Gunung Semeru Memantapkan Pulau Jawa
Semeru bukan sembarang gunung. Ia membuat Pulau Jawa yang labil menjadi mantap.
Gunung Semeru yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, meletus pada Sabtu, 4 Desember 2021. Erupsi gunung berapi tertinggi (3.676 m) di Pulau Jawa ini menelan 22 korban jiwa.
Semeru bukan sembarang gunung. Dalam kosmologi Hindu, Semeru (Sumeru atau Meru) merupakan pusat jagat raya. Gunung ini juga berkaitan dengan pemantapan Pulau Jawa sebagaimana diceritakan kitab Tantu Panggelaran yang ditulis pada 1557.
Menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, naskah Jawa abad ke-16 itu merupakan suatu penafsiran indianisasi (masuknya pengaruh kebudayaan India ke Nusantara) yang kurang bersifat historis. Tantu Panggelaran merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Pulau Jawa.
Naskah itu di antaranya menceritakan asal mula Bhatara Guru (Siwa) pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya Pulau Jawa diberi penghuni. Brahma menciptakan kaum lelaki dan Wisnu menciptakan kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan memindahkan Gunung Meru yang terletak di negeri Jambudwipa, yaitu di India.
“Sejak itu gunung tinggi ‘yang menjadi lingga bagi dunia’ (pinkalalingganingbhuwana) itu tertanam di Jawa dan Pulau Jawa menjadi bumi kesayangan dewata,” tulis Lombard.
Baca juga: Amuk Semeru di Masa Lalu
Bhatara Guru memerintahkan Brahma, Wisnu, dan para dewa, untuk memindahkan Gunung Meru atau Mahameru dari India karena Pulau Jawa masih labil.
“…tanah Jawa waktu itu masih belum tetap letaknya, masih jungkat-jungkit,” tulis R.M. Ng. Poerbatjaraka, ahli sastra Jawa Kuno, dalam Kepustakaan Djawa. “Maka, diperintahkanlah oleh Bhatara Guru kepada para dewa memindahkan Gunung Semeru dari tanah Indu (India) ke Pulau Jawa.”
Puncak gunung itu dipotong dan diusung ke tanah Jawa. Puncak gunung itu jatuh di sebelah barat, sehingga tanah Jawa menjungkat dan bagian timur naik ke atas. Maka, diusunglah gunung itu ke arah timur.
“Bagian-bagian yang rempak jatuh di tengah jalan menjadi Gunung Katong (Lawu), Gunung Wilis, Gunung Kampud (Kelud), Gunung Kawi, Gunung Arjuna, Gunung Kemukus; puncaknya menjadi Gunung Semeru. Barulah tanah Jawa tetap letaknya tidak bergoyang-goyang lagi,” tulis Poerbatjaraka.
Baca juga: Pertanda dari Gunung
Namun, Gunung Semeru itu miring ke arah utara. Maka, ujung gunung itu dipotong lalu ditempatkan di barat laut dan diberi nama Pawitra atau Penanggungan, gunung paling suci pada zaman Majapahit.
“Sekurang-kurangnya mulai abad ke-10, yang berfungsi sebagai gunung suci adalah sebuah gunung berapi yang sudah mati, yaitu Gunung Penanggungan,” tulis Lombard.
Gunung Penanggungan terletak di Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur. Sekalipun relatif rendah (1.659 m), gunung ini terdiri dari sebuah kerucut pusat disertai empat kerucut kecil tambahan, sehingga merupakan perwujudan sistem mata angin kosmis. Keempat kerucut kecil itu adalah Bekel (1.240 m), Gajahmungkur (1.084 m), Kemuncup (12.38 m), dan Sarahklopo (1.235 m).
“Dari masa ke masa, di lereng-lerengnya dibangun candi dan pertapaan yang menurut para arkeolog berjumlah tidak kurang dari 81 situs,” tulis Lombard.
Gunung dan Raja
Gunung menjadi tempat suci dan pemujaan telah melengkapi bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuno, yang ditujukan kepada gunung-gunung dan dikaitkan pada raja.
“Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya, baik yang bersifat Brahmana maupun Buddhis, lalu gagasan bahwa maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai penguasa gunung seperti Dewa Siwa yang di India memang dianggap sebagai penguasa gunung,” tulis Lombard.
Kendati pemujaan kepada gunung telah ada sejak masa awal sejarah Jawa, namun baru pada abad ke-11, dalam kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa, ditemukan penyebutan pertama yang pasti tentang adanya pemujaan gunung di Jawa. Dalam kakawin ini disebutkan Raja Airlangga memanjatkan pujian kepada puncak gunung Indraparwata.
Baca juga: Meredam Murka Gunung Kelud
Bukti-bukti lebih banyak lagi terdapat pada abad ke-14. Mpu Tantular dalam Sutasoma mempersembahkan salah satu lagu pujiannya kepada Girinatha (raja gunung). Pada awal Nagarakertagama, Prapanca memohon perlindungan Parwanatha (penguasa gunung), yang tiada lain adalah raja Majapahit yang sedang berkuasa, Hayam Wuruk.
Prapanca menceritakan bahwa Hayam Wuruk berulang kali mengunjungi perwujudan gunung kosmis di Palah (Blitar), tempat raja-raja Majapahit membangun candi besar Panataran sebagai candi kerajaan, untuk memberi penghormatan pada penguasa gunung.
“Dasar bangunan pusat, yang sekarang tetap berdiri, dihiasi naga-naga yang bergelung, yang agaknya menunjukkan bahwa yang ditampilkan itu memang benar-benar Gunung Meru,” tulis Lombard.
Baca juga: Bergelut dengan Kelud
Bahkan, Prapanca menyebutkan bahwa kelahiran Hayam Wuruk pada 1256 Saka atau 1334 M ditandai dengan meletusnya Gunung Kampud (Kelud) yang mengakibatkan gempa bumi, hujan abu, guruh, dan halilintar.
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, mengatakan peristiwa vulkanis Gunung Kelud yang mengakibatkan gempa bumi di Banupindah itu dikaitkan dengan lahirnya dan prestasi yang akan dicapai oleh Hayam Wuruk.
“Peristiwa vulkanis ini dimaknai sebagai ‘pertanda alam’ mengenai lahirnya seorang anak yang kelak menjadi narapati; nara (orang), pati (pemimpin). Artinya sang pemimpin,” kata Dwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar