Empat Penjelajah Muslim Awal
Empat penjelajah muslim dari Timur Tengah ini telah mencatat keberadaan Nusantara.
Ada sebuah nasihat yang dinggap berasal dari Nabi Muhammad Saw.: “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina”. Kendati bukan hadis sahih, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, menyebut pesan itu tetap bisa diterima sebagai gambaran tingkat pengetahuan geografis dunia Islam pada awal kelahirannya.
“Apakah mungkin menyebut keunggulan negeri Cina, kalau adanya wilayah itu belum diketahui,” katanya.
Pada awal perkembangan Islam di abad ke-7, para pengembara dan pedagang Arab sudah mengenal negeri sejauh Tiongkok. Dalam perjalanannya hubungan antara Arab atau wilayah Timur Tengah secara umum dengan Tiongkok pun makin akrab. Hingga pada abad ke-10, penguasa Tiongkok mulai melarang kehadiran kapal-kapal dari Timur Tengah berlabuh di Kanton, pelabuhan terbesar Tiongkok.
Baca juga: Nusantara dalam Catatan Penjelajah Dunia
Dalam “Secercah Kisah: Ibn Battuta Sang Penjelajah Muslim Tanpa Bandingan” yang disampaikan di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018, Taufik menjelaskan penguasa Tiongkok mulai khawatir terjadi persaingan ekonomi antarpedagang.
“Sejak itu, kapal-kapal yang berasal dari Timur Tengah mengganti tujuan mereka ke arah wilayah kepulauan yang kini disebut Indonesia,” kata Taufik.
Hingga kini, sejarah mencatat penjelajah muslim ke Nusantara paling terkenal mungkin adalah Ibn Batutta. Bahkan, ia dijuluki “Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa”. Namun, Ibn Batutta bukan penjelajah muslim satu-satunya di dunia yang tercatat sejarah. Berikut ini penjelajah muslim yang catatannya memuat informasi tentang Nusantara pada masa lalu:
Sulaiman al-Tajir
Sulaiman adalah pedagang Persia yang melakukan beberapa pelayaran pada tahun 851. Ia satu di antara banyak orang dari Timur Tengah yang pada abad ke-8–10 berlayar ke timur hingga ke pasar-pasar besar di Tiongkok.
Catatannya memuat rute dari Persia ke Tiongkok. Jeong Su-Il, sejarawan spesialis jalur sutra asal Korea Selatan dalam The Silk Road Escyclopedia menjabarkan, pelayaran Sulaiman dimulai dari mengambil muatan di Basra, Iraq atau Oman, kemudian berlabuh di Siraf, melewati Sohar dan Muscat di timur laut Pantai Oman. Setelah sebulan berlayar, kapal sampai di Kollam, Kerala, India. Dari sini, mereka melewati Sarandip atau Sri Lanka, Kepulauan Andaman, Kepulauan Nikobar, Lambri di Sumatra, sampai di Kalah atau sekarang Kedah, Malaysia. Setelahnya kapal berlayar selama 20 hari ke Champa, melewati Zhanghai dan sampai di Guangfu atau Guangzhou.
“Ia menjelaskan perjalanan dari Siraf ke Guangzhou memakan waktu 130 hari dan melewati total 13 negeri,” tulis Jeong Su-Il.
Baca juga: Peta dan Cara Manusia Memandang Dunia
Termasuk kerajaan di pulau bernama Zabag. Sudah sejak abad ke-7, pulau ini muncul dalam tradisi penulisan para geograf Arab. Mereka menyebut Zabag untuk Pulau Sumatra. Catatan Sulaiman juga menyebut raja di Pulau Zabag yang bergelar maharaja. Pun kehidupan masyarakatnya. Salah satu kekayaan negeri ini berupa emas memberikan kesan mendalam kepada Sulaiman.
Sayangnya, catatan perjalanan asli berbahasa Arab yang ditulis Sulaiman hilang. Kisahnya kemudian dikenali melalui karya seorang ahli bumi muslim bernama Abu Zayd Hasan dari Siraf di Persia berjudul Rihalatu Sulaiman al-Tajir. Karya yang memodifikasi dan melengkapi karya Sulaiman itu terbit pada 916.
Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi
Seorang kapten sekaligus ahli navigasi muslim. Ia mengumpulkan catatan pelaut-pelaut muslim awal yang berisi pengalaman aneh mereka dan menarasikannya dalam Ajaib al-Hind (Keajaiban India). Karyanya itu menjadi salah satu sumber penting Timur Tengah yang aslinya berbahasa Persia.
Sejarawan S.Q. Fatimi dalam Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East, menyebut Al-Hind yang dimaksud al-Ramhurmuzi mencakup tak hanya anak benua India, melainkan juga Asia Tenggara maritim.
Baca juga: Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara
Catatan yang ia kumpulkan di antaranya kisah pelaut tentang Kawlam (Kollam) di Pantai Malabar, Sarandib (Sinhaladvipa) yaitu Sri Lanka, Lanjabalus (Nakkavaram) yaitu Kepualaun Nikobar, Lamuri (Lambri), Fansur, Siribizah (Sriwijaya) di Sumatra, Kalah (Kalang) di pantai barat Semenanjung Malaya, dan tentang EI Dorado yang legendaris di laut selatan.
Menurut Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, kitab yang ditulis sekira tahun 390 H (1000 M) itu, juga merupakan catatan Timur Tengah paling awal tentang Nusantara. Karya ini meriwayatkan kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Catatannya mengisyaratkan pula adanya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli.
Ibn Battuta
Abu Abdullah Muhammad Ibn Battuta lahir di Maroko tahun 1304 M pada masa Dinasti Marinid. Ia pengelana pertama yang mengunjungi seluruh dunia Islam yang dikenal waktu itu. Mulai dari Maghribi di Afrika, Tangiers di Maroko ke Jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil di wilayah yang disebut para pelacong Barat sebagai Bulan Sabit yang Subur, lalu ke anak benua India, dan ujung Pulau Sumatra hingga ke Tiongkok.
Baca juga: Ibnu Battuta Singgah di Samudra Pasai
Sejarawan Taufik Abdullah menjelaskan, Ibnu Battuta bukanlah orang Arab pertama yang memberitakan Nusantara. Ketika dia berkunjung, pengetahuan para ahli geografi dan pelayar Arab tentang wilayah Kepulauan Nusantara telah cukup memadai. Umpamanya, Pulau Zabag. Meski sudah dikenal para geograf Arab, hanya Ibnu Battuta yang menceritakan hasil kunjungannya sendiri. Sebelumnya hanya berdasarkan cerita para pedagang.
Karyanya, Rihla (perlawatan) tetaplah berdiri sendiri sebagai catatan perjalanan muslim tentang Asia Timur. Ibn Battuta menjelajah kurang lebih 29 tahun dengan mencapai 120.700 km.
Ibn Muhammad Ibrahim
Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo Sampai Tan Malaka menulis, pada 1685, Syekh Persia, Sulaiman, mengirimkan utusan ke Raja Narai di Siam. Itu dalam upaya yang sia-sia untuk meningkatkan peranan penting muslim Syiah dari Persia dan India di kerajaan itu.
Dalam perjalanannya, para utusan sempat berhenti di Aceh beberapa waktu. Mereka meninggalkan catatan tentang kekuasaan para ratu di sana. Penulisnya Ibn Muhammad Ibrahim.
Ia menulis dengan gaya prosa bersajak dalam bahasa Persia. Gaya penulisannya berbeda dibandingkan penjelajah Eropa masa itu. Saat itu yang sedang memerintah adalah ratu ketiga, Inayat Shah Zakiat ad-Din (1678-1688).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar