Galuh, Kekuatan di Timur Tatar Sunda
Usai kehancuran Tarumanegara, wilayah Tatar Sunda terbagi menjadi dua kekuasaan. Galuh berperan menjaga wilayah Timur, dengan Ciamis sebagai tempat pemberhentiannya.
Pada abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara (abad ke-4 sampai abad ke-7), salah satu kerajaan Hindu-Budha tertua di Nusantara, resmi kehilangan kuasa atas Tatar Sunda. Tarumanegara masa pemerintahan Raja Tarusbawa (669-670 M) tidak lagi dapat meredam konflik di dalam kerajaannya yang semakin meluas. Rakyat pun dilanda kecemasan.
Namun keadaan tersebut tidak benar-benar buruk. Bagi kerajaan-kerajaan vasal (taklukan) Tarumanegara, konflik itu merupakan kesempatan untuk memerdekakan wilayahnya. Seperti yang dilakukan penguasa Kendan, Wretikendayun, pada abad ke-7. Upaya pemisahan diri itu berhasil ia lakukan tanpa menimbulkan konflik dengan penguasa Tarumanegara.
Begitu Tarumanegara hancur sepenuhnya, Wretikendayun menolak ikut ambil bagian dalam pembangunan kerajaan baru pengganti Tarumanegara. Bersama para pengikutnya, Wretikendayun mendirikan kerajaan baru. Karena daerah Kendan tidak memadai untuk pendirian pusat pemerintahan, ia pun memindahkan pemerintahannya ke daerah Karangkamulyan, (Ciamis sekarang). Pada 669, berdirilah kerajaan Galuh sebagai lanjutan dari pemerintahan Kendan, dengan raja pertamanya Wretikendayun.
Baca juga: Candi-candi Kerajaan Sunda Kuno
Sementara itu, menurut Mumuh Muhsin Z dalam Ciamis atau Galuh, di bekas wilayah kerajaan Tarumanegara juga didirikan pemerintahan baru bernama Kerajaan Sunda. Di bawah kuasa Tarusbawa, Sunda berperan penting melanjutkan politik Tarumanegara, dengan menjalankan pemerintahan di bekas daerah yang ditinggalkan. Baik Sunda maupun Galuh sama-sama memegang pengaruh besar di Tatar Sunda.
“Jadi Galuh dan Sunda lahir secara bersamaan,” kata Sejarawan Budiansyah kepada Historia.
Demi menjaga keamanan di kedua kerajaan tersebut, Wretikendayun dan Tarusbawa sepakat melakukan perundingan untuk menentukan batas kekuasaan masing-masing. Mereka, kata Budiansyah, sampai pada kesepakatan bahwa Sungai Citarum menjadi batas pemisah antara kedua kerajaan yang terlahir dari kehancuran Tarumanegara itu.
“Citarum ke arah timur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, lalu dari Citarum ke arah barat menjadi milik Kerajaan Sunda,” katanya.
Kekuasaan di Galuh
Salah satu sumber yang banyak memberikan informasi terkait Galuh adalah sebuah naskah yang dibuat pada akhir abad ke-16, yakni Carita Parahiyangan. Dalam Tjarita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi, disebutkan bahwa seorang raja bernama Sena pernah berkuasa di Galuh. Kekuasaannya itu lalu digantikan oleh kemenakannya, Sanjaya.
Proses naiknya Sanjaya ke takhta tertinggi Galuh ini pernuh dengan konflik. Ia diketahui berselisih dengan pamannya (saudara seibu Sena), Rahyang Purbasora, yang berusaha menguasai Galuh dari tangan Sena. Setelah berhasil bertakhta, Purbasora mengasingkan Sena bersama keluarganya ke Gunung Merapi.
Baca juga: Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno
Menurut Nugroho Notosusanto, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Gunung Merapi yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan bukan gunung yang terletak di Jawa Tengah sekarang, tetapi sebuah bukit bernama Merapi yang terletak di daerah Kuningan, Jawa Barat. Hal itu didasarkan pada penamaan tempat di Carita Parahiyangan yang umumnya menggunakan nama tempat di wilayah Sunda bagian timur.
“Oleh karena itu, berangkali dapat diajukan keberatan atas usaha yang pernah dilakukan untuk ‘memindahkan’ panggung peristiwa masa itu ke daerah Jawa Tengah seluruhnya,” tulis Notosusanto.
Sanjaya sendiri ikut dalam pengasingan bersama Sena. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya yang berdiam di Denuh. Carita Parahiyangan kemudian mengisahkan kemenangan Sanjaya dalam merebut kekuasaan dari Rahyang Purbasora. Ia lalu mengangkat dirinya menjadi raja di Galuh. Bertahta pada pertengahan abad ke-8.
Keberadaan Galuh sempat lama hilang. Hal itu terjadi karena sedikitnya sumber yang membahas tentang kerajaan ini. Barulah pada abad ke-11, melalui Prasasti Sanghyang Tapak, berangka tahun 1030 M, nama Galuh kembali muncul. Prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi ini menyebut nama Maharaja Sri Jayabhupati yang berkuasa di daerah bernama Prahajyan Sunda.
Berdasar penelitian sejarawan Nugorho Notosusanto, dkk, diketahui bahwa tokoh Sri Jayabhupati ini sama dengan Rakeyan Darmasiksa (1033-1183) yang diceritakan dalam Naskah Carita Parahiyangan sebagai Raja Galuh. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa ini pusat pemerintahan Galuh berada di wilayah bernama Prahajyan.
Baca juga: Pemimpin Ideal ala Sunda
“Tentang apa sebabnya Rakeyan Darmasiksa dapat cukup lama memerintah, yaitu karena ia memperoleh berkah dari para pendeta yang berpegang teguh kepada milik asli Sunda, yaitu Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa,” ungkap Notosusanto.
Galuh-Sunda Bersatu
Rupanya antara Galuh dengan Sunda tidak selalu terlibat dalam konflik. Menurut Budimansyah, antara Sunda dan Galuh pernah bersatu menjadi kerajaan tunggal. Bukan hanya sekali tetapi dua kali, yakni pada masa pemerintahan Maharaja Sanjaya (723-732 M), dan masa Prabu Jayadewata dengan gelar Sri Baduga Maharaja (1482-1521). Kedua kerajaan besar di Tatar Sunda ini dipersatukan melalui jalan pernikahan.
“Galuh dan Sunda adakalanya dipersatukan melalui jalan pernikahan putra dan putri mahkota. Untuk nama kerajaan yang dipilih adalah Sunda,” ucap Budimansyah.
Terbentuknya kerajaan Sunda-Galuh pada masa Sanjaya terjadi ketika sang raja memperistri putri Raja Sunda Tarusbawa. Sanjaya lalu mendapat gelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda. Bergabungnya Sunda ke Galuh memberi keuntungan yang besar bagi keduanya. Mereka sama-sama melebarkan pengaruh sehingga kekuasaannya dapat mencakup wilayah Tatar Sunda yang begitu luas. Sementara pada proses penggabungan yang kedua, Galuh sudah memerintah dari wilayah Kawali, Ciamis.
Pusat Pemerintahan Terakhir
Berdasar keterangan dalam Carita Parahiyangan, daerah Kawali, Ciamis menjadi pemberhentian terakhir para penguasa Galuh. Menurut Notosusanto, keterangan mengenai pada zaman pemerintahan siapa pusat pemerintahan Galuh dipindah ke Kawali, tidak dapat dipastikan dengan jelas. Namun menurut prasasti-prasasti yang ditemukan di sekitar kawasan Kawali diketahui bahwa pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) pusat kuasa Galuh telah berada di Kawali. Ia membangun sebuah kraton yang dikenal sebagai Kraton Surawisesa.
“Ia mengharapkan agar orang-orang yang datang kemudian berbuat kebajikan sehingga dengan demikian dapat hidup lama dan berbahagia di dunia. Pengharapan seperti itu ternyata juga dapat ditemukan dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis tahun 1518 Masehi,” tulis Nina H. Lubis dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat.
Prabu Raja Wastu pada prasasti Kawali ini adalah tokoh yang sama dengan nama Rahyang Niskala Wastu Kancana pada prasasti Batutulis dan Kebantenan. Ia dikenal sebagai kakek dari penguasa Sunda, Sri Baduga Maharaja. Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa Niskala Wastu Kancana menjalankan pemerintahannya di Kawali. Sebelum akhirnya digantikan oleh putranya, Rahyang Ningrat Kancana (Rahyang Dewa Niskala).
Dalam Carita Parahiyangan, Rahyang Ningrat Kancana disebut sebagai “Tohaan di Galuh” (Yang Dipertuan di Galuh). “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat Kerajaan Sunda masih terletak di Gauh, tepatnya di sekitar kota Kawali sekarang,” tulis Notosusanto.
Ketika masa pemerintahan Prabu Jawadewata, Kerajaan Sunda dan Galuh telah bersatu. Kerajaannya menjadi satu dari sedikit pemerintahan Hindu-Budha yang masih bertahan di tengah kepungan pengaruh Islam. Demi menjaga ajaran Hindu-Budha tetap lesatri, Prabu Jayadewata kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran (di wilayah Bogor sekarang). Kerajaan itu dikenal sebagai Kerajaan Pakuan Pajajaran. Kekuasaannya berjalan hingga 1579, sebelum akhirnya hancur oleh serangan pasukan Islam.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar