Menyibak Subak
Subak tak semata aktivitas bertaut ekonomi, tapi juga sosial, hukum, dan agama.
KABAR gembira datang dari UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan dan kebudayaan. UNESCO menetapkan subak (organisasi pembagian air) dari Bali sebagai warisan budaya dunia. Keputusan ini menambah panjang daftar warisan budaya Indonesia yang diakui UNESCO. Sebelumnya, UNESCO mengakui keris, Candi Prambanan, angklung, dan karinding sebagai warisan budaya dunia.
Kemunculan subak tak terlepas dari sistem pertanian yang diterapkan masyarakat Bali sejak berabad-abad lampau.
Beberapa arkeolog meyakini masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad masehi. Keyakinan itu berdasarkan temuan alat-alat pertanian kuno di Desa Sembiran, salah satu desa tertua di Bali, yang digunakan untuk menanam padi. Tapi para arkeolog belum mampu menjabarkan cara bertani dan irigasi masyarakat kala itu. “Hanya sebatas alat dan tanamannya saja informasi yang diketahui mengenai awal pertanian kuno di Bali,” tulis Ketut Setiawan dalam Subak, tesisnya pada Universitas Indonesia.
Keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali kali pertama tersua dalam Prasasti Sukawarna yang bertitimangsa 882. “Di dalam prasasti itu ada kata ‘huma’ yang berarti sawah. Orang Bali sampai sekarang menggunakannya untuk menyebut sawah,” tulis Supratikno Raharjo dalam Sejarah Kebudayaan Bali. Kata “huma” kala itu lazim digunakan untuk menyebut sawah irigasi. Meski begitu, belum ada keterangan bagaimana pengelolaan irigasi pertanian.
Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan (891). Dalam prasasti itu tersua kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau. Itu berarti masyarakat Bali mengenal sebentuk cara mengelola irigasi pada akhir abad ke-9. Tak heran Raharjo berkesimpulan bahwa masa ini dianggap sebagai awal kemunculan subak meski kata tersebut belum dikenal.
Kesimpulan ini diperkuat Prasasti Bebetin (896) yang ditemukan di Buleleng dan Prasasti Batuan (1022). Raharjo menulis, “Dua prasasti itu menjelaskan ada tiga kelompok pekerja khusus sawah, salah satunya ahli pembuat terowongan air yang disebut undagi pangarung.” Pekerja ini biasa dipakai dalam subak masa modern.
Kata subak dinilai sebagai bentuk modern dari kata suwak. Suwak ditemukan dalam Prasasti Pandak Badung (1071) dan Klungkung (1072). Menurut Setiawan, suwak berasal dari dua kata, “su” yang berarti baik dan “wak” untuk pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan sebagai sistem pengairan yang baik. Suwak itu telah berjalan di wilayah Klungkung. Wilayah yang mendapat pengairan yang baik disebut Kasuwakan Rawas. Penamaan itu tergantung pada nama desa terdekat, sumber air, atau bangunan keagamaan setempat.
Pembentukan kasuwakan tak lepas dari pengaruh agama Hindu yang dianut masyarakat setempat. Agama Hindu di Bali kala itu mengenal konsep Tri Hita Karana yang merumuskan kebahagiaan manusia. Pencapaian kebahagiaan hanya bisa tercapai melalui harmonisasi tiga unsur: parahyangan (ketuhanan), pawongan (manusia), dan palemahan (alam). Masyarakat percaya bahwa mereka harus bekerja mengolah tanah dan air, tapi kepemilikan dua unsur tersebut sejatinya berada di tangan dewa-dewi.
Karena itu masyarakat harus menjaga tanah dan air agar tetap berlimpah. Penguasaan dan keserakahan atas tanah dan air tak dapat dibenarkan. Jika melanggarnya, sanksi pengucilan bisa menimpanya. Konsep ini mewujud dalam kasuwakan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan tanah dan air, masyarakat mendirikan beberapa bangunan keagamaan seperti pura dan candi di dekat sawah. Beberapa pura bertitimangsa abad ke-9 ditemukan di beberapa sawah. Pura itu dipersembahkan kepada Dewi Sri (dewi pertanian dan kesuburan).
Ketika Majapahit menduduki beberapa kerajaan kecil di Bali pada abad ke-14, kasuwakan tak mengalami perubahan berarti. Padahal Majapahit tersohor punya sistem irigasi sawah sendiri, yang mengatur pembagian air untuk persawahan. Masyarakat Bali tetap menggunakan sistem pembagian air yang telah terbentuk tanpa campurtangan kerajaan Bali sekalipun. Dengan demikian, kasuwakan merupakan organisasi otonom di dalam desa atau banjar. Mereka mempunyai ketua (serdanu atau pekaseh), anggota, dan aturan (awig-awig) masing-masing.
Memasuki masa invasi Belanda di Nusantara, sistem ini tak tergoyahkan. Ketika daerah lain di Pulau Jawa takluk, kerajaan-kerajaan di Bali tetap merdeka. Keadaan ini ikut membantu suwak tetap bertahan. Beberapa penjelajah asing yang datang ke Bali justru memberikan pujian terhadap suwak. Alfred Russel Wallace, seorang naturalis tersohor dunia Timur, takjub dengan sistem irigasi di Bali. “Terhampar ladang padi yang subur, diairi dengan suatu sistem irigasi rumit yang juga dipakai di Eropa,” tulis Wallace dalam catatan hariannya ketika mengunjungi Bali pada 1856, dimuat dalam Bali Tempo Doeloe.
Pada abad ke-20, pemerintah kolonial ikut mendorong perkembangan subak. Mereka membangun bendungan-bendungan seperti Dam Pejeng (1914), Dam Mambal (1924), Dam Oongan (1925), dan Dam Sidembuntut (1926). Mereka ingin hasil sawah meningkat. Mereka tak mencampuri aturan-aturan internal subak.
Keberhasilan subak dalam panen terbukti melalui statistik hasil pertanian 1934-1981 yang dikeluarkan IPB. Bali selalu menempati posisi di atas Jawa dan Madura untuk hasil panen nasional. Keberhasilan itu mendorong pemerintah daerah membangun museum subak pada 1981. Turis di Bali pun mulai tertarik mengenal subak. Sayangnya, campurtangan pemerintah terhadap subak sejak 1981 sempat menurunkan hasil panen. Meski demikian, subak tetap terbukti mampu memberikan andil pada hasil panen dan kunjungan wisatawan di Bali. Lebih dari itu, subak tak sekadar praktik ekonomi, tapi juga sosial, hukum, dan agama.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar