Berpulangnya Mundardjito, Bapak Metodologi Arkeologi Indonesia
Seperti seorang detektif, Mundardjito menyibak teka-teki kehidupan manusia masa lampau. Tak segan menjewer pihak yang merusak situs arkeologi.
Mundardjito, arkeolog senior sekaligus mantan Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, wafat pada Jumat, 2 Juli 2021. Jenazah Prof. Otti, sapaan akrab Mundardjito, dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta, pada Sabtu, 3 Juli 2021.
Prof. Otti dikenal sebagai arkeolog yang teguh pendirian dengan pandangan keilmuan yang kuat dan guru yang memberi perhatian penuh pada muridnya. Dia mendedikasikan hampir 3/4 hidupnya untuk pengembangan dan pemanfaatan arkeologi bagi rakyat Indonesia.
“Pengaruh pemikiran beliau yang kuat dan kepribadiannya yang teguh. Kadang kami dijewer juga oleh beliau karena ada banyak langkah yang tidak sejalan dengan pandangan beliau,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan dalam acara daring Pemakaman Prof. Mundardjito, Sabtu, 3 Juli 2021.
Sementara itu, Win Djuwita Ramelan, mantan murid Mundardjito sekaligus Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), mengenang Prof. Otti sebagai guru yang mencintai murid-muridnya dan dicintai balik oleh murid-muridnya. “Seluruh Indonesia ini merasa kehilangan. Ya, murid-muridnya... Saya baru melihat guru yang seperti itu,” kata Win.
Prof. Otti lahir di Bogor pada 8 Oktober 1936. Sejak kecil, dia tertarik dengan tinggalan arkeologi seperti candi dan prasasti. Minatnya kian bertambah ketika dia bertemu dengan seorang guru dari Jakarta yang juga seorang arkeolog. Setelah lulus SMA, Prof. Otti masuk ke jurusan arkeologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1956.
Selama kuliah arkeologi, dia merasakan keasyikan dengan dunianya. Arkeologi memberikannya pengalaman seolah-olah menjadi detektif. Karena itulah dia bulat memutuskan hidup untuk mengabdi di dunia arkeologi.
Selepas lulus pada 1963, Prof. Otti mulai mengajar di almamaternya. Dia kemudian melanjutkan pendidikan non-gelar kajian metodologi arkeologi di Universitas Athena, Yunani pada 1969–1972. Dia kembali menjajaki pendidikan non-gelar kajian teori arkeologi di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 1978–1979.
Dari dua tempat itu, Prof. Otti mendapatkan banyak cara pandang dan metodologi baru terkait arkeologi. Antara lain tentang pelestarian tinggalan arkeologi, metode penggalian (ekskavasi) situs arkeologis, dan pemanfaatan ilmu lain untuk membantu arkeologi.
Meski kenyang mempelajari metodologi dan teori, Prof. Otti sangat menekankan pentingnya pemberian praktik penelitian lapangan untuk para mahasiswa arkeologi. Tapi praktik ini justru sangat jarang diterapkan di Indonesia. Karena itu, dia menyusun mata kuliah kerja lapangan untuk mahasiswa arkeologi. Bentuknya penggalian situs-situs (ekskavasi) arkeologis.
“Kuliah kerja lapangan di situs arkeologi yang dilakukan setiap tahun mempunyai fungsi ganda, baik untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, meningkatkan keterampilan, menajamkan pancaindera, dan membina kerja sama maupun untuk mengamankan secara nyata situs dan tinggalan arkeologi sebagai bagian dari pelaksanaan pengabdian masyarakat,” terang Mundardjito dalam Tantangan Arkeologi Indonesia dalam Pembangunan Nasional, pidato ilmiah pada Dies Natalis ke-53 FS-UI tahun 1993.
Untuk mendukung tujuan itu tercapai, di luar kuliah pun Prof. Otti sering mengajak mahasiswanya untuk ikut proyek penelitian lapangan. Dari sinilah para mahasiswa juga merasakan atmosfer pekerjaan sebagai seorang arkeolog. Keakraban antara guru dan muridnya juga jadi lebih erat.
Baca juga: Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan
Melalui perkuliahan dan proyek penelitian lapangan itu pula, Prof. Otti menanamkan nilai-nilai etika dan etos kerja yang harus dimiliki seorang arkeolog. “Yang mengenal tanggung jawab terhadap ilmunya, menjunjung tinggi dan menjaga integritas keilmuannya, berpegang teuh pada asas ilmiah dan hakikat kebenaran,” sebutnya dalam “Impian Gunung Padang: Arkeolog dan Tanggung Jawabnya” termuat dalam Membangun di Atas Puing Integritas.
Prof. Otti juga kerap menerangkan bahwa penelitian arkeologi memerlukan waktu panjang. Penggalian tanah di situsnya saja membutuhkan kehati-hatian meskipun tanah yang digali cuma satu cetok. Sebab di dalam satu cetok itu tersimpan berbagai lapisan budaya manusia pada masa lampau.
“Itulah sebabnya setiap arkeolog harus mengamati setiap temuan dan perubahan struktur tanah serta merekamnya secara rinci,” terang Prof. Otti.
Karena itulah, Prof. Otti meminta para mahasiswanya untuk bersabar ketika melakukan ekskavasi. Dan baginya, di situlah keunikan arkeologi.
“Proses penelitian bisa menghabiskan waktu yang panjang karena ilmu arkeologi itu tak ubahnya seperti laku seorang detektif yang hanya menemukan sisa-sisa saja. Sisa-sisa kegiatan manusia lalu itulah yang menjadi bagian dari teka-teki yang ingin dipecahkan,” terang Prof Otti.
Baca juga: MC Ricklefs yang Tak Sempat Saya Temui
Berbekal nilai-nilai itu, Prof. Otti bisa sangat marah kepada siapa saja yang sembrono melakukan perusakan pada situs dan benda arkeologis. Dia juga tak segan mengkritik cara-cara yang salah dalam memperlakukan situs dan benda arkeologis. Ini misalnya terjadi saat rencana pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) pada 2008 dan penggalian situs Gunung Padang pada 2012. Dua kegiatan ini disponsori oleh pemerintah.
Menurut Prof. Otti, pembangunan PIM telah merusak struktur situs Trowulan. Prof. Otti menyebut orang-orang yang terlibat dalam kegiatan itu sebagai “tak berwawasan pelestarian”. Dia harus berhadapan sendirian dengan Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ketika itu. Sebab koleganya di kampus justru tak banyak membantunya.
Prof. Otti justru mendapat dukungan dari Inajati Adrisijanti, Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Setelah membuat petisi keberatan terhadap program itu, dia kemudian mendapat dukungan luas.
Hal hampir serupa terjadi pula pada penggalian situs Gunung Padang. Dia menyebut langkah tim penggalian itu “tanpa rancangan penelitian yang memadai”. Tim tersebut percaya situs itu merupakan piramida. Tapi bagi Prof. Otti, keyakinan itu tak berdasar. Malah cenderung berbau klenik. Sebab keyakinan itu berdasar wangsit dari leluhur yang berkembang luas di kalangan pecinta sejarah dalam Yayasan Turangga Seta.
Meski Prof. Otti mengkritik keras keyakinan Yayasan Turangga Seta, itu bukan berarti mengabaikan semangat publik non-arkeologi untuk menggali peninggalan budayanya. Dia bahkan sangat mendukung partisipasi publik dalam penelitian arkeologi sejak lama.
Dalam pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Tetap pada 7 Oktober 1995 yang berjudul “Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya”, Prof. Otti telah berbicara tentang peran masyarakat dalam pelestarian situs dan benda arkeologis.
Tanpa partisipasi masyarakat, perusakan terhadap situs dan benda arkeologis sulit dicegah. Jika perusakan itu terus terjadi, “dapat menyebabkan gagalnya kita dalam upaya memahami jati diri dan dinamika sosial budaya bangsa,” katanya.
Karena itu, Prof. Otti sering dianggap sebagai pelopor pengembangan arkeologi publik, sebuah cabang arkeologi yang mengkaji partisipasi masyarakat dalam arkeologi.
Tapi Prof. Otti juga memperingatkan bahwa menggali situs arkeologis bukan seperti mencari harta karun. “Pencapaian penelitian arkeologi bukan hanya pada hasil temuannya tetapi pada prosedur ilmiah baku yang dapat dipertanggungjawabkan,” urai Prof. Otti dalam “Impian Gunung Padang: Arkeolog dan Tanggung Jawabnya”.
Prof. Otti memegang teguh kredo itu hingga akhir hayatnya.
Baca juga: Sediono Tjondronegoro, Profesornya Kaum Tani
Tambahkan komentar
Belum ada komentar