Bertahan Hidup dengan Batu
Manusia awalnya bertahan hidup dengan alat batu dalam waktu yang sangat lama.
BUKTI linguistik menunjukkan telah terjadi ekspansi secara lambat oleh kelompok penutur Austronesia dari Formosa ke Kepulauan Nusantara sekira 4.000 tahun yang lalu. Mereka telah bercocok tanam. Gaya hidup berburu dan mengumpulkan makanan pun secara berangsur terkikis.
Secara umum, kebiasaan lama itu tak pernah hilang sama sekali pada era berikutnya. Para petani juga masih berburu dan mengumpulkan makanan. Karenanya, dalam beberapa milenium terakhir, teknologi dan tata ekonomi yang berbeda dapat berlangsung bersamaan di situs yang berdekatan bagaikan mosaik.
Kata Peter Bellwood, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, buktinya adalah Peralatan batu yang diserpih tetap digunakan di beberapa daerah oleh kelompok pemburu dan pengumpul makanan maupun mereka yang bercocok tanam hingga masa yang baru lalu.
“Tinggalan arkeologi yang berbeda harus dilihat secara sinkronis sebagai ciri budaya kawasan tertentu, tak harus ditafsirkan sebagai pencerminan tahap perkembangan teknologi dan ekonomi yang berurutan di seluruh wilayah kepulauan,” jelas dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University itu.
Baca juga:
Penggunaan alat batu yang terkesan masif dan sederhana sering dilekatkan dengan budaya Paleolitik. Di Indonesia salah satunya ditandai oleh temuan di Sungai Baksoka, Pacitan.
Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, menulis “Perkakas Paleolitik dari Das Ogan: Bukti Awal Kebudayaan di Wilayah Oku” dalam Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku. Katanya, alat-alat Paleolitik umumnya diperoleh melalui metode penyerpihan untuk membentuk tajaman pada kerakal sungai. Ada juga yang dengan melepaskan serpih berukuran besar dari sebuah batu inti.
"Di Kali Baksoka, yang kondang dengan sebutan alat Pacitanian misalnya, hampir seluruhnya (alat batu paleolitik -red) berada di hamparan sungai, bercampur dengan sisa fauna dari Stegodon sp, Elehas namadicus, gigi-gigi SImia, Echimosorex, Sumphalangus dan Hylobates," tulis Harry Widianto dalam Nafas Sangiran.
Pada 1983, Arkeolog R.P Soejono menyebutkan lewat “Temuan Baru Alat-Alat Paleolitik di Indonesia” dalam Pertemuan Arkeologi ke-III, bahwa pada masa Paleolitik di Nusantara ditandai dengan temuan yang dinamakan kapak perimbas. Ini menurutnya merupakan tipe dominan di kawasan ini. Ada pula alat jenis serpih bilah, serpih besar,dan kapak penetak. Pemakaian alat serpih kemudian menjadi lebih dominan pada masa berburu tingkat lanjut.
“Klasifikasi alat batu yang dilakukan hanya berdasarkan teknis, tidak menyangkut masalah fungsi. Untuk menentukan fungsi alat batu dari masa yang sangat lama adalah spekulatif,” katanya.
Lebih jauh, Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia berpendapat pemakaian istilah kapak perimbas, kapak genggam, serut, dan semacamnya justru mengacaukan bentuk dan fungsi alat. Kata dia, penamaan ini seolah membuat aktivitas manusia pada masa itu begitu spesifik.
“Dalam banyak kasus asumsi ini mungkin benar, tetapi masalahnya adalah umumnya tak mungkin membuktikan apakah asumsi itu benar atau salah,” kata Bellwood.
Ditambah lagi penamaan itu akan sangat membingungkan. Seorang peneliti akan menyebut suatu alat batu sebagai kapak penetak. Sementara menurut peneliti lainnya itu disebut serut.
Menurutnya penamaan berdasarkan teknik pun agak intuitif. Seiring berjalannya waktu definisi berdasarkan teknis terbukti tak tegas dan sering menimbulkan keraguan.
“Penelitian saya sendiri menunjukkan dengan jelas kepada saya bahwa yang disebut oleh salah seorang peneliti sebagai kapak penetak dari Kala Plestosen Tengah mungkin hanyalah limbah batu yang dibuang kurang dari 10.000 tahun lalu,” lanjut Bellwood.
Sejalan dengan itu, Ruly juga bilang ada percampuran antara tipe alat dari Paleolitik Bawah, atau masa yang lebih tua, dengan masa yang lebih lanjut (Paleolitik Tengah). Di Eropa dan Afrika, kedua fase tradisi budaya Paleolitik itu mudah dibedakan. Tapi tidak di Indonesia.
“Artefak dari kedua tradisi itu terkadang muncul dalam satu konteks, seperti yang ditemukan di Ngebung (Sangiran) dan Baksoko (Pacitan),” jelas dia.
Si Pembuat Alat
Alat-alat batu dari Ngebung, Ngandong, dan Pacitan kemudian menjadi penanda budaya tertua di Jawa. Industri peralatan itu dianggap mungkin milik Homo erectus. Kendati kalau menurut Bellwood, alat-alat batu itu tak pernah ditemukan bersama dengan fosil manusia.
Adapun soal Homo erectus, kata Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, dan Truman Simanjuntak, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Sumatra dan Problematikanya dalam Sejarah Migrasi Manusia ke Nusantara” termuat di Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku, fosil tertuanya di Nusantara ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, dari 1,5 juta-0,9 juta tahun yang lalu. Lalu yang cirinya lebih evolutif dari 0,9-0,25 juta tahun lalu. Fosilnya juga ditemukan di Sangiran. Selanjutnya tipe Homo erectus yang lebih progresif. Ia hidup sekira 150.000 tahun lalu. Fosilnya ditemukan di Situs Ngandong (Blora, Jawa Tengah), Sambungmacan (Sragen), dan Ngawi (Jawa Timur).
Baca juga:
Namun, kata Bellwood lagi, dengan mengakui erectus Jawa adalah pembuat alat, tak berarti kemampuan itu menyelamatkan mereka dari kepunahan. Alasannya, hominid lain yang lebih berkembang, seperti Neandertal yang juga mampu membuat alat batu, ternyata dianggap punah juga oleh banyak pakar modern.
“Situs yang mengandung alat batu amat sedikit, sementara kesenjangan dalam kronologi masih panjang. Masih banyak yang harus kita pelajari,” catatnya.
Industri peralatan batu dengan tipe yang lebih khusus bertarikh kurang dari 40.000 tahun yang lalu dianggap sebagai hasil karya manusia yang secara anatomis lebih modern. “Saya menyebut semua industri itu sebagai industri alat batu kerakal dan alat serpih,” kata Bellwood.
Kendati ada bentuk khas setempat, alat batu kerakal dan alat serpih di Asia Tenggara dan yang terus bertahan hingga Kala Holosen punya kesamaan.
Alat batunya cukup berat dan dibuat dengan menyerpih kerakal sungai, serpihan besar, atau bongkah batu inti yang ditambang. “Semua jenis ini biasanya disebut alat-alat batu kerakal,” kata dia.
Lalu ada alat-alat berukuran lebih kecil yang dibuat dari serpihan yang dipangkas dari suatu batuan inti atau dari pecahan batu yang berkuran relatif kecil.
Meski begitu alat dari kerakal batu yang hanya diasah tajamannya juga ada di beberapa situs. Ini seperti di Niah, Sarawak dan Kota Tampan di Malaysia.
Beranjak dari Batu
Selanjutnya budaya Preneolitik atau Mesolitik di Indonesia terpantau muncul di situs-situs daerah Jawa Timur dan Sulawesi. Budaya ini, kata Ruly, kemungkinan mulai muncul sejak awal Holosen hingga kedatangan budaya Neolitik sekira 4.000 tahun yang lalu. Indikasinya adalah penggunaan alat tulang.
“Sejumlah (alat, red) serpih pakai juga muncul, tetapi butuh studi khusus untuk mengonfirmasinya,” lanjut dia.
Industri alat batu kerakal dan alat serpih digantikan oleh himpunan tembikar menandai masuknya budaya Neolitik. Ini ditemukan di seberang Laut Sulawesi, di Gua Agop Atas, di Borneo utara. Pun di Ceruk Leang Tuwo Mane’e di Kepulauan Talaud ditemukan pecahan tembikar polos dan berpoles merah dari bejana bundar berdinding tipis dengan tepian melipat keluar. Mungkin temuan itu berasal dari 2.500 SM.
Selain keberadaan gerabah, Budaya Neolitik juga umumnya ditandai dengan kemunculan beliung persegi, sebagaimana yang terjadi di Gua Harimau, Sumatera Selatan. Di situs itu ditemukan pula gerabah dan calon beliung. Kedua temuan terakhir ini berasosiasi dengan kubur telentang.
“Dalam perspektif biologis, tradisi Neolitik selalu dikaitkan dengan diaspora penutur Austronesia 4.000 tahun lalu dan keberadaan ras Mongoloid yang menggantikan Australomelanesid di Nusantara,” jelas Ruly.
Agak tumpang tindih dengan masa sejarah, teknologi logam awal dimulai dengan pengenalan artefak dari tembaga, perunggu, dan besi. Teknologi pembuatan ketiganya nampak terjadi bersamaan. Artinya, seperti kata Bellwood, tak ada masa perunggu secara terpisah.
Menurut dia, zaman Logam Awal terjadi bersamaan dengan pengenalan teknologi baru dan barang dagangan ke Kepualau Indo-Malaysia dari sumber-sumbernya di Vietnam, India, dan Tiongkok.
“Hampir pasti semua unsur budaya baru itu diperoleh langsung dari sumber-sumbernya di daratan Asia Tenggara selama beberapa abad terakhir sebelum Masehi,” jelas Bellwood. “Saya akan mengambil 500 SM sebagai titik mula. Penelitian masa datang mungkin akan mendorong Tarikh ini lebih dekat ke 200 SM.”
Yang terkenal adalah budaya Dong Son dari Vietnam Utara. Bersama Muang Thai tengah dan timur laut, kawasan ini memiliki bukti paling awal tentang pembuatan perunggu di Asia Tenggara.
Contoh artefaknya adalah kapak corong. Corongnya adalah pangkal yang berongga untuk memasukkan pegangan.
Ada pula Nekara. Nekara yang penting dari Indonesia antara lain nekara Makalamau dari Pulau Sangeang dekat Sumbawa dan nekara dari Kai
“Himpunan tinggalan arkeologis Dong Son sangat penting karena benda logam paling awal di Kepulauan Nusantara umumnya bercorak Dong Son,” jelas dia.
Kalau dilihat dari hiasannya, nekara-nekara itu mungkin tak dibuat di Indonesia. Orang pada masa itu telah mengimpor barang, dalam hal ini nekara dari produsennya di Vietnam.
Akhirnya, seperti kata Bellwood, kedatangan penutur Austronesia membuka perubahan budaya yang besar di kawasan Nusantara. Mungkin memang ada variasi di kawasan tertentu dalam teknik pembuatan alat batu. Tapi itu merupakan kewajaran mengingat kurun waktu yang panjang dan kemampuan manusia modern untuk berkomunikasi dan berinovasi.
“Masa-masa yang mantab selama ribuan tahun sebelum adanya pertanian, mendekati akhirnya yang dramatis ketika terjadi ekspansi Austronesia,” jelas dia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar