Batavia Kota Budak
Sistem perbudakan mengawali hadirnya para kolonialis dari Belanda.
Jalan Sultan Agung yang memanjang di depan Pasar Rumput itu dikenal sebagai salah satu titik kemacetan Jakarta. Selain sempitnya ruas, deretan para pedagang kaki lima yang tidak mengindahkan aturan menjadikan arus lalu lintas tersendat. “Terutama kalau di waktu pagi dan sore, wah macetnya enggak ketulungan dah,” ujar Zaini (54), salah satu warga Jakarta yang tinggal di wilayah Manggarai.
Tak banyak yang tahu jika nama lama Jalan Sultan Agung adalah Jan Pieterzoon Coenstraat (Jalan Jan Pieterzoon Coen). Itu nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkemuka yang dalam sejarah merupakan musuh bebuyutan dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja legendaris Kesultanan Mataram Islam. Menurut Alwi Shahab, nama Jan Pieterzoon Coen dihapus saat militer Jepang berkuasa di Indonesia. Sebagai gantinya maka Jan Pieterzoon Coenstraat diganti menjadi Jalan Sultan Agung.
“Kalau enggak salah itu terjadi pada 1943,” ujar penulis sejarah Jakarta itu kepada Historia.
Pada tahun 1800-an, kawasan tersebut pernah dijadikan pusat penjualan budak di Batavia. Bahkan kata “manggarai” sendiri, kata Alwi, sejatinya mengacu kepada asal mayoritas para budak belian yang didatangkan Belanda dari Manggarai di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kisah perdagangan budak di Batavia sendiri bermula pada saat Coen berhasil menaklukan Jayakarta pada 1619. Ketika pasukan Coen masuk, situasi Jayakarta (kemudian diberi nama Batavia) ada dalam kondisi nyaris tanpa penduduk. Itu disebabkan orang-orang Jawa dan Sunda yang tadinya menetap di Jayakarta menghindar ke pelosok di selatan Jakarta yakni Jatinegara Kaum.
“Sedangkan untuk membangun Batavia pasca penaklukan, orang-orang Belanda itu memerlukan tenaga kerja,” tulis Alwi Shahab dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi.
Demi memenuhi keteresedian tenaga kerja, maka orang-orang Belanda mendatangkan para tawanan perang dari berbagai tempat seperti Manggarai, Bali, Bugis, Arakan, Makassar, Bima, Benggala, Malabar dan Kepulauan Koromandel (India). Mereka dipekerjakan dalam berbagai proyek pembuatan benteng, loji, jalan dan rumah-rumah para pejabat kompeni.
Dari tahun ke tahun, perdagangan budak di Batavia semakin marak. Selain untuk memenuhi tenaga kerja, budak-budak perempuan pun kemudian didatangkan guna memenuhi nafsu syahwat kaum laki-laki kolonial dan mitra bisnis mereka. “Lelaki di Batavia (Belanda, Tinghoa, Melayu dan Arab) “membutuhkan” budak untuk kawin, sebab wanita Belanda, Tionghoa dan Arab asli hampir tidak ada,” tulis Adolof Heuken SJ dalam Historical Sites of Jakarta.
Awalnya harga budak ditentukan oleh usia dan tenaga saja. Namun pada abad ke-18, harga jual seorang perempuan muda harganya dua sampai tiga kali lipat harga seorang budak lelaki. Menurut Heuken, itu terjadi karena pada saat itu permintaan akan budak perempuan (terutama dari kalangan pebisnis Tionghoa) sangat tinggi sekali. Mereka memerlukan para budak perempuan itu, selain untuk memuaskan kebutuhan biologisnya juga untuk mengatur rumah tangga. Berbeda dengan orang-orang Tionghoa yang tidak pilih-pilih, orang-orang Eropa menjadikan budak-budak perempuan dari Nias dan Bali sebagai favorit.
Sebagai bukti, seorang gadis Nias yang cantik dan sehat dihargai sekira seribu dollar, demikian menurut J.Barrow, anggota misi diplomatik Inggris untuk Tiongkok yang sempat mampir di Batavia pada 1792.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Parra (1761-1775), hampir setiap tahun didatangkan kurang lebih 4000 budak. Selanjutnya, kepemilikan akan budak di kalangan orang-orang Belanda menjadi gengsi tersendiri dan merupakan tolak ukur kejayaan dan kemakmuran. Orang kaya seperti van Riemsdijk (1782), di rumahnya yang ada di Batavia saja, memiliki 200 budak yang jika ditotalkan seluruhnya maka akan seharga dengan uang 33.000 rijksdaalder.
“Kehidupan para budak seringkali sangat berat: mereka disiksa dengan kejam jika bersalah, walau kesalahan itu tak seberapa…” ungkap Heuken.
Hingga tahun 1814, ada 14.239 manusia berstatus sebagai budak di Batavia. Baru empat puluh enam tahun kemudian, secara resmi perbudakan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, dalam kenyataannya penangkapan dan penjualan orang terus berlanjut di pedalaman-pedalaman Nusantara hingga akhir abad ke-19. Itu terutama dilakukan oleh orang Arab dari Ende, orang Tidore dan orang Bali.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar