Membantah Sriwijaya Fiktif
Ridwan Saidi menyebut Sriwijaya fiktif berdasarkan catatan I-Tsing. Namun, biksu Tiongkok itu menyebut Sriwijaya pusat belajar terkenal sebelum ke India.
Sriwijaya itu kerajaan fiktif. Begitu kata Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis”.
Menurutnya, keberadaan Kerajaan Sriwijaya selama ini adalah produk historiografi Belanda. Informasi adanya Kerajaan Sriwijaya di Sumatra disebarkan pada masa Hindia Belanda. Menurutnya, kolonialisme dalam hal ini memiliki kepentingan merusak bangsa.
“Kalau mau merusak suatu bangsa, rusaklah sejarahnya. Pada generasi pertama itu historiografi Belanda semua. Kebanyakan mereka bukan berlatar sejarawan tapi berlatar arkeolog. Kebanyakan dongeng tulisannya,” ujar Ridwan Saidi.
Untuk mendukung pernyataannya, Ridwan Saidi menjelaskan keterangan yang menurutnya dicatat oleh I-Tsing. Menurutnya I-Tsing adalah seorang pengelana dari Tiongkok yang diminta Kaisar Tiongkok untuk mencari di mana letak Sriwijaya, karena waktu itu kapal dagang Tiongok terpendam di laut sekitar Teluk Benggala dan Selat Malaka.
“Ini pada abad ke-7. I-Tsing lalu pergi mencari. Dia meluangkan waktu 25 tahun mencari lokasi Sriwijaya. Ke Bali segala macam dia pergi,” katanya.
Baca juga: Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok
Menurut Ridwan Saidi, dalam laporan I-Tsing yang dia baca, sang pengelana itu dalam perjalanannya mampir di Kedah. Di sana, dia bertanya pada masyarakat Kedah perihal letak Sriwijaya.
“Orang Kedah mengatakan ke I-Tsing, ‘Sriwijaya punya kerajaan itu tak ada lah di sini, itu ada di Koromandel, pantai timur India. Itu bukan kerajaan. Itu adalah bajak laut’,” kata Ridwan Saidi.
I-Tsing pun pergi ke Koromandel. Menurut Ridwan, di sana I-Tsing berjumpa dengan suku bangsa bernama Wijayaraya. Mereka pun ditanyai I-Tsing, yang kemudian mengaku kalau memang mereka telah mengganggu kapal Tiongkok.
“Karena nggak mau nyetor zaman sekarang itu ditenggelemin,” kata Ridwan Saidi.
Namun, bangsa Wijayaraya itu rupanya diperintah oleh suku bangsa Shapur dari Persia. I-Tsing pun pergi ke Shapur.
“Total 25 tahun (perjalanan I-Tsing, red.). Jadi waktu kembali (ke Tiongkok, red.) kaisar yang nyuruh udah mati,” ujar Ridwan Saidi.
Siapakah I-Tsing?
Di luar pendapatnya yang kini menjadi viral itu, I-Tsing atau Yi Jing memang pernah singgah di Nusantara pada abad ke-7. Dia juga pernah berkunjung ke Kedah. Namun, tujuannya bukan untuk mencari bajak laut Sriwijaya, tetapi singgah sementara untuk kemudian belajar agama di Nalanda, India.
I-Tsing merupakan biksu asal Tiongkok dari masa Dinasti Tang yang melakukan perjalanan ziarah ke India. Dia menuliskan perjalanannya, di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddha-Dharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan), Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan), dan Mulasarvastivada-ekasatakarman.
Shinta Lee, penerjemah catatan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja dan Jinabhumi, menjelaskan, sejak usia 18 tahun, I-Tsing sudah berangan-angan berziarah ke India, pusat pembelajaran Buddhadharma. Impian itu baru terlaksana ketika dia berumur 37 tahun.
Pada 671, bertolak dari Guangzhou, I-Tsing berlayar selama 20 hari dan mendarat di Foshi. Di sana, dia menetap selama enam bulan dan belajar tata bahasa Sanskerta. Raja setempat membantunya mengantarkan ke Moluoyou (Melayu). Setelah tinggal selama dua bulan, I-Tsing menuju ke Jiecha (Kedah).
Dari Kedah pada 671, I-Tsing mengunjungi daerah demi daerah. Dia kemudian tiba di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673. Secara bertahap, dia melanjutkan perjalanan ke India.
“Melewati perjalanan yang penuh tantangan, akhirnya dia sampai di tempat-tempat yang dituju, tempat-tempat ziarah yang berhubungan dengan Buddha,” kata Shinta dalam diskusi di acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, tahun 2018, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah.
Selama sepuluh tahun, sejak 675-685, I-Tsing belajar dan tinggal di Nalanda. Dia mengumpulkan kitab-kitab ajaran Buddha.
Pada 685, I-Tsing mulai memikirkan cara kembali ke negaranya. Setelah berlayar dari Tamralipti selama dua bulan, dia kembali singgah di Kedah. Dia tinggal di Kedah selama beberapa waktu untuk menunggu kapal dan arah angin yang mendukung.
“Setelah satu bulan berlayar, dia tiba kembali di Melayu untuk kedua kalinya, yang menurutnya sudah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” kata Shinta.
Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689). Selanjutnya, dia naik kapal, namun bukan untuk pulang. Dia hanya bermaksud menitip surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannnya menyalin sutra. Dia juga meminta biaya mempekerjakan penyalin.
Namun, I-Tsing malah terbawa kapal itu pulang ke Tiongkok. Dia hanya tinggal selama tiga bulan karena kitab yang dia bawa dari India sebanyak 500.000 sloka Tripitaka, tertinggal di Shili Foshi. Dia pun kembali ke sana.
Selama lima tahun tinggal di Shili Foshi, I-Tsing bertemu biksu lainnya bernama Da Jin. Dia menitipkan sutra dan tulisannya kepada Da Jin untuk dibawa pulang ke Tiongkok. Tulisan itu di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan) empat jilid, Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan) dua jilid.
I-Tsing berkelana di luar negeri selama 25 tahun. Pada 695, dia kembali ke Tiongkok dan disambut kaisar perempuan, Wu Zetian. Dia membawa pulang sekira 400 teks Buddhis, 500.000 sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha.
Shili Foshi adalah Sriwijaya
Foshi atau Shili Foshi dalam catatan I-Tsing tak lain adalah Sriwijaya. Sejarawan Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, Shili Foshi adalah sebutan bagi Sriwijaya.
“Nama Shili Foshi (Che-li-fo-che), baik yang tercatat dalam Sejarah Dinasti T’ang maupun dalam karya I-Tsing adalah transkripsi dari Sriwijaya. Transkripsi demikian mudah dipahami,” tulis Slamet Muljana.
Penyamaan Shili Foshi dengan Sriwijaya cocok antara lokasi I-Tsing dan lokasi penemuan prasasti sezaman yang menyebut kata Śrīvijaya, yaitu Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di dekat Palembang Berasal dari 683 dan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Bangka dari 686.
Sementara itu, pada 685-689 I-Tsing tengah menetap di Shili Foshi atau Sriwijaya.
“Kelihatannya, ibu kota awalnya disebut Foshi, setelah kerajaan itu berkembang pesat dan meluas hingga Melayu, maka seluruh kawasan dan ibu kotanya menyandang istilah Shili Foshi,” kata Shinta.
Baca juga: I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya
Mengenai lokasinya, I-Tsing sudah membahas dalam catatannya. Khususnya dalam buku Nanhai, dia mencatat ketika di Shili Foshi, “pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun.”
Dari berita ini, Slamet Muljana, menyimpulkan Shili Foshi pasti terletak di garis khatulistiwa.
I-Tsing juga bercerita, dia berlayar ke utara menuju Tiongkok tanpa singgah di Foshi. Artinya, pelabuhan Melayu menjadi tempat persinggahan kapal dari Selat Malaka yang akan menuju Tiongkok sambil menunggu datangnya angin barat.
Baca juga: Kekuatan yang Mengancam Sriwijaya
Menurut Slamet Muljana, karena perjalanan I-Tsing dari Foshi ke India melalui pelabuhan Melayu, letak Foshi haruslah di sebelah tenggara pelabuhan Melayu. Tak mungkin di sebelah baratnya.
Adapun Melayu letaknya di Sumatra. Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dulu nama Melayu dicatat oleh pelaut-pelaut asing untuk menyebut seluruh Pulau Sumatra.
“Banyak yang belum tahu kalau Malayu itu dulu sebutan untuk Sumatra, selain sebutan Swarnadwipa atau Swarnabhumi,” ujar Bambang dalam diskusi di acara pembukaan Festival Pamalayu di Museum Nasional, Jakarta, baru-baru ini.
Baca juga: Dharmasraya, Kerajaan Kuno di Sumatra Barat
Dalam Prasasti Dharmasraya (Padang Roco), secara spesifik Malayu disebutkan ada di Swarnnabhumi. Prasasti ini tertulis di alas arca Amoghapasa. Arca ini menjadi hadiah dari Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa di Kerajaan Singhasari kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa hampir delapan abad yang lalu.
Sriwijaya Bukan Bajak Laut
Jika Ridwan Saidi yakin kalau Sriwijaya lebih merupakan bajak laut setelah membaca catatan I-Tsing, namun biksu itu sendiri menulis hal yang berbeda tentang Sriwijaya. Dia bersaksi kalau Sriwijaya (Shili Foshi) merupakan pusat pembelajaran terkenal pada masa itu.
Dalam catatan I-Tsing berjudul Mulasarvastivadaekasatakarman, biksu itu menulis Sriwijaya adalah kota yang berbenteng. Di sana terdapat ribuan biksu Buddhis yang menuntut ilmu. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Pun tata cara dan upacaranya juga tak berbeda.
“Jika seorang biksu dari Tiongkok ingin pergi ke India untuk mendapatkan ajaran dan melafalkan kitab asli, lebih baik dia tinggal di sini (Sriwijaya, red.) selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, baru berlanjut ke India Tengah,” tulis I-Tsing.
Baca juga: Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad
Sementara berita itu diperjelas lagi dengan penyataan dalam Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, Srivijaya di sana tampil sebagai kadatuan yang menguasai daerah asal prasasti itu. “Keberhasilan!... Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi kadatuan Srivijaya ini…,” sebut prasasti Kota Kapur.
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan dalam hal ini, Sriwijaya memang tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan. “Kadatuan berasal dari kata datu, artinya orang yang dituakan,” katanya.
Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, atau keraton. Sementara arkeolog dan sejarawan Prancis, George Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya.
Baca juga: Serbuan Cola ke Sriwijaya
Untuk lebih meyakinkan lagi akan keberadaan tempat bernama Sriwijaya, bisa juga membaca keterangan dalam prasasti wangsa Cola dari India. Dalam Prasasti Tanjore dari 1030, dikisahkan Rajendracola I yang naik takhta pada 1012, menyerang negeri-negeri di seberang lautan. Salah satunya bernama Srivijayam.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar