Kisah Naga di Jawa
Naga menghiasi bangunan-bangunan kuno di Jawa. Mereka dianggap sebagai penyangga bumi.
Pada suatu masa, di sebuah negeri yang makmur di Pancala utara, seorang raja memerintah dengan belas kasih. Kerajaannya damai dan harmonis. Karena itu, seekor naga menjadi tertarik datang dan tinggal di danau dekat istananya. Adanya sang naga lantas membuat ladang-ladang kerajaan teraliri dengan baik.
Sebaliknya, kerajaan saingannya, Pancala selatan, diperintah oleh raja yang kejam. Akibatnya negara itu kering dan dilanda kemiskinan.
“Perilaku baginda takkan membuat naga mana pun mau memberkati alam,” kata menteri kepada sang raja ketika mereka pergi berburu dan melewati desa-desa.
Raja pun bertitah akan memberi hadiah kepada siapa pun yang mampu membawa naga di Pancala utara ke kerajaannya. Syahdan, pawang ular mulai menenun mantra pemikat sang naga. Mereka menjamin dalam tujuh hari naga akan datang.
Sang naga merasakan mantra itu dan sulit membebaskan diri. Untungnya, seorang pemburu bernama Halaka tinggal di samping danau tempat ia tinggal. Halaka membantunya membebaskan diri dari jeratan mantra. Sebagai imbalan, sang naga memberinya kemampuan ajaib. Pemburu itu takkan gagal menjerat mangsanya.
Cerita tentang naga itu membuka kisah Pangeran Sudhana dan Bidadari Manohara dalam relief Avadana di dinding Candi Borobudur.
Menurut John Miksic dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, baik dalam tradisi Buddha maupun Hindu, naga dikenal sebagai hewan mistis. Tradisi Hindu acap mengisahkan naga lewat literatur dan kesenian mereka. Seringkali kehadirannya dihubungkan dengan keberkahan.
"Di Borobudur, mereka digambarkan dalam bentuk manusia, namun di tempat lain mereka akan muncul dalam bentuk asli sebagai hewan," tulis Miksic.
Kata Naga sebetulnya berasal dari bahasa Sanskerta. Arti harfiahnya ular. Namun, di Jawa, naga lebih merujuk pada dewa ular. Dalam budaya Jawa Kuno, mereka sering berhubungan dengan air dan kesuburan.
"Mereka bisa jadi jahat, bisa jadi baik," tulis Miksic.
Ada banyak kisah tentang naga di Jawa. Yang muncul dalam pahatan di candi biasanya dihubungkan dengan air amrta atau air kehidupan dalam kisah Samudramanthana.
Baca juga: Pulau Liur Naga di Sumatra
Dikisahkan, dewa dan asura berebut mencari air amrta. Kelak, siapa pun yang berhasil mendapatkan air itu dan meminumnya akan hidup abadi.
Konon, air itu terdapat di dasar Ksirarnawa atau Lautan Susu. Gunung Mandara yang terletak di Pulau Sangkha, tak jauh dari Lautan Susu, lalu dicabut dan dijadikan alat untuk mengaduk lautan. Ular naga Basuki dipakai sebagai tali yang melilit gunung. Kura-kura Akupa menjadi landasan gunung. Ini semua agar gunung mudah berputar dan tak tenggelam.
Maka diaduklah Ksirarnawa. Dewa-dewa menarik ekor sang Naga. Para asura menarik kepalanya.
Dalam arsitektur Jawa Kuno, naga ditemukan pada era kerajaan-kerajaan Jawa Timur, dari abad ke-10 sampai 16. Yang tertua ada di petirtaan Jalatunda di lereng Gunung Penanggungan. Tampak seekor naga melilit di bagian bawah lingga-lingga semu yang ada di kolam pusat.
Menurut Hariani Santiko dalam "Ragam Hias Ular-Naga di Tempat Sakral Periode Jawa Timur", terbit di Jurnal Amerta, itu adalah penggambaran adegan pengadukan Lautan Susu. Naga digambarkan seperti Naga Basuki yang melilitkan tubuhnya pada Gunung Mandara.
Naga juga ditemukan di salah satu candi dalam kompleks percandian Panataran, Blitar. Disebut Candi Naga karena punya relief seekor naga besar yang menghiasinya. Sang naga disangga sembilan dewa yang berpakaian mewah.
Di kompleks Panataran itu ada pula tiga bangunan yang disangga oleh naga. Ukurannya besar-besar. Setiap bangunan disangga oleh delapan ekor naga.
"Keterkaitan dengan cerita Samudramanthana, selain bangunan disangga naga, pada kaki candi teras ketiga terdapat arca Garuda dan kepala Naga Bersayap berselang seling keliling candi," tulis Hariani.
Lalu di Candi Kidal. Hiasan sepasang naga jantan dan betina, terlihat di ujung pipi tangga candi. Menurut Hariani, hiasan semacam ini belum pernah ditemukan pada bangunan percandian Jawa Tengah. Ragam hias ini juga ada di pintu masuk Candi Jabung di Kraksaan. Candi ini berasal dari masa Majapahit.
Arca kepala naga ditemukan juga sebagai penjaga pintu bangunan sakral. Misalnya pada pintu masuk Gua Selamangleng di Kediri. Pun di tangga bangunan teratas Candi Penampihan di Gunung Wilis, sepasang kepala naga menjadi jaladwara atau pancuran air.
"Ular-naga dalam beberapa mitologi dianggap sebagai lambang air dan dunia bawah," tulis Hariani.
Naga juga muncul dalam kisah terkenal, Angling Dharma atau Aridharma. Pada pembuka kisah, Prabu Aridharma yang sedang berburu di hutan memergoki Nagagini bermesraan dengan ular tampar. Nagagini adalah istri gurunya, Raja Naga.
Sang prabu merasa perilaku Nagini tak pantas. Dia pun menarik busurnya untuk membunuh ular jantan itu. Nagaraja berterima kasih kepada Aridharma dan menganugerahinya ajian memahami bahasa binatang.
Baca juga: Siapa Sebenarnya Angling Dharma?
Kisah Aridharma banyak versinya. Salah satunya tergambar pula dalam relief Candi Jago di Malang.
Hariani menjelaskan, dalam beberapa mitologi, naga seringkali dibedakan secara fisik dari ular biasa. Naga digambarkan bertubuh lebih besar dari ular biasa. Ia sering digambarkan mengenakan mahkota dan perhiasan lainnya. Kadang juga berkaki empat.
Beberapa naga dianggap setengah dewa. Ia dianggap penyangga bumi. Misalnya ular-naga Anantabhoga, ular Sesa, ular Basuki.
Kitab Udyogaparwa, Agastyaparwa, Tantu Panggelaran, dan Korawasrama juga menceritakan naga. Dalam Udyogaparwa dikisahkan naga berada di Saptatala. Agastyaparwa dari abad ke-11 menyebut ular-naga dan kura-kura menyangga bumi. Tantu Panggelaran mengatakan Sang Hyang Anantabhoga adalah dasar bumi. Dan Korawasrama dari abad ke-16 menyampaikan kalau Pulau Jawa disangga oleh Badawang Nala (kura-kura) dan Anantabhoga.
"Dari uraian naskah diketahui tempat tinggal naga ada di dunia bawah (patala). Karenanya naga dianggap sebagai penyangga bumi," tulis Hariani.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar