kepada Kertanegara.
“Ia merasa diserikkan hatinya. Ia dilorot dari demung dan dipindahkan ke Sumenep sebagai adipati. Ketika datang kesempatan membalas dendam, segera ia gunakan,” jelas Muljana.
Wiraraja lalu bermaksud menggunakan Jayakatwang untuk melancarkan kesumatnya itu. Putranya ia utus untuk menyampaikan surat.
Baik Kidung Harsawijaya maupun Kidung Panji Wijayakrama, memaparkan isi surat Wiraraja kepada Jayakatwang yang senada. Isinya adalah isyarat tentang kondisi istana Kertanegara. Bahwa Kertanegara telah memecat menteri-menterinya dan menggantinya dengan yang baru. Rakyat dianggap tak puas dengan sikap Kertanegara.
“Jika Tuanku hendak berburu ke tegal lama sekaranglah saatnya…,” tulis Wiraraja dalam suratnya.
Jayakatwang juga terpantik perkataan patihnya kalau moyangnya, Dandang Gendhis atau Kertajaya, binasa karena pemberontakan buyut Kertanegara, Ken Angrok. Kadiri dan bala tentaranya pun musnah akibat dijajah Singhasari.
Baca juga: Kudeta Ken Angrok
“Padukalah yang mempunyai kewajiban membangun Kerajaan Kadiri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya,” kata sang patih.
Setelah membaca surat Wiraraja dan pendapat patihnya, Jayakatwang segera memerintahkan Patih Kebo Mundarang untuk membagi dua tentara Kadiri. Sebagian pasukan di bawah Sinapati Jaran Guyang ditugaskan menyerang Singhasari dari utara. Sisa pasukannya di bawah Patih Mundarang menyerang dari selatan.
“Segenap pulau tunduk kepada kuasa Raja Kertanegara, tetapi raja Kadiri, Jayakatwang, membuta dan mendurhaka,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. “Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat, berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kadiri.”
Dendam Lama Bersemi Kembali
Selama ini selalu dikatakan bahwa runtuhnya Kerajaan Singhasari akibat serangan raja Jayakatwang dari Kadiri. Pemantiknya adalah dendam Jayakatwang atas kematian buyutnya, Kertajaya yang ditumpas oleh buyut Kertanegara, Ken Angrok.
Menurut Nagarakrtagama, sejak Kertajaya ditumbangkan Sang Rajasa, sudah ada tiga raja yang menggantikannya. Atas perintah Rajasa, raja Jayabasa naik menjadi raja di Kadiri. Ia memerintah selama 36 tahun. Lalu digantikan Raja Sastrajaya yang memerintah 13 tahun. Setelahnya Jayakatwang memerintah di Kadiri.
Baca juga: Akar Perlawanan Ken Angrok
Soal siapa sebenarnya Jayakatwang, dikisahkan berbeda-beda oleh banyak sumber. Nagarakrtagama mengisahkannya sebagai Raja Kadiri, Pararaton mencatatnya sebagai Raja di Daha. Begitu juga Kidung Panji Wijayakrama yang menceritakannya dengan nama Jayakatong sebagai raja di Daha. Sementara Kidung Harsawihaya menyebutnya dengan jelas sebagai raja di Daha, keturunan Dandang Gendhis.
Ada juga dalam Prasasti Kudadu yang diterbitkan masa pemerintahan Wijaya sebagai peringatan penetapan sima sekaligus balas jasanya kepada Desa Kudadu. Prasasti ini mengisahkan Sri Jayakatyeng dari Gelang Gelang yang menyerang Sri Kertanegara.
“Ia bertindak sebagai musuh, melakukan perbuatan hina, mengkhianati sahabat, mengingkari perjanjian, ingin membinasakan Kertanegara di negara Tumapel,” catat prasasti itu.
Mirip dengan pernyataan prasasti, berita Catatan Dinasti Yuan menyebut Jayakatwang sebagai raja dari Kalang. Namanya disebut dengan Haji Katang. Namun setelah ia berhasil membunuh raja Jawa, Haji Gedanajiala (Kertanegara), ia bertakhta di Daha. Di Daha pulalah terjadi pertempuran akhir antara pasukan Mongol di bawah Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing yang dibantu pasukan Wijaya melawan pasukan Jayakatwang.
Baca juga: Hukuman bagi Jenderal Mongol
Melihat itu, kata ahli epigrafi Boechari, dalam Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti, wajar kalau beberapa sumber, termasuk Kidung Harsawijaya, mencatat alasan pemberontakan Jayakatwang kepada besannya karena dendam. Namun rupanya ada alasan lain yang membuat hubungan keluarga tak lagi berarti.
Petunjuknya ada dalam Prasasti Mulamalurung (1255). Prasasti itu antara lain mencatat anak-anak Raja Wisnuwardhana, ayah Kertanegara, yang ditetapkan sebagai penguasa wilayah. Salah satunya disebutkan wilayah Gelang Gelang yang dikuasai Turukbali, putri Wisnuwardhana, istri Jayakatyang yang juga kemenakan Wisnuwardhana.
Sementara Nararya Murdhaja, putra Wisnuwardhana yang bergelar Kertanegara dinobatkan di Daha. Ia menguasai wilayah Kadiri.
“Jadi, Jayakatwang adalah pangeran dari Gelang Gelang, menyerang dari Gelang Gelang dan setelah berhasil menggulingkan Kertanegara ia menguasai Daha,” jelas Boechari.
Baca juga: Persiapan Kertanagara Hadapi Khubilai Khan
Sekali lagi, Jayakatwang adalah cucu buyut Kertajaya, raja Kadiri yang dikalahkan Ken Angrok. Ia bisa saja merasa tak senang wilayah kekuasaan moyangnya, yaitu Kadiri, justru diambil raja untuk diberikan kepada putra mahkota. Sementara ia hanya diambil mantu dan mendampingi istrinya sebagai penguasa Gelang Gelang.
“Mungkin ini adalah sebab yang lain mengapa ia memberontak terhadap Kertanegara,” kata Boechari.
Artinya, kendati sudah diikat hubungan perkawinan sedemikian rupa, Jayakatwang masih menyimpan sakit hati terhadap Kertanegara sejak lama. Namun, sejak menerima surat Wiraraja hingga akhirnya menyerang, ia membutuhkan waktu 38 tahun.
Menurut Boechari mungkin Jayakatwang tengah menanti saat yang tepat. Pun ia mungkin juga dilema karena terikat perjanjian damai dengan penguasa Singhasari. “Ia ipar sekaligus besan Kertenegara,” kata Boechari.
Karenanya tak berlebihan jika Prasasti Kudadu mengatakan kalau Jayakatwang telah mengkhianati sahabat dan mengingkari janji waktu ia menyerang Kertanegara. Pada akhirnya menyatukan keluarga lewat perkawinan politik juga tak cukup memperoleh koalisi permanen.
Baca juga: Membentuk Sekutu Politik
Tambahkan komentar
Belum ada komentar