Antara Pujangga Mengabdi dan Melawan
Sikap pujangga terlihat dari karya sastra yang dihasilkannya. Ada yang mengabdi kekuasaan, ada yang melawan penjajahan.
SIKAP para pujangga terhadap pemerintah kolonial terlihat dalam karya sastra yang dihasilkannya. Misalnya, naskah Hikayat Mareskalek karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri, keturunan Arab yang mengagungkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels.
Dalam Hikayat Mareskalek, Jawa digambarkan tengah mengalami kemunduran dan degradasi moral. Segala maksiat tumbuh di Jawa. Sementara kedatangan Daendels dimunculkan selayaknya mesias. Dia dan bangsa kulit putih (Belanda) adalah pembawa cahaya bagi penduduk Jawa.
“Naskah semacam ini bisa muncul mengingat posisi Abdullah bukanlah bumiputra. Dalam stratifikasi sosial saat itu, posisinya ada di kelas menengah. Bahasa-bahasa yang digunakan lebih memilih menguntungkan yang di atas, daripada yang di bawah, yang di atas adalah para patron Hindia Belanda,” kata Sudibyo, dosen sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi yang diselenggarakan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (29/3).
Sebaliknya, sikap perlawanan terhadap kolonialis terbaca jelas dalam Syair Perang Mengkasar. Naskah itu mengangkat perang besar antara Kerajaan Goa dengan VOC. Penulis syair, Enci Amin merupakan juru tulis Sultan Hasanuddin, raja Goa. Karena berpihak pada Goa, dia pun menciptakan gelar yang menghina lawan. Misalnya, dia menyebut Belanda dengan “Welanda Iblis, si la’nat Allah, Welanda kafir yang bain.”
“Sehingga peperangan yang dilakukan Goa terhadap Belanda dapat dianggap sebagai suatu kewajiban teologis,” kata Sudibyo.
Ada pula pujangga yang bersifat abu-abu. Misalnya Syair Kompeni Walanda Berperang dengan Cina. Secara garis besar alur ceritanya sejajar dengan narasi sejarah pembataian etnis Tionghoa di Batavia pada 1740. Peristiwa ini menimbulkan perlawanan terhadap VOC di beberapa kota di Pantura.
“Prajurit VOC tawanan Istana Kartasura dipaksa mengucap kalimat syahadat, disunat, dipaksa mengenakan pakaian ala Jawa, dan dijadikan pegawai istana Kartasura,” jelas Sudibyo.
Di sisi lain, dalam naskah itu juga muncul stereotipe dan makian kepada masyarakat Tionghoa, seperti "Cina keparat salah hati, gila keparat, Cina celaka, si kutuk laknat anjing celaka, dan Cina durhaka". Stereotipe juga ditujukan kepada Madura dan Bali. Orang Bali disebut dengan "babi alas, macan alas". Dalam surat kepada Pangeran Madura, Himop (Van Imhoff, gubernur jenderal VOC) menyebut Pangeran Madura dengan sebutan "Madura Busuk Hati, binatang alas babi hutan, dan babi hutan anak asu". Pangeran Madura, juga memaki utusan Himop dengan sebutan "alperes anjing welandi".
"Saya melihat sosok ini (penulis Syair Kompeni Walanda Berperang dengan Cina) mengambil posisi tak jelas, abu-abu supaya ke sana selamat ke sini selamat. Karena dia anonim tidak bisa diidentifikasi, tahun terbit juga sama sekali tidak diketahui. Tradisi sastra lama memang begitu,” kata Sudibyo.
Menurut Sudibyo naskah sastra yang dikeluarkan pujangga luar istana biasanya cenderung lebih jujur. Bahasanya jauh lebih ekspresif. Penulis bisa lebih bersuara bebas. Naskah-naskahnya bisa dianggap menggambarkan pemikiran masyarakat kala itu. Namun, kata Sudibyo, hal itu harus juga memperkirakan kapan naskah diciptakan. Jika ditulis sezaman dengan peristiwa sebenarnya, maka validitasnya masih bisa diterima. Seperti Hikayat Mareskalek yang ditulis pada pertengahan abad 19, hampir sezaman dengan Daendels di Hindia Belanda (1808-1811).
“Ingatan orang pada masa itu masih tajam,” kata Sudibyo. “Namun, kalau jarak waktunya panjang, itu sudah berjarak, jarak itu kemudian diisi fiksi dan imajinasi.”
Sebaliknya, naskah yang berasal dari dalam tembok keraton berbahasa lebih santun. Pujangga istana sangat terikat oleh sikap politik tuannya. “Filter karya biasanya lewat kesetiaan pujangga pada tuannya. Para pujangga istana tahu apa yang menyenangkan raja, dan apa yang tak disukai,” kata Sudibyo.
Beberapa pujangga keraton juga sering mengambil inspirasi dari budaya kolonial. Seperti dalam Serat Baratayudha dari Pakualaman. Penciptanya membuat tampilan ilustrasi naskah dengan mengawinkan budaya Jawa dan Belanda. Misalnya, dalam penggambaran adegan perang, di sana ditampilkan bendera triwarna, merah-putih-biru; dan bendera gula kelapa, merah dan putih yang menjadi bendera Keraton Yogyakarta.
Ada pula penggambaran jamuan makan ala Belanda, Rijsttafel. Di atas meja makan terdapat nama-nama Kurawa dan Pandawa. Namun, jenis hidangan yang disajikan merupakan hidangan Eropa lengkap dengan susunan sendok, garpu, dan pisau.
“Ini adalah persentuhan kolonial dengan local genius yang ada dalam keraton Nusantara. Jadi, dalam bidang naskah para pujangga kita terutama yang bergerak di bidang artistik sudah sedemikian rupa memanfaatkan unsur asing dalam iluminasi yang dibuatnya,” kata Sudibyo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar