Di Balik Keindahan Nusa Penida
Pulau indah di tenggara Bali itu ternyata pernah menjadi pembuangan para terhukum.
NUSA PENIDA seolah terlupakan di dalam narasi sejarah bangsa ini. Pulau yang sangat terkenal dengan keindahan lautnya itu menyimpan masa lalu yang amat kelam. Mungkin tak ada orang menyangka begitu banyak misteri yang terkubur di sana.
Lokasi Nusa Penida berada di antara Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jika melihat peta, akan tampak sebuah gugusan pulau di tenggara Bali yang menyerupai sebutir telur burung sedang dierami induknya. Gugusan yang terdiri dari 3 pulau (Nusa Penida, Nusa Ceningan, dan Nusa Lembongan) dengan luas sekira 200 km² itulah penjara yang dahulu digunakan para raja Bali untuk menyingkirkan orang-orang bermasalah dari pulau utama.
Baca juga: Bali Sebelum Dikuasai Majapahit
Pengaruh Kuat Bali
Sejak abad ke-9 hingga permulaan abad ke-10, Nusa Penida telah memiliki tempat tersendiri di dalam sejarah Bali. Tersebut pada sebuah prasasti batu bertahun saka 835 (913 M) yang ditemukan di desa Blanjong, Nusa Penida menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa pimpinan Raja Sri Wira Kesari Warmadewa.
Dalam penelitian sejarawan Ida Bagus Sidemen, Penjara di Tengah Samudra: Studi tentang Nusa Penida sebagai Pulau Buangan, disebutkan kalau Kesari Warmadewa menggunakan Nusa Penida sebagai simbol kemenangan atas musuhnya di Gurun –diyakini para ahli sebagai Lombok– yang tengah berkonflik dengan Bali.
Saat itu, Nusa Penida telah dihuni oleh orang-orang dari Lombok. Mereka telah membangun sebuah pemerintahan di sana. Ketika berhasil ditundukan, Bali segera menempatkan orang-orangnya untuk menempati pemerintahan di Nusa Penida. Digunakanlah pulau ini sebagai salah satu basis perdagangan daerah Bali.
“Hubungan antara Nusa Penida dengan Bali, terutama dalam bidang perdagangan dan pelayaran, masih berlanjut sampai abad ke-11. Salah satu bandar di Bali yang melayani pelayaran antara Bali dengan Nusa Penida adalah bandar Ujung di desa Ujung Hayang, Karangasem,” tulis Sidemen.
Baca juga: Ragam Keluhan Rakyat Bali Kuno Pada Penguasa
Di dalam transkripsi Prasasti Bali yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia terdapat infromasi bahwa hingga dekade pertama abad ke-17, Nusa Penida tetap menjadi penyangga perdagangan kerajaan-kerajaan di Bali. Namun ketika Bali dikuasai dinasti Kresna Kepakisan (abad ke-14), para penguasa Nusa Penida mulai menunjukan itikad memerdekakan diri.
Beberapa sumber lokal, semisal Lontar Sawangan, menyebut Nusa Penida sempat mendirikan negeri merdeka pada permulaan abad ke-16. Di bawah pimpinan Ratu Sawang, Nusa Penida membangun pusat pemerintahan di Bukit Mundi. Mengetahui hal itu, Dalem Waturenggong mengirim pasukan untuk menyerang Ratu Sawang. Dikomandoi Dukut Petak, laskar Bali berhasil menaklukan Nusa Penida.
Pada pertengahan abad ke-17 Nusa Penida dapat mengusahakan kembali pemberontakannya. Pemerintahan Dalem Di Made dari Kerajaan Gelgel Bali yang kekuasaannya mulai goyah di Nusa Penida mendapat serangan dari seorang penguasa bernama I Dewa Bungkut. Namun kekuatan para pemberontak ini terlampau lemah. Pasukan Ki Gusti Jelantik yang dikirim raja Bali pun dapat menguasai kembali Nusa Penida.
Ketika Bali terpecah ke dalam kerajaan-kerajaan kecil, Nusa Penida dinyatakan sebagai bagian dari wilayah kerajaan Klungkung. I Dewa Agung Putra berikrar atas pengaruhnya di Nusa Penida. Semua kerajaan setuju sehingga pulau itu tidak menjadi sengketa di antara para raja Bali.
Pulau Bandit
Sebagai pemilik Nusa Penida, Klungkung mengangkat beberapa pejabat kerajaan untuk menjalankan pemerintahan di sana. Selain sebagai pengawas, para pejabat ini juga bertugas memperkuat kedudukan politik Klungkung di Nusa Penida sehingga pulau itu tidak diambil alih oleh kerajaan lain.
Di dalam beberapa literasi Barat, Nusa Penida dan dua pulau di sekitarnya dikenal sebagai Bandit Island atau Bandieten Eiland (Pulau Bandit). Seperti tulisan Claire Holt, “Bandit Island: A Short Exploration Trip to Nusa Penida”, dimuat Traditional Balinese Culture. Dengan melampirkan beberapa sumber lokal dan arsip Belanda, Holt menyebut pulau Nusa Penida sebagai wilayah yang diisi oleh orang-orang bermasalah dari pulau utama, yakni Bali.
“Nama yang menyolok ini menggelitik untuk berusaha mengetahui apa yang ada di belakang nama yang bernada negatif ini,” tulis Sidemen.
Baca juga: Melestarikan Alam ala Orang Bali Kuno
Julukan bandit yang disematkan para penulis Barat itu, tambah Sideman, sangat berkaitan dengan kebijakan raja-raja Bali yang menjadikan Nusa Penida tempat “pembuangan” untuk nara pidana di kerajaan mereka. Kerajaan Klungkung, Gianyar, dan Bangli, menjadikan Nusa Penida penjara utama bagi para pelanggar hukum yang dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup.
Nusa Penida dipilih karena keadaan alamnya dianggap dapat menyengsarakan para terhukum. Kondisi pulau yang kering dengan musim kemarau panjang, ditambah benteng laut di sekelilingnya yang berarus deras disertai gelombang besar, membuat para raja yakin siapapun tidak akan bertahan hidup di sana.
Selain itu, ada kepercayaan di antara raja Bali tentang keberadaan ilmu hitam di Nusa Penida. Bagi mereka, para tahanan itu juga merupakan tumbal untuk kekuatan gaib di Nusa Penida yang setiap tahun selalu menyerang Bali.
Nusa Penida sendiri penting bagi Klungkung karena secara ekonomi wilayah tersebut menjadi tempat ditanamnya beberapa komoditi ekspor, seperti kacang merah, jagung, ternak sapi dan babi, serta tenun.
“Para tertuduh yang dibuang ke Nusa Penida, dengan hukuman kerja paksa membuka perladangan baru, diharapkan dapat melipatgandakan hasil ekspor tersebut,” kata Sideman.
Baca juga: Asal Usul Bandit di Perdesaan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar