Ekspedisi Mataram Kuno ke Luar Jawa
Pandangan politik ke luar Nusantara bukan hanya milik Sriwijaya dan Majapahit. Raja-raja Mataram Kuno juga beberapa kali melakukan ekspedisi ke luar Nusantara.
Perjalanan ekspedisi ke luar Nusantara bukan hanya dilakukan raja-raja Sriwijaya dan Majapahit. Penguasa Kerajaan Mataram Kuno telah melancarkan aneksasi ke kerajaan-kerajan di luar pulau Jawa.
Ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan awal abad ke-15. Zona Teluk Benggala mencakup India Selatan, Srilangka, Birma, dan pantai utara Sumatra. Lalu kawasan Selat Malaka. Kemudian Kawasan Laut Tiongkok Selatan yang meliputi pantai timur Semenanjung Tanah Melayu, Thailand, dan Vietnam Selatan.
Kawasan Sulu mencakup pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau, dan pantai utara Kalimantan. Sementara Kawasan Laut Jawa terdiri atas Kalimantan Selatan, Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan Nusa Tenggara.
Menurut arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, Baskoro Daru Tjahjono, zona-zona tadi tak terbatas waktu itu saja. Sejak masa sebelumnya sudah berlangsung.
“Sedemikian pentingnya menyebabkan gesekan perebutan dominasi di kawasan itu, baik oleh Arab, India, kerajaan di Asia Tenggara daratan, Mongol, maupun Jawa,” tulis Baskoro dalam “Mataram Kuno: Agraris atau Maritim?” yang terbit di Kemaritiman Nusantara.
Konflik terbuka, lanjut Baskoro, pun terjadi seperti antara Mongol dengan Jawa, India dengan Jawa, Khmer dengan Jawa, serta Jawa dengan Sumatra. Pun konflik tertutup dengan Arab.
Mengenai berbagai ekspedisi itu sebagian besar dikisahkan lewat sumber-sumber tekstual. Misalnya dalam Carita Parahyangan yang ditulis sekira abad ke-16, terungkap setelah membangun kembali kerajaannya, Sanjaya, raja Mdang atau Mataram Kuno, menganeksasi beberapa wilayah di luar kerajaannya. Nama wilayah yang disebutkan: Melayu, Kemir, Keling, Tiongkok, dan Kahuripan.
Baca juga: Makna Daerah-daerah dalam Sumpah Palapa
Kemudian, kata Baskoro, terdapat sumber Arab yang ditulis Sulayman dalam perjalanannya ke India dan Tiongkok pada 851, yang menyebut Sribuza (Sriwijaya), Ramni (daerah di Sumatra), dan Kalah (Semenanjung Tanah Melayu), sebagai daerah Jawa (Mdang).
Keterangan aneksasi atas Sriwijaya diperkuat berita dari Tiongkok masa Dinasti T’ang. Dinyatakan bahwa Shih-li-foshih (
Menurut Baskoro, ekspedisi yang dilancarkan Sanjaya bertujuan untuk menguasai lima zona komersial di kawasan Asia Tenggara. Artinya, data filologi menunjukkan kalau tradisi maritim sudah dianut kerajaan-kerajaan kuno Nusantara sejak lama. Bukan hanya oleh Sriwijaya dan Majapahit.
“Sebagai kerajaan yang mampu bertahan 300 tahun, mustahil Mataram Kuno tak punya armada laut yang kuat,” tulis Baskoro.
Baca juga: Raja yang Menginspirasi Gajah Mada
Pandangan politik Sanjaya dilanjutkan penerusnya. Arkeolog Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo dalam Kapal-Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon menjelaskan, sekira abad ke-8, ada petunjuk kalau Jawa (Mataram) dan Khmer terjadi hubungan politik. Hubungan keduanya ketika itu tak begitu baik.
Sumber sejarah yang menyiratkan itu justru diperoleh dari prasasti yang ditemukan di Kamboja. Isinya tentang penyerangan, diikuti pembakaran oleh pasukan yang datang dari Jawa.
Menurut Bambang penyerangan Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyatnya. Ini pun menjadi cerita yang disampaikan oleh orang-orang Khmer kepada saudagar Arab ketika berkunjung pada 851.
Saudagar Arab bernama Sulayman menceritakan kekalahan Raja Khmer akibat serangan pasukan Sri Maharaja dari Zabaj. Nama Sri Maharaja ini disebutkan juga di dalam beberapa prasasti abad ke-8, baik yang ditemukan di Kalasan, Yogyakarta (775) maupun yang di Tanah Genting Kra, yaitu Ligor B (778).
Mungkin, kata Bambang, yang dimaksud Sri Maharaja pada berita Arab adalah Rakai Panamkaran, Raja Kerajaan Mataram. Dia naik takhta menggantikan ayahnya, Sanjaya, pada 746. “Sekaligus Datu Sriwijaya yang di dalam berbagai prasasti disebut dengan julukan ‘pembunuh musuh-musuh yang gagah berani’,” lanjutnya.
Jawa rupanya tak hanya menyerang Kamboja. Mereka juga menyerang Champa.
Menurut tradisi Sejarah Vietnam, pada 767, Champa diserbu oleh penyerang dari K’un-lun dan Da-ba atau Chö-po (Jawa). Serangan terakhir yang cukup menghancurkan terjadi pada 787 sebagaimana tertulis dalam Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan Raja Indrawarman.
Sejarawan sekaligus Direktur Miami University Art Museum, Robert S. Wicks dalam Money, Markets, and Trade in Early Southeast Asia menjelaskan keterangan dalam prasasti itu di antaranya berisi tentang pembangunan ulang Candi Bhadradhipatisvara yang terbakar akibat serangan pasukan Jawa.
Baca juga: Majapahit Menguasai Daratan dan Lautan
Serangan Jawa ke kerajaan yang kini masuk bagian Vietnam itu cukup beralasan. Champa pada abad ke-7 menjalin hubungan persahabatan dengan Chen-la (Kamboja) yang banyak menguasai jalur perdagangan dan pelayaran di Laut Tiongkok Selatan. Berkat persahabatan itu, Champa memegang hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan.
Setidaknya hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan itu berlangsung hingga 767. Ketika itu Champa diperintah oleh Prthiwindrawarman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar