Bertahan Hidup di Tanah Bencana
Liangan, desa yang hilang tertimbun lahar Gunung Sindoro, menyimpan kisah bagaimana masyarakat kuno hidup di tanah bencana.
Liangan, berjarak 8 km dari Puncak Sindoro. Menyimpan jejak peradaban yang tumbuh fase demi fase sejak abad ke-6. Namun, erupsi hebat Gunung Sindoro menguburnya pada abad ke-11.
Liangan merupakan kompleks permukiman di lereng timur laut Gunung Sindoro, tepatnya di Dusun Liyangan, Desa Purbasari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Situs arkeologi ini terdiri dari permukiman luas dan kompleks. Di dalamnya ditemukan hunian, peribadatan, dan pertanian.
Sugeng Riyanto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam “Situs Liangan: Ragam Data, Kronologi, dan Aspek Keruangan”, Berkala Arkeologi Vol. 35 Edisi No. 1 Mei 2015, menjelaskan erupsi Gunung Sindoro menyebabkan Situs Liangan terkubur oleh aliran piroklastik bercampur dengan awan panas dan aliran lava yang terus berlangsung itu kemudian disusul dengan aliran lahar dingin dan membentuk Kali Langit yang akhirnya memisahkan bangunan-bangunan di Situs Liangan yang awalnya satu kesatuan.
Baca juga: Permukiman Kuno di Proyek Tol Pandaan-Malang
Ketebalan material vulkanis hasil erupsi Sindoro akhirnya memendam Liangan hingga sedalam antara 7-10 m. Materialnya beragam, dari abu vulkanik, pasir, kerikil, kerakal, hingga bongkah-bongkah batu yang sangat besar.
Namun, apa yang terjadi di Liangan sepuluh abad lalu itu bisa dikatakan merupakan bencana tanpa korban jiwa. Pasalnya, tak ditemukan data yang bisa menunjukkan hal itu.
Berkaitan dengan Mataram Kuno
Situs Liangan atau versi masyarakat disebut Liyangan, oleh Sugeng Riyanto dalam “Situs Liangan dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno”, Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No. 2 November 2017, dikaitkan dengan Layang. Layang adalah daerah tingkat watak yang dikuasai oleh Raka i Layang Dyah Tlodhong.
Menurut Sugeng, kendati masih diperlukan kajian lebih mendalam, kata layangan dan liyangan sangat dekat. Ini pun menjadi pertimbangan untuk mengatakan bahwa Liyangan adalah Layang, daerah yang menjadi tempat asal Dyah Tlodhong.
“Jika itu benar, Situs Liangan merupakan daerah watak yang salah satu penguasanya, Dyah Tlodhong, menjadi raja Mataram menggantikan Pu Daksa,” catat Sugeng.
Baca juga: Raja-Raja di Singgasana Mataram Kuno
Pada masa Jawa Kuno dikenal tiga satuan wilayah pemerintahan. Ada wanua, watak, dan pusat kerajaan.
Wanua adalah satuan terkecil setingkat desa. Pemimpinnya disebut Rama.
Wanua-wanua mengumpul menjadi sebuah satuan wilayah yang disebut watak. Watak dipimpin oleh seorang Rakai.
Watak adalah sebuah wilayah otonom. Ia memiliki pemerintahan sendiri yang mengurus segala keperluan wanua-wanua di bawahnya. Di atas watak terdapat pusat kerajaan yang dipimpin oleh seorang Maharaja.
Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno
Setelah menjadi penguasa di watak Layang, Rakai Layang Dyah Tlodhong diangkat menjadi putra mahkota. Dyah Tlodhong naik takhta menggantikan Mpu Daksa yang merebut singgasana dari kekuasaan Balitung sekira 908 M. Ia selanjutnya menjadi raja Mataram dari 918/919 hingga 928.
Setelah ditinggalkan oleh Tlodhong yang menjadi raja Mataram, daerah Layang kemungkinan diperintah oleh kerabat Tlodhong. Daerah ini terus ada bahkan setelah Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan ke wilayah Jawa Timur pada 929 M.
Permukiman dan peradaban di Layang akhirnya berhenti setelah muntahan material letusan dahsyat Gunung Sindoro menguburnya. “Belum dapat dipastikan kejadiannya namun mestinya setelah pertengahan abad ke-11,” catat Sugeng.
Membaca Pertanda
Letusan itu dahsyat. Tapi, seperti ditulis Sugeng Riyanto dalam Situs Liyangan dan Sejarahnya, masyarakat Liangan kuno mampu menyingkir sebelum kejadian.
“Mereka rupanya dapat menebak dengan jitu melalui tanda-tanda yang diketahui secara turun-temurun, pengetahuan berdasarkan pengalaman selama ratusan tahun bermukim di lereng Sindoro,” catatnya.
Selama masyarakat Liangan menetap di lereng gunung itu tentunya telah terjadi beberapa kali letusan. Kendati tak besar, kejadian itu lalu diingat pertandanya hingga menjadi pengetahuan yang dimiliki masyarakat Liangan kuno.
Pengetahuan itu nantinya sangat bermanfaat terutama dalam membaca tanda-tanda menjelang letusan dahsyat, yang kemudian membuat mereka bisa menyelamatkan diri. Bukan hanya nyawa mereka, tetapi juga harta benda dan ternak.
“Itulah sebabnya selama diteliti, tak dijumpai adanya korban jiwa maupun hewan ternak, tak juga benda berharga di situs itu,” catat Sugeng.
Baca juga: Pertanda dari Gunung
Sementara itu, Baskoro Daru Tjahjono, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam diskusi daring yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta berjudul “Ketahanan Pangan pada Masa Jawa Kuna”, Rabu (10/3/2021), mengatakan orang Liangan sadar mereka tinggal di daerah rawan bencana, letusan gunung api, rawan longsor, banjir bandang, dan gempa bumi. Menyadari hal itu mereka pun menyiapkan diri melalui sistem ketahanan pangan yang baik.
Masyarakat Liangan diberkati alam yang subur karena berada di lereng gunung berapi yang aktif. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan mereka mengolah tanah untuk area pertanian.
Hasilnya melimpah. Tak habis dalam sehari. Mereka pun menyimpan hasil panen itu di dalam lumbung. Selain untuk menyimpan persediaan makanan, lumbung padi juga untuk persembahan upacara dari masyarakat.
Baca juga: Ketahanan Pangan Masyarakat Jawa Kuno
Menurut Baskoro, temuan lumbung padi di Situs Liangan mengindikasikan masyarakat Liangan pada masa Mataram Kuno telah mampu menjaga ketersediaan pangan dalam waktu yang cukup lama
“Ketahanan pangan ini penting untuk persediaan maupun untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi,” kata Baskoro.
Bagaimana pun Gunung Sindoro telah menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat untuk membangun hunian dan mendorong terbentuknya permukiman Liangan kuno. Namun pada akhirnya Gunung Sindoro pula yang menghentikan peradaban itu dengan muntahan laharnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar