Mabuk Saat Berpesta dan Berdoa
Pada masa Jawa Kuno, minuman beralkohol dikonsumsi saat melakukan ritual keagamaan dan pesta.
Pada suatu jamuan pesta di Majapahit, santapan sedap dihidangkan bagi orang banyak. Makanan serba berlimpah. Minuman mengalir dengan deras. Segala minuman keras tersedia, tuak kelapa dan tuak siwalan, arak, kilang, brêm, dan tampo. Itulah minuman utama, tak ada yang mampu menghadapinya.
Wadahnya emas beraneka ragam bentuknya. Porong dan guci berdiri berpencar-pencar berisi minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir. Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk.
“Merdu merayu nyanyian para biduan melagukan puji-pujian Sri Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau,” tulis Mpu Prapanca dalam Desawarnana atau yang dikenal dengan Nagarakrtagama.
Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti lewat “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, menyebutkan bahwa minuman merupakan salah satu jenis sajian yang disuguhkan dalam pesta-pesta masyarakat Jawa Kuno. Ada yang tanpa dan ada yang dengan alkohol.
Nama-nama minuman beralkohol muncul dalam berbagai prasasti. Khususnya prasasti yang berisi tentang upacara penetapan sima (tanah perdikan atau tanah bebas pajak), pada bagian penutup yaitu acara makan bersama sebagai rangkaian upacara.
Contohnya, Prasasti Watukura (902) menyebut mastawa, pāṇa, siddhu, cinca, dan tuak. Prasasti Rukam (907), Prasasti Lintakan (919), dan Prasasti Paradah (943) menyebut tuak, cinca, dan siddhu. Dalam Prasasti Sanguran (928) disebutkan siddhu dan cinca. Prasasti Alasantan (939) menyebut tuak dan siddhu.
Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara
Selain dalam prasasti, keterangan tentang minuman beralkohol juga dimuat dalam karya kesusastraan. Misalnya, Kakawin Ramayana yang dibuat sekira abad ke-9.
Dalam kisah tentang Rama dan Sita itu, minuman beralkohol muncul dalam beberapa kesempatan. Saat kisah di Kerajaan Alengka, para raksasa punya kebiasaan minum darah dan berbagai minuman keras seperti tuak, siddhu, brěm, mastawa, dan pāṇa.
Pāṇa yang sedap dan mastawa yang harum juga disajikan bagi Sita ketika di Alengka. Saat itu, Sita dalam keadaan riang karena tahu suaminya masih hidup. Ia bergabung dan bersukaria dengan para dayang yang bermain musik, menyanyi, dan menari.
Minuman beralkohol juga dikonsumsi bangsa kera yang menjadi sekutu Rama menyerang Alengka. Minuman itu menjadi salah satu angan Subali menjelang kematiannya.
Sementara tuak biasa dihidangkan untuk menyambut tamu agung sebagaimana digambarkan dalam kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada masa puncak kejayaan Majapahit.
Baca juga: Tradisi Minum Tuak Zaman Mataram Kuno
Di antaranya disebutkan seluruh pengiring Raja Kasi telah mendapat bagian nasinya yang berlimpah-limpah. "Tuak, badèg, waragang, kilang, brêm, tampo mengalir tanpa henti pada akhirnya tak tergambarkan," tulis sang Mpu.
Ery Soedewo, arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, dalam “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi menjelaskan, gambaran tentang aktivitas di mana minuman beralkohol dihidangkan umumnya adalah kegiatan yang sifatnya duniawi. Namun, kehadiran minuman itu dalam aktivitas sakral juga ditemukan dalam sumber tertulis Jawa Kuno. Misalnya dalam Serat Pararaton.
Pararaton digubah pada 1478 dan 1486, lalu disalin pada 1613. Nama penggubahnya tak disebutkan. Di dalamnya digambarkan akhir riwayat Kertanegara, Raja Singhasari, dalam serangan Jayakatwang, raja Gelang-Gelang, bawahan Kerajaan Kediri.
Dalam salah satu bagian Kertanegara digambarkan sebagai sosok yang pijêr anadah sajêng. "Selalu atau gemar minum tuak," jelas Ery.
Bahkan Pararaton mengisahkan, sang raja tengah mabuk-mabukan ketika pasukan Jayakatwang menggempur keratonnya. "Radja Civa-Buddha (Krtanagara) selalu minum tuak, diberitahu bahwa diserang oleh Daha, tidak percaya," tulis Pararaton. "Maka ketika Kertanagara sedang minum tuak bersama patihnya mereka dibunuh. Mati, Kebo Tengah membela, mati Manguntur."
Baca juga: Ritual Minum Tuak Raja Singhasari
Sementara Prasasti Gajah Mada (1351) mengungkap hal yang berbeda. Di sana disebutkan kalau Kertanegara tewas dalam serangan itu bersama para brahmana.
Ery mengungkapkan, peristiwa kematian Kertanegara dalam kondisi mabuk bersama para brahmana sebenarnya adalah gambaran praktik ritus Buddha Tantrayana yang dianutnya. "Jadi bukan bentuk kegemaran Kertanegara terhadap minuman keras khususnya tuak (sajêng), atau dalam terminologi sekarang sebagai orang yang alkoholik," lanjutnya.
Sebelum akhirnya meregang nyawa, Kertanegara tengah melakukan upacara terakhir untuk membangkitkan kekuatan lain di luar dirinya. Dia mendapatkannya melalui ritual Tantrayana, sekte yang sering dianggap sebagai jalan mempercepat diri mendapatkan kekuatan.
Baca juga: Persiapan Kertanagara Hadapi Khubilai Khan
Aliran keagamaan yang dianut Kertanegara itu dapat disimpulkan lewat Kakawin Nagarakrtagama. Pun dari kenyataan dia ditahbiskan sebagai Jina di Kuburan Wurara pada 1289.
Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, dengan menjadi Jina, artinya Kertanegara tak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam. Dia pun menguasai kerajaan secara nyata.
"Dengan tingkatannya itu, bagi Kertanagara tak ada lagi hal yang terlarang. Dia bisa dengan sadar melakukan pancamakara, atau ma lima," jelasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar