Candi-candi di Mata Naturalis Inggris
Naturalis Inggris ini mengagumi candi-candi di Jawa. Bahkan, dia menyebut peninggalan Hindu-Budha itu melampaui Piramida di Mesir dan peninggalan peradaban di India dan Amerika Tengah.
NATURALIS Inggris, Alfred Russel Wallace, menumpang kapal pos Belanda dari Ternate menuju Surabaya. Dia bermukim di Jawa dari 18 Juli hingga 31 Oktober 1861. Karena biaya transportasi mahal, dia memutuskan melakukan perjalanan singkat ke suatu tempat di kaki Gunung Arjuna. Dari hasil perjalanannya, dia kagum dengan peninggalan peradaban Hindu-Budha dan mencatatnya dalam The Malay Archipelago.
Dalam perjalanannya, Wallace berhenti di Modjo-kerto (Mojokerto), kota kecil sekitar 40 mil di selatan Surabaya. Dia menginap di rumah Mr. Ball, orang Inggris yang telah lama tinggal di Jawa. Ball mengajaknya ke Desa Modjo-agong (Mojoagung), tak jauh dari Mojokerto. Wallace mengamati puing-puing kota kuno, Modjo-pahit. Dia melihat dua tumpukan batu besar. Puing-puing itu adalah sisi dari sebuah pintu gerbang.
“Keindahannya sangat menakjubkan. Batu yang digunakan sangat bagus dan keras, dengan sudut tajam dan permukaan rata. Sambungan antarbatu tak terlihat dan penyambung itu tidak memakai adukan semen atau campuran kapur,” catat Wallace.
Di puing-puing itu tak ditemukan arca, tapi tembok batunya berhiaskan relief. Puing-puing bangunan tersebar hingga bermil-mil ke segala penjuru. Bahkan hampir setiap jalan besar dan kecil menunjukkan adanya pondasi bangunan di bawahnya seakan jalan kota tua.
Sesampainya di rumah seorang wedana, kepala distrik Modjo-agung, Wallace melihat relief wajah perempuan cantik pada batu lava. Batu itu tadinya terkubur di suatu tempat dekat Modjo-agong. “Ekspresi saya terlihat sangat ingin memiliki relief itu, kemudian Ball memintakan relief itu untuk saya, dan senang sekali ternyata wedana itu langsung memberikannya,” katanya.
Ukiran itu menggambarkan sosok Durga. Ukurannya kecil, dengan tinggi dua kaki dan berat sekira 100 pon. Dia kemudian mengirim arca durga itu ke Modjo-kerto. “Akan saya bawa ketika nanti kembali ke Surabaya,” lanjutnya.
Wallace memutuskan tinggal beberapa waktu di Wonosalem, di kaki Gunung Arjuna. Perjalanan ke Wonosalem harus melalui hutan lebat. Di tengah hutan itu, dia menemukan reruntuhan bangunan kuno. Makam raja-raja itu terbuat dari batu dan diukir indah. Di dekat alasnya ada bagian menonjol yang memiliki relief. “Relief ini berupa serangkaian adegan yang mungkin melukiskan peristiwa yang pernah terjadi pada almarhum,” katanya. Beberapa di antaranya menggambarkan hewan yang mirip aslinya.
Luas bangunan itu sekitar 30 kaki persegi, tinggi 20 kaki, dan terletak di daerah yang sedikit lebih tinggi dibandingkan sisi jalan. Bangunan seperti candi itu tertutup bayangan pohon raksasa yang penuh tanaman dan tumbuhan menjalar.
Wallace juga menyebut beberapa karya seni paling penting. Beberapa di antaranya sudah lebih dulu dia ketahui lewat History of Java karya Stamford Raffles.
Wallace menyebut kompleks candi di Desa Brambanam. Candi Brambanam atau sekarang disebut Prambanan, dulu lebih dikenal dengan Candi Loro-jongran. Di kompleks Candi Loro-jongran terdapat 20 candi, enam candi berukuran besar lebih dari 90 kaki, dan 14 candi kecil.
Di daerah itu pula ada Candi Sewa atau Candi Seribu seluas 600 kaki persegi. Seperti Candi Loro-jongran, di candi ini banyak ditemukan arca berukuran besar. Wallace mencatat baris terluar terdiri dari 84 candi, baris kedua 76 candi, baris ketiga 64 candi, baris keempat 44 candi, baris kelima berbentuk jajaran genjang 28 candi. Jumlah seluruhnya 296 candi berukuran kecil yang diatur dalam lima jajaran genjang. Tumbuhan tropis telah merusak candi kecilnya, tetapi beberapa masih terlihat sempurna.
Setengah mil dari Brambanam, ada Chandi Kali Bening, nama lain dari Candi Kalasan. Luasnya 72 kaki persegi dan tinggi 60 kaki. Keadaannya masih sangat bagus. Candi ini memiliki hiasan arca-arca Hindu, meski lebih tepatnya peninggalan Budha. “Keindahannya melebihi patung-patung India. Reruntuhan istana, pendapa, dan candi-candi yang berhiaskan relief dewa-dewa juga terdapat di tempat yang sama,” ujarnya.
[pages]
Melampaui Amerika Tengah dan India
Wallace juga menyebut Borobodo (Borobudur), candi besar terletak kira-kira 80 mil ke barat di wilayah Kedu. Candinya terdiri dari sebuah kubah tengah dan tujuh tingkat teras yang menutupi kaki bukit.
“Agaknya jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan Piramid terbesar di Mesir tak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan candi penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini,” tulis Wallace.
Berikutnya Candi Gunong Prau, terletak kira-kira 40 mil sebelah barat daya Semarang, di sebuah gunung bernama Gunong Prau. Di sana ada dataran luas yang dipenuhi reruntuhan candi. Untuk sampai di kuil itu dibuatlah empat buah tangga batu dengan arah berlawanan. Tiap tangga punya lebih dari seribu anak tangga.
Reruntuhannya hampir 400 candi yang dihiasi ukiran indah dan halus. Daerah yang terdapat di antara daerah ini dan Brambanam, yang berjarak sekitar 60 mil, dipenuhi puing. Tak jarang sebuah ukiran indah ditemukan pula, misalnya di sebuah parit atau di dinding bangunan yang tertutup.
Wallace juga melihat, di Jawa bagian timur, terutama Kediri dan Malang, terdapat banyak peninggalan kuno. Sayangnya, sebagian besar bangunannya sudah rusak. Meski begitu, dia mengenali puing-puing itu sebagai bekas istana, benteng, kolam pemandian, saluran air, dan candi.
“Kita akan merenungkan betapa anehnya hukum kemajuan yang nampak seperti kemunduran karena di berbagai belahan dunia terjadi penghancuran ras yang memiliki nilai artistik dan arsitektur tinggi,” ujar Wallace.
Menurutnya, hanya sedikit orang Inggris yang memahami keindahan arsitektur Jawa. Peninggalan itu tak pernah digambarkan atau dilukiskan secara umum. “Sangat disayangkan karena peninggalan arsitektur Jawa melampaui yang ada di Amerika Tengah atau bahkan melampaui India,” pujinya.
Sementara itu, Wallace melihat masyarakat Jawa membangun rumahnya dari bambu dan rumbia. Masyarakat juga cenderung mengabaikan karya nenek moyangnya itu. Mereka justru melihatnya sebagai hasil perbuatan raksasa dan iblis.
“Saya merasa perlu untuk menarik perhatian orang terhadap karya seni yang mengagumkan ini. Terutama karena saya diliputi pemikiran tentang patung-patung yang jumlahnya tak terhitung ini, yang dikerjakan dengan kehalusan dan citarasa seni yang tinggi,” kata Wallace.
Dia pun sangat menyangkan pemerintah Belanda tidak melakukan langkah besar untuk menyelamatkan reruntuhan bangunan kuno itu dari kehancuran akibat tumbuhan tropis. Pemerintah Belanda juga tidak berpikir untuk mengumpulkan arca-arca yang masih dalam keadaan baik, tapi tersebar di penjuru negeri.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar