Kisah Romansa Masa Lalu
Feminisme dan keberagaman seksual di balik kisah-kisah cinta pada masa kuno.
Kisah romansa yang muncul pada suatu zaman bisa menunjukkan situasi sosial politik yang sedang berlangsung. Romansa adalah bagian dari situasi politik yang berdampak pada kisah percintaan.
“Kita bisa lihat bagaimana romansa merupakan cerminan konstruksi politik, maskulinitas, feminisme juga,” kata sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam diskusi “Romansa dalam Peradaban Nusantara” yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di kanal Youtube, Kamis (18/02/2021).
Seno mengambil contoh cerita Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karangan Marah Rusli. Novelnya dirilis pada 1922 dan sangat populer. Kisahnya menunjukkan bagaimana ide perjodohan oleh orangtua ditolak.
“Kamu tidak boleh menikah dengan siapapun pilihanmu, kecuali pilihan kami. Ini antara hormat pada orangtua dan kebebasan manusia, menjadi dilema. Ini menarik dalam proses modernisasi,” kata Seno.
Baca juga: Teks-Teks Jawa tentang Perilaku Seks
Pada masa Orde Baru ada dua tonggak dari karya sastra populer. Pertama, novel Karmila karya Marga T. Kisahnya tentang seorang perempuan yang diperkosa kemudian menikah dengan pemerkosanya. Dia bersedia dengan pertimbangan etis, bahwa ini adalah anak orang itu. “Konflik batin luar biasa,” kata Seno.
Kedua, trilogi karya Ashadi Siregar berjudul Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir. “Ashadi dengan sadar, dalam setiap diskusi selalu mengatakan, ini menyimbolkan orangtua merupakan gambaran kekuasaan,” ujar Seno. “Ingin menyadarkan orang akan adanya kekuasaan yang bisa berlangsung keliru atas nama adat.”
Baca juga: Romansa dalam Relief Candi
Pada masa Reformasi, kata Seno, seolah terjadi pembebasan dengan karya-karya dari Ayu Utami dan Djenar Mahaesa Ayu. Misalnya soal seksualitas tak hanya merupakan ungkapan cinta, tapi juga penindasan dan penyiksaan.
Tanda-tanda itu juga bisa ditangkap dari karya-karya kesusastraan pada masa Jawa Kuno. Misalnya pada kisah Ramayana dan Panji.
Ramayana dan Kritik Terhadap Kuasa Lelaki
Seno mengadaptasi cerita Ramayana dalam karya Kitab Omong Kosong. Ia menandai tiga momen kunci dalam kisah romansa itu. Ketiganya mewakili kritik terhadap pola kekuasaan.
Momen pertama ketika Hanoman, sang kera putih, diutus Rama ke Alengka menemui Sita yang diculik Rahwana. Ia menemui Sita dengan membawa cincin Rama sebagai bukti sekaligus untuk menguji kesetiaan Sita.
“Kalau cincinya pas ketika dipakai Sita artinya masih setia. Jadi kalau nggak setia nggak cinta lagi gitu? Ini namanya cinta bersyarat dan juga menunjukkan kepentingan lelaki,” ujar Seno.
Baca juga: Majapahit dalam Kisah Panji
Momen kedua setelah Rama memenangkan peperangannya melawan Rahwana. Sita masih harus membuktikan lagi kesuciannya di hadapan Rama. Caranya dengan membakar diri. “Kalau mati bagaimana? Hanya demi cintanya Rama itu?” ujar Seno.
Momen ketiga rupanya Rama masih kurang puas dengan kenyataan itu. Rama terus ragu dengan kesucian Sita. Maka, ketika Sita melahirkan putra kembarnya, Lawa dan Kusya, Rama mempertanyakan asal-usul keduanya.
“Saya kira Valmiki [pencipta Ramayana] luar biasa, jauh-jauh hari, berabad lalu menunjukkan kritik terhadap kuasa laki-laki dan dia memenangkan perempuan,” ujar Seno.
Baca juga: Pemberontakan Terhadap Sastra India
Kisah itu berakhir dengan pembuktian Sita yang paripurna. Sita bersumpah kepada Rama, jika ia tak suci, sebagaimana diduga Rama, maka bumi pun takkan sudi menerimanya. Bumi pun terbelah. Sita pun ditelan, diterima oleh bumi.
Panji dan Keberagaman Seksual
Sementara itu, keterbukaan pada pluralitas seksual terbaca dalam kisah Panji. Mulanya dari cerita lisan, paling tidak sejak 1400 M.
Secara garis besar, kisahnya merupakan kumpulan cerita tentang kepahlawan Raden Inu Kertapati dan kisah cintanya dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana.
Baca juga: Kisah Panji di Thailand
Cerita Panji punya banyak versi yang menyebar luas di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara dan telah dikisahkan ke dalam 13 bahasa. Bentuknya pun beragam. Ada wayang, teater, tarian, lukisan, sastra lisan, tulis, variasi bahasa, bahan, dan variasi ceritanya.
Hikayat cinta Inu Kertapati dengan Galuh Candra Kirana yang paling terkenal. Mereka diceritakan sempat berpisah dan harus mengatasi banyak rintangan luar biasa hingga akhirnya bersatu kembali.
“Pada waktu pengelanaannya itu yang kemudian banyak berkembang versinya,” ujar Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Baca juga: Kisah Panji di Negeri Jiran
Di dalam pengelanaannya, Panji dan Candra Kirana kerap kali menyamar. Candra Kirana bahkan dikisahkan menyamar sebagai laki-laki.
“Ini adegan rawan. Dia tertarik pada Candra Kirana ketika masih berwujud lelaki tanpa tahu ini samarannya,” ujar Seno. “Ini kode tentang pluralitas seksual.”
Karenanya, menurut Seno, semua yang kini bisa ditemukan di dalam karya sastra kontemporer, nyatanya sudah ditemukan di dalam sastra lisan Nusantara. “Tema ketersamaran gender ini kembali dan menyeruak,” kata Seno.
Panji dan Rama dalam Relief Candi
Pada masa Jawa Kuno, kisah Ramayana dan Panji terpahat dalam bentuk relief di candi-candi utama Jawa. Relief kisah Rama dan Sita bisa ditemukan di Candi Siwa dan Brahma di Kompleks Candi Prambanan dari abad ke-9 dan relief candi utama di Kompleks Candi Panataran, Blitar dari masa Majapahit.
Sementara cerita Panji muncul pada banyak candi dari era Majapahit akhir, misalnya Candi Gambyok, Candi Panataran, Candi Gajah Mungkur, Candi Yuddha, dan Candi Sakelir.
Baca juga: Kisah Nasional Majapahit
Kisah Ramayana pada Candi Siwa di Kompleks Candi Prambanan dimulai dari adegan Rama mengikuti sayembara untuk mendapatkan Sita. “Adegan percintaan dalam relief-relief candi dari abad ke-8 hingga ke-10 masih sangat sopan, hanya duduk berdua di kamar. Tapi pada masa yang lebih kemudian adegannya lebih berani, mangku memangku,” kata Titi.
Menurut peneliti kisah Panji dari Jerman, Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi pada Relief Candi Zaman Majapahit, kenikmatan erotis yang beragam diungkapkan dalam cerita Panji. Pertemuan seksual sering digambarkan dengan cara yang sangat romantis dan realistis.
“Pelukisan adegan atau perilaku erotis, emosi, hasrat, keinginan dan kerinduan, cinta seksual, semuanya dimaksudkan agar menimbulkan efek rasa asmara pada penonton,” kata Lydia. “Penonton akan diharu-biru emosi erotis.”
Baca juga: Cinta dan Kebahagiaan Sejati dalam Kamasutra
Tambahkan komentar
Belum ada komentar