Mataram Batal Menyerang Banten
Raja Mataram batal menyerang Banten karena bisulan.
Setelah kekalahan Cirebon, Raja Mataram Sunan Amangkurat I, merencanakan sebuah ekspedisi ke Banten. Waktunya ditetapkan pertengahan tahun 1652. Pamannya, Pangeran Purbaya, ditunjuk sebagai pemimpin penyerangan.
Tiba-tiba para pemuka agama memberi tahu bahwa ayahnya, Sultan Agung, pada waktu akhir hayatnya telah berpesan agar senjata Mataram pertama-tama harus diarahkan ke timur kemudian ke barat; kalau tidak, Mataram tidak akan memperoleh berkah.
“Berarti pertama-tama Blambangan (Banyuwangi, red.) harus direbut dari orang-orang Bali yang kafir, sebelum dapat menyerang kaum seagama di Banten,” tulis H.J. de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I.
Baca juga: Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan
Sunan tak menghiraukan pesan itu. Dia malah memerintahkan para pembuat senapan dan meriam untuk membuat 800 senapan dan banyak meriam kecil dalam satu triwulan. Setelah selesai, dia meminta meriam-meriam itu dicoba di lapangan alun-alun.
Sunan juga menyuruh mencoba meriam Belanda diisi peluru yang dua kali lipat lebih besar daripada peluru untuk meriam Jawa. Dia heran meriam Belanda itu hanya sedikit melompat ke belakang. Dia kemudian bertanya apakah meriam Jawa juga bisa diisi peluru yang sama beratnya. Pembuat meriam itu mengisi meriam buatannya dengan peluru dua kali lebih berat kemudian ditembakkan. Meriam Jawa tak sekuat meriam Belanda.
“Meriam itu meledak dan hancur berantakan berkeping-keping. Keping terbesar jatuh di depan Sunan,” tulis De Graaf.
Sunan luar biasa terkejut. Dia memerintahkan pembuat meriam itu ditangkap. Lapangan dan pintu gerbangnya ditutup semen. Berita yang dilaporkan Rijcklof van Goens, utusan Gubernur Jenderal VOC ke Mataram itu, dibenarkan Babad Sangkala bahwa pada 1651 sebuah meriam meledak di paseban (alun-alun); tidak lama sesudah itu, pintu gerbang dipindahkan. Ini merujuk kepada meledaknya meriam Jawa dan disemennya pintu gerbang ke lapangan besar.
Mengapa Sunan memerintahkan mempersiapkan meriam?
Menurut Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2, seperti halnya gajah, meriam menjadi simbol kekuatan supernatural para raja yang sanggup menggertak dan menakutkan musuh-musuh domestik yang tidak memilikinya. Setelah lama tak digunakan secara militer, meriam-meriam dijadikan sumber magis dan benda-benda keramat dari zaman kejayaan.
Baca juga: Kisah Magis Meriam Si Jagur
Di Asia, lanjut Reid, senjata-senjata raksasa itu nampaknya tidak banyak membunuh musuh dalam pertempuran dan tidak mudah dipindah-pindahkan dalam perang seperti halnya di Eropa.
“Para penguasa menggunakannya dengan efektif untuk menakut-nakuti warganya. Paling tidak di Aceh dan Mataram, dua di antara ‘kerajaan mesiu’ terbesar, meriam-meriam raksasa digunakan untuk mengumumkan perhelatan umum menggantikan gong dan drum yang digunakan sebelumnya. Di Aceh, bulan puasa diawali dan diakhiri dengan suara dentuman keras dari meriam,” tulis Reid.
Meriam yang paling besar dan paling keramat di Mataram, Sapu Jagad, selain untuk mengumpulkan penduduk, juga digunakan untuk menunjukkan kemarahan Sultan bila ingin mengusir para bangsawan kerajaannya, dan untuk perkabungan istana. Sapu Jagad dibuat tahun 1625 pada masa Sultan Agung berada di puncak kekuasaannya.
Menurut Reid, pengganti Sultan Agung yang lemah, Amangkurat I, mencoba melakukan hal yang sama pada 1652, tetapi ketika dia menyuruh pembuat senjatanya mengisi mesiu pada meriam besar kebanggaannya, meriam itu meledak berkeping-keping, salah satu keping hampir saja melukai Sunan.
Baca juga: Mataram Kalahkan Surabaya dengan Buah Aren
Sunan ketakutan dan menganggapnya sebagai pertanda buruk. Dia pun memerintahkan menangkap pembuat meriam itu, mengutuk alun-alun yang besar dan indah itu, dan menembok gerbangnya secara permanen, sehingga menimbulkan kekacauan di keraton. Pada malam harinya, dia bermimpi menakutkan dan dalam beberapa hari seluruh badannya membengkak.
Menurut De Graaf, badan Sunan penuh bisul bernanah. Inilah yang mematahkan kemauannya yang keras. Dia menjadi relijius dan meminta para pemuka agama untuk mendoakannya. Dia bersumpah akan melancarkan perang ke timur dan berjanji akan membina hubungan baik dengan Banten. Para pemuka agama bersedia berdoa dan menyembuhkannya.
“Sejak itu hubungan antara Banten dan Mataram bertambah baik, tetapi tidak ada berita akan dilancarkan ekspedisi terhadap Blambangan,” tulis De Graaf.
Baca juga: Blambangan Tak Lagi Antah Berantah
Tambahkan komentar
Belum ada komentar