Pasukan Mataram Diserang Wabah Penyakit
Sultan Agung hampir gagal menaklukan Wirasaba karena pasukannya diserang wabah penyakit.
Panembahan Krapyak meninggal dunia pada 1613. Sultan Agung menggantikannya sebagai raja Mataram. Ia melanjutkan politik ekspansi ayahnya itu. Setelah merebut Malang dan Lumajang pada 1614, berikutnya ia menyerang Wirasaba. Saking pentingnya daerah itu, ia turun langsung ke medan pertempuran.
"Raja ingin ikut menyerang melawan Wirasaba. Para pembesar menghalang-halanginya dengan sia-sia," tulis sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung.
Sultan Agung mengerahkan pasukan Mataram dan sekutunya dari pesisir. Jumlahnya mencapai 10.000 orang, tidak termasuk para petandu. Pasukan ini dipimpin oleh Tumenggung Martalaya. Mereka berbaris melintasi Madiun, di sana orang-orang Ponorogo menggabungkan diri.
Sementara itu, penguasa Wirasaba, Pangeran Aria, yang baru berumur 15 tahun digambarkan berpenampilan baik, tampan, namun tidak suka tidur dan makannya sedikit. Patihnya, Rangga Pramana, mempunyai kesaktian dan kekebalan, tetapi lumpuh sehingga harus ditandu bila mengadakan inspeksi pasukan maupun dalam pertempuran.
Pangeran Aria meminta bantuan kepada Surabaya. Penguasa Surabaya memerintahkan sekutunya, para bupati daerah pantai untuk membantu. Penguasa Surabaya mengirim 1.000 prajurit. Jumlah yang sama datang dari Madura di bawah pimpinan Rangga Lawe. Di Wirasaba pun berkumpul banyak prajurit. Semua dalam keadaan siap siaga. Selain itu, pertahanan kota telah diperkuat setelah terjadi perampokan dan perampasan tahun lalu.
Pertempuran pecah. Sultan Agung dan pasukannya bertempur di Pala Dadi, di sebelah barat Wirasaba. Selain kuatnya pertahanan Wirasaba, Sultan Agung juga harus menghadapi musuh yang datang tak diduga dan tak dapat dilawan: wabah penyakit. Setelah setengah bulan berperang, para prajurit Mataram diserang wabah penyakit pes. Banyak prajurit yang meninggal, sehingga Sultan Agung mengusulkan untuk menghentikan serangan dan pulang. Akan tetapi Tumenggung Martalaya tetap teguh. Ia minta waktu satu hari lagi untuk merebut Wirasaba.
"Setelah raja mengumumkan rencananya untuk mengakhiri pengepungan, maka Pangeran Purbaya, para sentana, dan Tumenggung Martalaya dengan tergesa-gesa memerintahkan memukul genderang perang. Setelah mengepung Wirasaba, mereka tiba-tiba menyerang, dan menemui kegagalan yang sangat menyedihkan," tulis De Graaf.
Baca juga: Wabah Penyakit dalam Perang Makassar
Akhirnya, setelah tiga serangan hebat yang mendadak, Wirasaba bisa ditaklukkan oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Martalaya, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Mangkubumi. Serangan itu berhasil berkat pemakaian besi-besi pencungkil dan tangga penyerbu.
Penaklukan Wirasaba tidak mudah. Sultan Agung sendiri memutuskan untuk mengakhiri pengepungan. “Kebimbangan ini dapat dihubungkan dengan wabah pes yang menimpa tentara Mataram," tulis De Graaf. Namun, para panglimanya tak menyerah sehingga berhasil menaklukan Wirasaba.
Kemenangan itu juga disebabkan oleh kelemahan Wirasaba. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2004, kronik-kronik menyebutkan bahwa persekutuan Surabaya menjadi lemah dalam peperangan yang menentukan ini karena adanya rasa saling curiga antara Surabaya dan Tuban.
Baca juga: Mataram Menaklukkan Surabaya
De Graaf mencatat, ternyata dukungan dari sekutu-sekutu Surabaya tidak berjalan lancar. Mereka mau membantu, asalkan Surabaya sendiri juga turut bertempur. Namun, raja Surabaya tidak berani meninggalkan tempat tinggalnya, karena mencurigai sekutunya, yaitu Tuban. Tuban membatasi bantuannya hanya pada pendudukan Surabaya. Anggota-anggota persekutuan malah berhadap-hadapan di Surabaya dalam kedudukan saling mengancam. Bahkan, raja Surabaya mengeluarkan pasukan Tuban dari Surabaya dengan kekerasan. Para anggota sekutu lainnya sama sekali tidak muncul.
"Alangkah sangat berlainan hasil jalannya pertempuran andai kata Surabaya tidak hanya dapat mengerahkan seluruh kekuatannya, melainkan juga kekuatan sekutu-sekutunya," tulis De Graaf. "Karena kurang adanya kerja sama antarsekutu, Surabaya kehilangan pos terdepan yang penting ini."
Baca juga: Mataram Batal Menyerang Banten
Ricklefs menyebut bahwa kemenangan atas Wirasaba sangat penting sehingga Sultan Agung sendiri memimpin tentaranya di sana. Pendudukan Wirasaba sangat penting karena secara strategis menguasai pintu gerbang ke muara Sungai Brantas. Secara psikologis, Sultan Agung menguasai daerah yang pernah menjadi lokasi Kerajaan Majapahit.
Memangnya di manakah letak Wirasaba?
De Graaf menyebutkan bahwa nama Wirasaba tidak akan ditemukan di peta tanah Jawa. Bahkan sebagai nama desa ia menghilang. Meskipun demikian, Thomas Stanford Raffles masih menempatkan Wirasaba di dalam petanya, baik untuk menunjukkan sebuah ibu kota maupun sebuah kabupaten di tikungan Sungai Brantas.
Francoise Valentijn, seorang pendeta yang dipekerjakan VOC di Ambon, dalam Oud en Nieuw Oost-Indien, menyebut letak Wirasaba diduga dua mil di sebelah selatan Japan. Sekarang Japan diberi nama Mojokerto dan Wirasaba dapat disamakan dengan Mojoagung, yang letaknya kurang lebih 15 km di sebelah barat daya Mojokerto.
Letak Wirasaba dan Mojoagung penting dilihat dari sudut strategi, karena bila diduduki dan dipertahankan secara baik, dapat menutup jalan masuk ke Delta Brantas dan dari sana ke daerah Ujung Timur Jawa. Penaklukan Wirasaba juga memungkinkan aksi-aksi perampokan dan perampasan sampai depan tembok-tembok pertahanan Surabaya, mungkin juga lebih dari itu.
“Di samping itu,” tulis De Graaf, “penaklukan sebuah tempat yang letaknya demikian dekat dengan bekas-bekas peninggalan Majapahit yang jaya itu merangsang daya khayalan orang-orang Jawa.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar