Angin Muson, Mesin Perkembangan Budaya
Angin muson berpengaruh pada perdagangan maritim hingga pertukaran pengetahuan dan budaya.
Angin muson memungkinkan budaya dan pengetahuan berpindah tempat. Tanpa angin ini pertukaran budaya dan perdagangan maritim di Nusantara sulit terjadi.
“Mesin dari perkembangan budaya itu sebetulnya angin muson,” kata Iwan Pranoto, profesor pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, dalam diskusi daring Jaya Suprana Show, berjudul “Mengintip Matematika Sriwijaya-Nalanda”, Selasa (8/12/2020).
Secara geografis, wilayah Asia Tenggara merupakan kawasan strategis. Letaknya di pertemuan dua lautan, Samudra Indonesia dan Pasifik. Wilayahnya berada di tengah rute pelayaran India dan Tiongkok. Faktor ini membuat perannya penting dalam sejarah hubungan perdagangan maritim antara Tiongkok dan India.
“Kalau Tiongkok menggunakan narasi jalur sutra, kemudian Indonesia menawarkan jalur rempah, yang fundamental sebenarnya angin muson itu,” lanjut Iwan.
Singgih Tri Sulistiyono, sejarawan Universitas Diponegoro, menjelaskan soal angin muson dalam tulisannya, “Peran Masyarakat Nusantara dalam Konstruksi Kawasan Asia Tenggara sebagai Poros Maritim Dunia pada Periode Pramodern” yang terbit di Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5, No. 1, April 2020.
Menurut Singgih, angin muson memungkinkan orang-orang yang menghuni wilayah itu mengambil bagian penting dari pelayaran dan perdagangan maritim internasional. Perubahan arah angin muson sangat bisa diprediksi. Perubahan arahnya terjadi secara periodik dalam setiap tahun.
Karenanya, perubahan angin muson dijadikan patokan para petani dalam menanam produk pertanian dan perkebunan. Pun oleh para pelaut dalam pelayaran, perdagangan maritim, dan kepentingan migrasi.
Selama musim kemarau, sekira April sampai Oktober, angin muson bergerak dari timur dan tenggara menuju ke barat. Kecepatan tertinggi terjadi pada Agustus.
Di bagian selatan Asia Tenggara atau di tengah kepulauan Indonesia, khususnya di kawasan Laut Jawa, transisi dari musim hujan (muson barat) ke musim kemarau (muson timur) dimulai lebih awal, yaitu pada Maret dan April. Selama pancaroba ini arah angin sering berubah-ubah.
Baca juga: Di Pusaran Angin Musim Barat
Lalu pada Oktober, arah angin mulai berubah hingga November. Pada Desember, angin barat mulai bergerak ke arah yang konstan. Kecepatan tertingginya terjadi pada Januari dan Februari.
Dalam pelayaran dan perdagangan maritim pergerakan angin muson sangat menentukan. “Aktivitas pelayaran dan perdagangan secara reguler diuntungkan dari perubahan periodik yang disebabkan oleh angin muson ini,” tulis Singgih.
Bertukar Ilmu dan Budaya
Lokasi geografis Asia Tenggara yang sangat strategis, tak cuma berkaitan dengan ekonomi, tapi juga politik dan budaya. “Posisi geografis yang strategis ini telah menempatkan Asia Tenggara sebagai pintu masuk vital dalam hubungan kuno pusat ekonomi, politik dan budaya antara India dan Cina,” catat Singgih.
Misalnya, jalur perdagangan yang mengikutsertakan Selat Malaka dan Samudera Hindia seringkali dihubungkan dengan kemunculan kekuatan politik Melayu dan Sriwijaya. Sebagaimana pendapat sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, pelayaran yang berdasarkan angin musim inilah yang mengakibatkan lahirnya bandar-bandar perdagangan.
Posisi Swarnadwipa (Sumatra) pada era Sriwijaya berjaya, sekira abad ke-7 sampai ke-12, merupakan titik yang strategis dalam pelayaran dunia. Titik temu antarnegara inilah kemudian yang membuat Sumatra menjadi tempat singgah para pelayar dari berbagai negara.
Baca juga: Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok
Para pelayar yang melakukan perjalanan dengan rute Tiongkok-India biasanya akan singgah di Sumatra. Minimal mereka menghabiskan waktu setengah tahun. Mereka mengikuti musim angin yang berganti enam bulan sekali.
Angin ini pula yang membawa I-Tsing atau Yi Jing mampir tiga kali ke wilayah yang dia sebut Laut Selatan. I-Tsing merupakan biksu asal Tiongkok dari masa Dinasti Tang yang melakukan perjalanan ziarah ke India.
I-Tsing mendarat pertama kali di Fo-shi (Sriwijaya) pada 672 setelah berlayar 20 hari dari Guangzhou. Kedua kalinya dia ke Melayu yang sudah menjadi bagian dari Sriwijaya, setelah belajar sepuluh tahun (675-685) di Nalanda. Ketiga kalinya, dia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama lima tahun (akhir 689-695) setelah tanpa sengaja terbawa kapal ke Tiongkok pada 689.
“I-Tsing itu terdampar berhenti karena badai. Pada 672 tujuan utamanya nggak ke Nalanda, nggak berencana singgah dulu ke Melayu,” jelas Retno Purwanti, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, dalam dialog sejarah “Jejak Sriwijaya di Bumi Jambi” live di kanal Youtube dan Facebook Historia.id.
Demikian halnya dengan kedatangan Atisha Dipankara Sri Jnana ke Swarnadwipa pada 1012-1024. Dia merupakan guru Buddha dari Kekaisaran Pala yang melakukan perjalanan ke Swarnadwipa dengan menumpang kapal pedagang.
Tujuan Atisha adalah menerima ajaran langsung dari Sherlingpa Darmakirti, guru Buddhis dari Swarnadwipa yang tersohor pada masa itu.
Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya
Melihat masanya, kata Junus Satrio Atmodjo, arkeolog yang kini menjadi bagian dari Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACB), abad ke-11 adalah era ketika perdagangan maritim Nusantara, khususnya Sumatra, begitu ramai.
“Kalau lihat banyaknya temuan keramik Tiongkok, dari Dinasti Sung, perdagangan saat itu lagi seru-serunya,” kata Junus.
Karenanya dengan kembali mengutip Iwan Pranoto, embusan angin muson membuat hubungan antarkawasan menjadi cukup mudah. Khususnya dalam hal pertukaran barang, ilmu, dan budaya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar