Bali Sebelum Dikuasai Majapahit
Para raja silih berganti memerintah di Bali. Ada yang disegani, ada pula yang membawa kehancuran.
Sebelum balatentara Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada datang, Bali telah diperintah oleh banyak raja. Mereka silih berganti memberi pengaruh yang kuat. Banyak perubahan yang dibawa oleh mereka, termasuk sistem pemerintahan yang sebelumnya tidak dikenal oleh rakyat Bali.
Dinasti Marwadewa menjadi penguasa paling termasyhur di Bali. Keturunannya mampu mempertahankan kekuasaan selama lebih dari satu abad, hampir tanpa konflik internal. Tetapi jauh sebelum dinasti itu berkuasa, Bali telah membangun bentuk kenegaraan di bawah pimpinan Singha Mandawa.
Singa Mandawa adalah sebuah kerajaan yang ada di wilayah Panglapuan. Pada eranya, seluruh rakyat Bali menyatakan tunduk dan menghamba. Walau kekuasaannya tidak terlalu lama, yakni hanya 60 tahun, tetapi pengaruhnya cukup besar.
Prasasti Dinaya di Jawa Timur dan Prasasti Canggal di Jawa Tengah yang dibuat pada pertengahan abad ke-8 menceritkan asal-usul kerajaan Singha Mandawa itu. Dikisahkan ada seorang utusan dari Sriwijaya yang datang ke Jawa. Mereka dikenal sebagai masyarakat Gaja Yana, karena dalam prasasti tidak disebutkan nama kerajaannya, dan tinggal di wilayah Jawa Timur.
“Ada pendapat yang mengatakan bahwa nama raja-raja yang ada dalam Prasasti Dinaya merupakan keluarga Raja Sanjaya yang diperintahkan datang ke Jawa Timur atas desakan Kerajaan Sriwijaya dari Dinasti Sailendra,” tulis Narendra Pandit Shastri dalam Sejarah Bali Dwipa.
Baca juga: Upaya Memajapahitkan Bali
Mereka cukup lama membangun kekuasaan di timur Jawa. Namun setelah pertengahan abad ke-8, tidak ada lagi prasasti yang menjelaskan mengenai kerajaan tersebut. Narendra Pandit Shastri, seorang terpelajar dari India yang memperdalam kebudayaan Bali, meyakini keadaan itu terjadi akibat masyarakat Gaja Yana diserang oleh kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayah kekuasaannya. Mereka kemudian memilih pergi menyelamatkan diri ke sebuah pulau di sebelah timur, yang sekarang dikenal sebagai Bali.
Keberadaan Gaja Yana di Bali diperkuat dengan adanya tokoh bernama Gaja Wahana pada naskah Usana Bali. Dalam Babad Usana Bali Paulina: Singamandawa-Bedahulu-Gelgel yang ditulis I Nyoman Kanduk Supatra, Gaja Wahana digambarkan sebagai seorang raja yang baik, perhatian, serta benar-benar mencintai rakyatnya.
Bila diperhatikan, kata Wahana memiliki arti yang sama dengan Yana, yakni “kendaraan”. Sehingga jelas bahwa kedua nama itu menunjuk pada satu tokoh yang sama. Kemudian di Bali berdiri sebuah pemerintahan, “Singha Mandawa”, yang namanya diambil bukan dari bahasa Bali Kuno, melainkan Sanskerta.
“Mungkin sekali nama itu diambil dari nama Dewa Singha, ayah Raja Gaja Yana. Lain dari pada itu, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Singha Mandawa sama sifatnya dengan prasasti-prasasti Dinaya,” tulis Narendra.
Dari hasil penelitian, ada tujuh prasasti yang pernah dikeluarkan Kerajaan Singha Mandawa. Seluruhnya ditulis antara tahun 882 hingga 914. Di antara tujuh prasasti itu tidak memuat nama raja atau pejabat yang mengeluarkannya sehingga agak sulit menentukan siapa raja termasyhur pada masa tersebut.
Prasasti-prasasti itu lebih banyak menceritakan perhatian kerajaan terhadap kehidupan spiritual dan kesejahteraan masyarakat Bali. Seperti pembangunan tempat-tempat ibadah dan tempat tinggal para brahmana. Atau penghapusan pajak untuk beberapa kelompok masyarakat.
Namun sayang tidak disebutkan letak pusat pemerintahannya. Hanya disebutkan bahwa wilayah Singha Mandawa meliputi Bali utara hingga ke Bangli dan Tampaksiring.
Setelah berkuasa cukup lama di Bali, pemerintahan Singha Mandawa pun digantikan oleh kekuasaan Dinasti Warmadewa. Runtuhnya Kerajaan Singha Mandawa tidak dijelaskan dalam prasasti manapun. Namun ada sebuah pilar batu yang menyebut seorang tokoh bernama Kesari Warmadewa. Dia digambarkan sebagai seorang raja yang berkuasa atas raja lain setelah berhasil menaklukkan banyak wilayah. Sehingga besar kemungkinan wilayah Singha Mandawa berhasil ditaklukkan oleh Kesari Warmadewa.
“Raja-raja dari dinasti ini berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad. Kesari Warmadewa sendiri berhasil menaklukkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Suwal,” tulis I Wayan Ardika, dkk. dalam Sejarah Bali: Dari Prasejarah Hingga Modern.
Lokasi Gurun dan Suwal sendiri belum diketahui hingga sekarang. Namun dari catatan-catatan yang ada, para ahli menyimpulkan bahwa Gurun menunjuk pada Pulau Lombok, sementara Suwal merupakan nama Bali pada masa itu.
Dinasti Warmadewa diyakini berasal dari Kerajaan Sriwijaya, yang diutus oleh rajanya untuk menaklukkan wilayah Jawa. Nama “Warmadewa” sendiri sering dipakai raja-raja di Sriwijaya, misal Mauli Bhusana Warmadewa, atau Senggrama Wijaya Tungga Warmadewa.
Perlu diingat bahwa pada masa itu ada dua kerajaan besar yang bersaing menyebarkan pengaruhnya di seluruh Nusantara, yaitu Sriwijaya dan Wangsa Sanjaya. Kerajaan Sriwijaya lebih unggul dari pesaingnya karena telah berhasil menguasai Kalimantan, Sumatra, Jawa bagian barat, bahkan hingga ke luar wilayah Indonesia sekarang. Sehingga tidak heran jika pengaruh Sriwijaya disebutkan sampai di Pulau Bali dan sekitarnya.
Keberadaan Kesari Warmadewa sebenarnya serupa dengan Gaja Yana yang menjadi leluhur Kerajaan Singha Mandawa. Keduanya sama-sama utusan raja Sriwijaya. Keturunan Gaja Yana yang mendirikan pemerintahan di Bali dianggap telah keluar dari kekuasaan Sriwijaya sehingga kerajaan besar Sumatra itu pun menaklukannya.
Kesari Warmadewa berhasil mendirikan pemerintahan baru di Bali. Dia pun dinobatkan sebagai pendiri sekaligus raja pertama Dinasti Warmadewa, dengan gelar Raja Sri Wira Kesari Warmadewa. Raja Kesari Warmadewa dikenal sebagai raja yang bijaksana dan cerdas. Dia mampu membangun kerajaan yang stabil di lereng Gunung Agung, di sekitar desa Besakih sekarang ini.
Raja termasyhur lainnya dari Dinasti Warmadewa adalah Sri Udayana. Dia memerintah pada 989, dengan gelar Sri Dharma Udayana. Pada masanya, Kerajaan Warmadewa sangat dicintai oleh rakyat. Kerajaan menerapkan nilai pajak yang rendah untuk semua orang. Kesejahteraan pangan pun sangat diperhatikan.
Sri Udayana dikaruniai tiga orang putra, yakni Airlangga, Marakata, dan Walaprabu alias Anak Wungsu. Putra pertamanya, Airlangga, dijodohkan dengan putri Sri Darmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang, Diah Kili Suci. Namun saat acara pernikahan berlangsung, terjadi kerusuhan di Medang. Raja tewas dalam kejadian itu, sementara Airlangga dapat melarikan diri dan mendirikan kerajaan Kahuripan. Dia pun dikaruniai dua putra, Sri Jayasabha dan Sri Jayabaya, yang masing-masing ingin menjadi raja.
“Karena ditakutkan ada perselisihan akhirnya diusulkan salah satu di antara keduanya akan menjadi raja Bali. Namun ditolak karena Bali telah memiliki calon raja, yakni Anak Wungsu,” tulis Tjokorda Raka Putra dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan.
Pada masa pemerintahan Sri Jaya Kesunu, keturunan Anak Wungsu, Bali mengalami kehancuran. Sang raja membiarkan negara hancur karena dia takut dengan mitos di kerajaannya yang menyebut bahwa siapapun yang berkuasa pasti berumur pendek dan tidak akan bahagia. Dia pun memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan bertapa dan melupakan urusan pemerintahan.
Akibatnya banyak bangunan suci yang rusak, dan tidak ada perhatian dari pemerintah untuk kegiatan-kegiatan keagamaan yang sebelumnya telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Bahkan kejahatan pun dibiarkan terjadi. Kehancuran kerajaan Warmadewa pun tampak semakin nyata.
“Tidak ada kesujudan manusia pada Dewata, tidak ada tapa-brata, tidak berlaku tata tertib, dan tidak ada niat untuk mewujudkan kebaikan,” tulis Tjokorda Raka Putra.
Sri Jaya Kesunu kemudian digantikan putranya, Sri Jaya Pangus. Raja baru ini berhasil menjalankan kembali upacara-upacara yang sebelumnya ditinggalkan. Pemerintahannya mampu membawa keamanan di Bali. Sri Jaya Pangus memindahkan pusat kerajaannya dari Gunung Agung ke Bedahulu Gianyar.
Pada 1286, Bali diserang oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Bali yang diperintah raja putri Adhi Dewalancana mengalami kekalahan dan sang raja dibawa ke Jawa. Untuk mengisi kekosongan, diangkatlah Kryan Demung dari Singhasari.
Baca juga: Majapahit Menaklukkan Bali
Memasuki tahun 1324, pemerintahan raja dari Singasari berakhir setelah kerajaan itu mengalami keruntuhan. Pemerintahan di Bali pun diambil alih oleh Sri Walajaya Kertaningrat. Setelah wafat, singgasana Bali diberikan kepada Sri Asta Sura Bhumi Banten pada 1337.
Walau singkat, pemerintahan Sri Asta Sura Bhumi Banten dianggap sebagai raja terkuat di Bali. Ia didampingi dua orang patih yang terkemuka, yakni Ki Pasung Gerigis dan Ki Kebo Iwa. Saat Majapahit menyerang, keduanyalah yang membuat pasukan besar dari Jawa itu kerepotan.
Setelah Sri Asta Sura Bhumi Banten dikalahkan oleh pasukan Gajah Mada, kekuasaan di Bali diambil alih oleh keturunan Majapahit, dan dikenal sebagai kerajaan Bali Baru.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar