Biaro-Biaro Padang Lawas dan Kerajaan Panai di Sumatra Utara
Sungai-sungai mengalir di sekitar situs dan biaro di Padang Lawas. Menjadi bukti kemakmuran Kerajaan Panai di pedalaman Sumatra Utara.
Setidaknya 26 situs tersebar di Padang Lawas, Sumatra Utara. Di kawasan ini mengalir sungai-sungai, seperti Barumun, sungai induk yang mengalir dari arah barat laut ke tenggara kemudian berbelok ke utara. Lalu Batang Pane, anak Sungai Barumun, dan Sirumambe, anak Sungai Batang Pane, yang mengalir dari barat laut ke tenggara.
Di tepi-tepi sungai itu ditemukan situs dari masa Hindu dan Buddha. Mulai dari hulu tepi Sungai Batang Pane, yaitu Situs Gunung Tua, Si Topayan, Hayuara, Haloban, Rondaman, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Lalu di tepi Sungai Sirumambe, yaitu Situs Batu Gana, Aek Korsik, Lobu Dolok, Si Soldop, Padang Bujur, Nagasaribu, dan Mangaledang. Hingga ke tepi Sungai Barumun, yaitu Situs Pageran Bira, Porlak Dolok, Si Sangkilon, Si Joreng Belangah atau Tandihat 1, Tandihat 2, Longgong atau Tandihat 3 dan Si Pamutung.
"Tidak semua lokasi tersebut terdapat runtuhan bangunan, tetapi di beberapa situs ditemukan artefak seperti prasasti, arca, dan stambha," kata Sukawati Susetyo, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam diskusi via zoom berjudul "Percandian di Padang Lawas Potensi Budaya untuk Kemajuan Bangsa" yang diadakan Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh beberapa waktu lalu.
Baca juga: Misteri Kerajaan Panai di Sumatra Utara
Keberadaan candi-candi itu, atau disebut biaro oleh masyarakat setempat, sering kali dikaitkan dengan Kerajaan Panai, kerajaan yang disebutkan dalam sumber-sumber tertulis. Salah satu sumber yang bisa disesuaikan dengan kondisi percandian Padang Lawas sekarang adalah Prasasti Batugana. Pada prasasti yang ditemukan dekat Biaro Bahal 1 itu disebutkan kata Pannai, artinya daerah yang dialiri oleh sungai-sungai.
Kendati berada di pedalaman, keberadaan biaro-biaro dekat aliran sungai membuat akses ke wilayah ini tetap terbuka. Menurut C. Guillot, arkeolog asal Prancis, dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu, sudah lama diduga kalau Padang Lawas ada di tengah sebuah jalan yang menghubungkan kedua pantai Sumatra, di timur dan di barat.
Seribu Tahun Lalu
Kerajaan Panai disebut dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Rajendra I alias Rajendra Utama Chola yang berkuasa di India Selatan pada 1012–1040. Prasasti Tanjore yang dibuat tahun 1030/1031 dan berbahasa Tamil menyebutkan Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya pada 1023/1024.
Setelah Rajendracola I mengalahkan Sriwijaya, Panai pun jatuh ke tangannya. Dalam prasasti itu digambarkan Panai adalah kerajaan yang dialiri sungai-sungai.
Berita Tiongkok dari abad ke-9 menyebut nama Pu-ni atau Po-li. I-tsing yang lama tinggal di Sumatra mengatakan bahwa Po-li berlokasi di sebelah timur Barus ke arah pedalaman.
"Ini dikuatkan oleh Hsu Yun Ts’iao yang mengidentifikasikan Panai sebagai tinggalan Padang Lawas," kata Sukawati.
Pada abad ke-14 berita tentang kerajaan Panai juga dimuat dalam Nagarakretagama. Naskah ini ditulis Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit.
Baca juga: Melacak Jejak Kerajaan Panai di Tanah Batak
Kekuasaan yang membangun candi-candi di Padang Lawas kemungkinan besar sudah eksis sejak abad ke-11 atau 1.000 tahun lalu. Itu melihat pertanggalan pada Prasasti Batara Lokanantha, yakni tahun 1039.
"Ada temuan arca perunggu Lokanantha, di bagian lapiknya ada angka tahun 1039. Lalu juga angka tahun dalam Prasasti Tanjore 1031," kata Sukawati.
Salah satu candinya, Biaro Si Joreng Belanga (Tandihat 1) dibangun pada abad ke-12. Temuan prasasti batu di sana berangka tahun 1101 Saka atau sama dengan tahun 1179.
Lalu ada arca Ganesha di Situs Porlak Dolok dekat Sungai Barumun. Angka tahun pada arca ini diinterpretasikan dari abad ke-13 (1245/1213).
Dari temuan keramik di Padang Lawas menunjukkan situs-situs di sana mungkin dipakai sejak abad ke-9 hingga ke-14. Dari situs Nagasaribu misalnya, didapatkan keramik dari Dinasti Song, khususnya abad 9-12. Dari Biaro Sipamutung ditemukan keramik Mesir, Suriah abad ke-10-11, Dinasti Song abad ke-10-13, dan Dinasti Yuan dari abad ke-13-14. Begitu pula di Mangaledang, terdapat temuan keramik Dinasti Song dan Dinasti Yuan.
Penghubung Dua Pantai Sumatra
Guillot mengatakan, arkeolog R. Soekmono pernah mengamati sebagian batu candi di Padang Lawas dibawa dari pantai barat pulau Sumatra. Ketika beberapa candi dipugar, artefak yang ditemukan, yakni serpihan keramik dan kaca, persis sama dengan sebagian dari artefak yang ditemukan di Lobu Tua, Barus.
Karenanya paling lambat abad ke-11 Padang Lawas sudah berhubungan dengan pantai barat. Ini juga mengingat di situs Padang Lawas yang luas terdapat peninggalan yang sezaman dengan Barus, termasuk Candi Sipamutung dari abad ke-11.
"Dan cukup ramai orang yang melalui jalan ini sehingga lama-kelamaan tinggal benda-benda dan tempat ibadat saja yang membuktikan adanya suatu peradaban asing," kata Guillot.
Sementara itu, dari Padang Lawas pun mudah untuk menelusuri Sungai Pane yang bermuara di Sungai Barumun sebelum mencapai pantai timur Sumatra dan bermuara di Selat Malaka.
"Sudah lama diperkirakan bahwa Padang Lawas terletak di tengah sebuah jalan yang menghubungkan kedua pantai Sumatra," lanjut Guillot.
Letak Padang Lawas pun sangat strategis karena memiliki dua gerbang pelabuhan: Barus di barat dan Labuhan Bilik di timur.
Keram Kevonian dalam "Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia" yang terbit di Lobu Tua Sejarah Awal Barus, menyebut Kerajaan Paṇai menjadi penting karena memiliki komoditas utama yang diperebutkan di pasar internasional. Barang itu diperdagangkan di pelabuhan bertaraf internasional yang terletak di pantai barat, Barus, maupun di timur, Labuhan Bilik.
Menurut Lisda Meyanti dalam "Prasasti Panai: Kajian Ulang tentang Lokasi Kerajaan Panai", yang terbit di jurnal AMERTA, Vol. 37 No. 1, Juni 2019, kondisi itu memberi gambaran ramainya kawasan itu pada masanya. Kemungkinan pada masa lampau Padang Lawas lebih subur dibandingkan sekarang. Karenanya Kerajaan Panai sangat kaya akan hasil hutan, khususnya kapur barus dan ternak. Belum lagi hasil perut buminya seperti emas.
"Hanya masyarakat yang kaya dan makmurlah yang mampu membangun candi," tulis Lisda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar