Idul Adha di Kesultanan Aceh
Pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641), Idul Adha dirayakan dalam prosesi yang sangat megah.
Hari Raya Idul Adha 1637.Peter Mundy terkagum-kagum kala menyaksikan prosesi itu. Seperti dikisahkannya dalam buku Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, ia melihat semua warga Kesultanan Aceh seolah larut dalam suatu perayaan pesta akbar: seluruh lapangan besar antara pintu masuk istana hingga ke masjid Bait ur-Rahman dihiasi dengan bendera-bendera besar. Sultan datang dengan menaiki gajah yang dihias sangat megah dan mewah.
“Kedatangan Sultan diiringi arak-arakan besar yang terdiri atas 30 barisan…” ujar pedagang Inggris tersebut
Mundy juga melihat, dalam barisan ke-28 ada 30 ekor gajah yang dihias dengan benda mirip menara kecil di atas punggungnya. Di setiap menara berdirilah dengan gagah masing-masing seorang serdadu yang berpakaian merah seraya memegang bedil. Pada deretan pertama rombongan yang terdiri atas 4 ekor gajah, gadingnya masing-masing dipasangi dua pedang besar. Banyak di antara gajah itu memiliki nama, salah satunya, gajah yang dinaiki Sultan, bernama Lela Manikam.
Perayaan Idul Adha yang disaksikan Mundy bertepatan dengan pengangkatan Iskandar Tsani sebagai sultan. Karena itu, tak aneh jika prosesinya berlangsung sangat panjang dan melibatkan banyak petinggi kerajaan, tentara, para pelayan istana, berbagai senjata, dan simbol kebesaran kerajaan. Menurut Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah Budaya dan Tradisi ada banyak alasan yang menjadikan perayaan Idul Adha kerap melibatkan seluruh elemen negeri secara massif. Namun yang pasti, faktor Aceh sebagai seuatu kerajaan Islam menjadikan penguasanya memiliki otoritas politik maupun agama. Perayaan juga menggunakan dua tempat, yakni istana sebagai simbol perayaan sedang masjid sebagai simbol keagamaan.
Mundy melanjutkan, ketika sampai di dalam masjid, Sultan dan para pembesar istana masuk untuk melaksanakan ibadah. Setelah beriabadah di masjid bersama Syaikh Syams ud-Din, Sultan pergi ke tempat rajapaksi. Di sana hewan-hewan yang akan dikurbankan sudah diikat di bawah kemah. Sultan kemudian melakukan penyembelihan pertama menggunakan belati emasnya. Begitu muncul tetesan darah pertama, belati diserahkan kepada Syaikh Syams ud-Din untuk meneruskan prosesi penyembelihan hewan kurban. Dari kesaksian Mundy, Sultan saat itu mengurbankan 500 kerbau muda. Tidak hanya Sultan, pejabat kerajaan pun ikut berkurban. Salah satunya adalah Kadi Malik ul-adil.
Perayaan Idul Adha di rajapaksi dilanjutkan hingga selesai sementara Sultan kembali lagi ke istananya. Dalam perjalanan pulang Sultan beserta rombongan arak-arakannya diiringi berbagai macam musik. Rakyat sangat tertarik melihat rajanya. Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra menulis bahwa ibu-ibu yang sedang hamil juga keluar untuk menyaksikan rajanya. Banyak yang melahirkan anak di jalan atau di pasar, bahkan ada orang yang tidak mendapat tempat dan harus berdesakan karena terlalu banyak orang yang ingin menyaksikan arak-arakan ini. Begitu banyak orang yang terlibat dan panjangnya prosesi membuat hampir tidak ada ruang yang tersisa dan sedikit kacau. Oleh karena itu, menurut Mundy prosesi tersebut sangat tidak beraturan.
Bersumber dari Adat Aceh, disebutkan Amirul Hadi bahwa ada lebih banyak peserta yang terlibat dengan lencana kebesaran kerajaan yang lebih lengkap dibanding perayaan dan prosesi lain di Kesultanan Aceh. Idul Adha memang secara resmi dijadikan perayaan paling penting di sana saat itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar