Daoed Joesoef dan Borobudur
Daoed Joesoef membujuk dunia untuk mengembalikan kemegahan Candi Borobudur sejak dipugar pertama kali pada 1907 dan 1911 oleh Van Erp.
KABAR duka datang menjelang dini hari tadi, Selasa, 23 Januari 2018. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, Daoed Joesoef mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan, di usia 91 tahun. Penyakit jantung membuatnya harus mendapatkan perawatan intensif sejak Sabtu pekan lalu.
Salah satu jasa Daoed betapa besar usahanya untuk menyelamatkan Candi Borobudur, candi megah kebanggaan bangsa. Gara-gara Candi Borobudur, dia kerap dikirimi surat kaleng. Isinya makian dan hujatan.
“Kutukan bahwa saya orang kafir, karena bertanggung jawab atas pembangunan berhala yang terbesar di tanah air,” katanya dalam Borobudur, Warisan Umat Manusia, menceritakan peristiwa ledakan di Candi Borbodur pada 21 Januari 1985.
Baca juga: Meledakkan Borobudur
Padahal, saat itu dia hanya berpikir betapa keberadaan Candi Borobudur di tengah tinggalan budaya lainnya dapat menjadi cerminan dan bukti bahwa leluhur bangsa hidup dengan berdampingan di tengah keberagaman.
“Membuktikan betapa nenek moyang kita sebenarnya telah merintis tidak hanya pertumbuhan universalisme dan relativisme tetapi juga lebih-lebih pluralisme,” tegasnya.
Baca juga:
Membangun Candi Borobudur
Motif di Balik Pembangunan Candi Borobudur
Asal-Usul Nama Candi Borobudur
Awal Perkenalan
Daoed Joesoef lahir di Medan pada 8 Agustus 1926. Selama tiga tahun masa revolusi kemerdekaan, 1946-1949, dia bersekolah di Yogyakarta. Namun, dia baru mengunjungi Candi Borobudur pada 1953 bersama kawan karibnya sejak remaja, Adi Putera Parlindungan, yang kuliah di Universitas Gadjah Mada. Dia sendiri kuliah di Universitas Indonesia.
Waktu itu, kondisi Candi Borobudur tidak seperti sekarang. Lorong-lorongnya tidak akan sebaik sekarang jika difoto. Relief-reliefnya berhamburan. Tak ada yang tegak lurus. Semua miring dan berlumut. Di sana sini muncul tunas-tunas kecil pohon kayu yang tumbuh dari kotoran burung atau kelelawar. “Seperti bangunan kuno berhantu,” kata Daoed.
Bukan turis-turis asing yang asik berfoto dengan berbalut kain batik di pinggang seperti sekarang. Di halaman candi yang luas justru dipakai latihan baris berbaris prajurit TNI. Anak-anak desa bergerombol menonton. Ada yang bermain sepakbola. Umumnya cuma bercelana, tanpa kemeja. Belum lagi kambing, domba, ayam, yang berkeliaran.
Daoed merasa orang yang benar-benar punya niat datang ke candi itu sepertinya hanya mereka berdua. Bukannya disambut baik, seperti turis disambut pemandu wisata pada masa kini, mereka berdua malah diberi peringatan oleh seorang pemilik warung. “Supaya berhati-hati kalau menaiki candi karena sewaktu-waktu ia bisa runtuh, lebih-lebih kalau tiba-tiba ada gempa,” ujarnya.
Kendati begitu, keduanya tetap memberanikan diri naik ke candi yang tak berpenjaga. Di puncak tertingginya, mereka duduk sambil melepaskan pandangan ke semua penjuru. Sangat sunyi di tengah kebisuan puluhan stupa dan arca.
“Kelihatan betul, tidak hanya panorama indah, tetapi juga betapa parahnya kerusakan candi,” lanjutnya.
Kontak Fisik
Puluhan tahun kemudian kesempatan datang kepada Daoed. Ketika itu, dia sedang belajar di Sorbonne, dan bermukim di Paris, tempat kedudukan UNESCO. Dari sana dia tahu, kalau lembaga PBB itu punya dana untuk membiayai pemugaran monumen nasional yang penting bagi kemanusiaan dan peradaban.
Berbeda dengan kebanyakan negara merdeka, Indonesia tak punya perwakilan di UNESCO. “Maka tak heran kalau sikap kedutaan kita ini dingin saja ketika saya laporkan ada kesempatan baik bagi Indonesia di UNESCO untuk mendapat dana bagi perbaikan Borobudur,” kata Daoed.
Meski begitu, kedutaan tak segera melangkah. Justru mereka memilih menunggu “arahan dari Jakarta”. Padahal pada 1955, pemerintah pernah berniat untuk memugar Candi Borobudur.
“Keengganan mereka untuk bertindak saya kira lebih karena mereka tidak siap untuk berdiskusi secara akademis mengenai hal-hal yang bersifat kultural, historis, apalagi keilmuan,” kata Daoed.
Keadaan berubah ketika Jenderal Askari diangkat menjadi duta besar untuk Prancis dan wakil di UNESCO. Dia bisa memahami maksud Daoed bahkan memintanya untuk terus berkiprah di forum UNESCO.
“Untuk keperluan itu, Mendikbud Mashuri memberikan kepada saya suatu kedudukan formal berupa status penasihat delegasi Indonesia untuk UNESCO,” ujarnya.
Sambil berkuliah di Sorbonne, antara 1968-1971, Daoed melalui diskusi-diskusi di forum UNESCO membujuk dunia akan urgensi menyelamatkan Candi Borobudur. Candi Borobudur punya saingan berat. Kota air Venesia di Italia dan runtuhan peradaban Mohenjodaro di Pakistan juga berebut dana bantuan UNESCO.
Kendati begitu, Candi Borobudur akhirnya berhasil memenangi dana bantuan UNESCO. Secara resmi pemugaran Candi Borobudur dimulai pada 10 Agustus 1973. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memegang tanggung jawab atas proyek itu. Lima tahun kemudian, pada 1978, sekembalinya ke Indonesia, Daoed dilantik Presiden Soeharto menjadi menterinya.
“Terjadilah kontak fisik dan idiil yang serba instensif antara sang candi dengan saya, yang saya tanggapi sebagai panggilan sejarah, kalaupun bukan suratan takdir,” kata Daoed.
Mengenang
Sepuluh tahun kemudian, pada 23 Februari 1983, Candi Borobudur selesai dipugar. Daoed dan Adi Putera Parlindungan kembali menyepi di puncak candi. Mereka menyaksikan pemandangan yang asri dan megah dari ketinggian itu. “Kami berdua lebih banyak diam, tidak ingin mengganggu suasana yang kebetulan sedang hening, sunyi, dan sepi,” katanya.
Melalui sketsa yang dibuat saat meninjau kegiatan pemugaran, Daoed menunjukkan kekaguman dan penghormatan kepada semua pencipta Candi Borobudur. Apa yang ada di benaknya adalah, Candi Borobudur tidak akan bisa digantikan. Candi itu tak ada duanya, di sini dan di mana pun.
Tak cuma keberadaan Borobudur di antara tinggalan budaya lainnya, tapi Candi Borobudur itu sendiri adalah sebuah “gado-gado”. Di sela kisah pada relief yang bernapas Buddha, terdapat pula ukiran dan cerita yang melambangkan Hinduisme. “Apa yang sepintas lalu kelihatan kontradiktif, dalam keanyataannya tidak mengandung kontradiksi apapun,” ungkapnya.
Berkat jerih payahnya, Daoed menerima penghargaan dari Dalai Lama, pemimpin spiritual di Tibet, pada 2015. Ini bukti kalau Candi Borobudur tak hanya milik Indonesia, tapi juga milik dunia. Tanpa inisiatifnya, entah bagaimana Candi Borobudur sekarang. Selamat jalan Daoed Joesoef.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar