Ken Angrok Ksatria yang Terkalahkan
Ken Angrok bukan anak desa, tapi ksatria yang menunggu saat yang tepat untuk merebut takhta.
INILAH cerita Ken Angrok. Awal mula dia dijadikan manusia. Adalah seorang anak janda di Jiput. Berkelakuan tidak baik, memutuskan tali kesusilaan menjadikan perhatian bagi Zat yang Maha Gaib.
Pergilah dia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama dari yang dipertuan di Bulalak itu Mpu Tapa Wengkeng. Dia sedang membuat pintu gerbang pertapaannya, dimintai kambing merah jantan oleh hyang penjaga pintu.
“Tak akan ada hasil walau khusus bersemadi, maka ini akan menyebabkan aku jatuh ke dalam dosa, kalau sampai membunuh manusia, tak akan ada yang dapat memutuskan permintaan korban kambing merah itu,” kata Tapa Wengkeng.
Orang yang memutuskan tali kesusilaan tadi berkata, dia sanggup dijadikan korban, agar dia dapat kembali ke tempat Wisnu dan kemudian menjelma kepada kelahiran yang mulia, ke alam dunia lagi.
Ketika dia direstui penitisannya oleh Mpu Tapa Wengkeng sesuai dengan keinginannya ketika meninggal, bertapalah dia pada tujuh pertapaan. Setelah meninggal, dia dijadikan korban oleh Mpu Tapa Wengkeng. Setelah itu pergilah dia ke tempat Wisnu. Tak diingkari janjinya ketika dijadikan korban, dia memohon agar dijelmakan di sebelah timur Kawi.
Demikianlah penulis Serat Pararaton membuka penuturannya tentang Ken Angrok. Kisah itu seakan mistis. Namun, sebenarnya erat kaitannya dengan awal mula kelahiran pendiri Kerajaan Singhasari yang misterius itu. Di sana ada petunjuk soal identitas ayah Ken angrok.
Baca juga: Asal Usul Ken Angrok
Urun pendapat sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Mereka mengajukan analisisnya secara spesifik soal latar belakang Ken Angrok.
Sebelumnya, Boechari dalam artikelnya “Ken Angrok: Bastard Son of Tunggul Ametung?" (1975), memberikan penjelasan kalau Dewa Brahma yang memperkosa Ken Endok adalah seorang penguasa daerah di lereng timur Gunung Kawi. Sebagai seorang penguasa, dia lepas dari jangakauan hukum.
Dia bahkan punya kekuasaan untuk menyingkirkan suami seorang perempuan yang diinginkannya. Mengingat Ken Angrok dengan mudah diterima pengabdiannya kepada Tunggul Ametung, maka Boechari menyimpulkan Ken Angrok adalah anak Tunggul Ametung.
Namun, pendapat itu dibantah sejarawan Malang, Suwardono lewat bukunya Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok. Menurutnya penulis Pararaton secara jenius telah menyiratkan informasi itu lewat pembuka kisahnya.
Jika penggalan kisah yang membuka Katuturanira Ken Angrok itu diperhatikan, secara harfiah bisa dimaknai bahwa telah terjadi suatu pelanggaran susila yang dilakukan oleh seseorang di karajyan Kerajaan Kadiri. Suwardono menerjemahkan, seseorang itu merupakan anak janda dari Jiput. Dia kemudian berniat menebus dosanya menjadi korban sesaji. Harapannya, dia bisa dilahirkan kembali di lereng timur Gunung Kawi sebagai Ken Angrok.
Dari penuturan kisah awal Pararaton itu diketahui kalau si tokoh berasal dari Desa Jiput yang, menurutnya, ada di sebelah barat Gunung Kawi. Dia yang minta menjelma kembali di timur Gunung Kawi itu, menurut Suwardono, hanyalah penghalusan. Maksudnya, orang itu telah melakukan perbuatan mesum terhadap istri orang hingga menghasilkan anak di timur Gunung Kawi, yang jauh dari pemerintahan Kerajaan Kadiri.
“Secara rasional, seseorang yang memutuskan ikatan kesusilaan yang berasal dari Jiput itulah yang nantinya menurunkan Ken Angrok. Dialah ayah dari Ken Angrok,” jelas Suwardono.
Ayah Ken Angrok
Bukan Tunggul Ametung, ayah Angrok itu bisa ditelusuri lewat penyebutan nama desa yang menjadi tempat lahir Ken Angrok: Desa Pangkur.
Dalam bahasa Jawa Kuno, Pangkur adalah gelar pejabat kerajaan. Di Kerajaan Kadiri, pejabat kerajaan di pusat terdiri dari susunan kelompok. Di bawah mahamantri i hino, i sirikan, dan i halu adalah para tanda rakryan ring pakiran-kira.
Di bawahnya lagi, terdapat kelompok pejabat yang diberi tugas luar. Mereka sering juga ditempatkan di daerah.
Ada tiga golongan. Pertama, terdiri dari pinghai, wahuta, rama, nayaka, pratyaya, akurug haji, wadilahati, dan aludur. Kedua, dinamakan winawa sang mana katrini yang terdiri dari pangkur, tawan, dan tirip. Ketiga, golongan ini adalah mangilala drawya haji.
“Pangkur, tawan, dan tirip. Ketiganya bertugas sebagai pengawas pelaksana perintah raja,” jelas Suwardono.
Maka bisa disimpulkan kalau ayah Angrok adalah pejabat tinggi pangkur, yaitu pegawai pusat yang diberi tugas luar. Tak heran jika kemudian dia sampai ke wilayah timur Gunung Kawi.
“Lalu pangkur dan akuwu tinggi mana? Hierarkinya, sri maharaja, mahamantri katrinian, setelah itu ring pakiran kiran. Di hirarki ring pakiran kiran ini itulah manakkatrini. Sejajar. Sangat berpengaruh. Manakatrini ini mengawasi pakiran kiran sama pejabat yang berhubungan dengan pajak negara,” terang Suwardono.
Karena ditugasi dan tinggal di sana semetara waktu, nama desa yang dia tinggali pun dikenal sebagai Pangkur. "Ini sampai sekarang masih terjadi. Tempat tinggal Mangkubumi menjadi Mangkubumen, Yudonegoro menjadi Yudonegaran," jelas Suwardono.
Karena itulah sekarang nama desa "Pangkur" tak lagi membekas. Perubahan sebutan tempat terjadi ketika sang pejabat sudah tak menempati wilayah itu karena pejabat pangkur tak mendapat wilayah lungguh. Tidak seperti seorang yang bergelar rakai.
“Petunjuk yang selama ini terlewatkan oleh para sejarawan justru terletak di bagian pembukaan Pararaton,” ujar Suwardono.
Ibu Ken Angrok
Bukan cuma ayahnya yang diduga punya darah biru. Ibu Ken Angrok pun dimungkinkan berasal dari keluarga bangsawan.
Teori ini salah satunya datang dari sejarawan Warsito S. Dalam artikelnya "Benarkah Ken Arok Anak Desa?" yang terbit dalam majalah Pusara, Djilid XXVII, No. 3-4 Maret-April 1966, dia bilang kalau ibu Ken Angrok adalah ratu yang melarikan diri bersama putranya. Mereka bersembunyi di tempat terasing. Sebab, takhta kerajaannya telah direbut oleh penguasa lain.
Ken Angrok atau yang dia sebut dengan Ken Arok dikenal juga sebagai penjelmaan Wisnu. Menurutnya, itu lebih menunjukkan moyang yang dipuja, bukan sekte agama. Raja di Jawa Timur yang pertama menyebut dirinya sebagai penjelmaan Wisnu adalah Bhuwaneçwara (Prasasti Gedangan 860). Adapun unsur nama Içwara dalam nama Bhuwaneçwara (Bhuwana-Içwara) menunjukkan raja itu dari dinasti Siwa. Içwara adalah nama lain Siwa.
Lalu Wijaya, penegak dinasti Majapahit, yang adalah keturunan Ken Angrok juga memilih diarcakan sebagai Harihara. Dewa ini adalah perwujudan gabungan dari Wisnu dan Siwa.
Lalu Ken Angrok kala hendak menjadi penguasa diangkat oleh Siwa sebagai anaknya dalam rapat dewata di Gunung Lejar. Ketika hendak berperang melawan Kadiri, ia juga mentahbiskan dirinya sebagai Siwa. Pun dia diduga diwujudkan dalam bentuk arca Harihara.
"Jadi jelaslah Ken Angrok keturunan Bhuwaneçwara. Ia adalah kuncup dari dinasti tua di Blitar," jelas Warsito. Lebih lanjut dia bilang, Ken Angrok adalah seorang putra mahkota yang menanti saat baik untuk dapat merebut kembali takhta kerajaan ibunya.
Mirip dengan pendapat itu, Dwi Cahyono, mengatakan kalau Ken Angrok boleh jadi berasal dari kalangan yang secara politis terkalahkan. Mungkin, katanya, dari garis ibu dia adalah orang Janggala yang terkalahkan.
"Angrok itu disudrakan. Diposisikan rendah secara sosial politik karena kalah,” jelasnya ketika ditemui di rumahnya, Malang.
Namun, posisinya berbalik setelah memperoleh kemenangan. Angrok mendapat gelar ken.
“Ken itu samdi dalam ki-an. Jadi ken dari kata ki-an. Dari raki-an jadi rakryan,” ujar sang arkeolog.
Adapun ibunya pun punya gelar ken, yaitu Ken Endok. Ini adalah petunjuk bahwa orang yang memiliki gelar itu bukan sudra, tapi ksatria.
Dalam hal ini, mereka adalah ksatria yang terkalahkan. Itu terutama sejak momentum 1135 M, yaitu kemenangan Kadiri dalam Prasasti Hantang. Akhirnya penguasa Jenggala termasuk leluhur Angrok pun penguasa terkalahkan.
"Walaupun posisi ayahnya belum jelas ya, tapi kalau lihat posisi geografisnya, dia lahir di daerah pendudukan," jelas pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang itu.
Baca juga:
Melacak Jejak Ken Angrok
Di Balik Nama Ken Angrok
Mencari Candi Pemujaan Ken Angrok
Jejak Ken Angrok di Timur Gunung Kawi
Tambahkan komentar
Belum ada komentar