Wacana Pengembalian Benda Jarahan Inggris
Tuntutan pengembalian benda jarahan Inggris dari Keraton Yogyakarta usai Geger Sepehi pada 1812 muncul. Mungkinkah benda-benda itu dikembalikan?
Pada 1812, pecah perang Sepehi atau Sepoy antara Kesultanan Yogyakarta melawan Inggris. Dinamakan perang Sepehi atau Sepoy karena kala itu Inggris membawa bala tentara Sepoy dari India. Gabungan pasukan Inggris, Sepoy, dan Mangkunegaran itu berhasil menaklukkan benteng Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono II pun jatuh.
Usai geger Sepehi, Inggris menjarah keraton di selatan Jawa itu. Selama empat hari hilir mudik, peti-peti berisi harta benda dari keraton diangkut dengan gerobak. Nilainya melebihi 120 juta dolar AS di masa kini.
Hasil jarahan itu diangkut ke kepatihan. Dari manuskrip hingga barang berharga lainnya dibawa ke Rustenburg (keresidenan) lalu dibagikan ke perwira dan serdadu Inggris-India. "Di dalam keresidenan (jarahan –red.) disortir semua," kata Peter Carey dalam Tur Sejarah "Jejak Inggris di Jawa 1811-1812”, di Yogyakarta, Rabu, 30 Agustus 2017.
Kisah penjarahan besar-besaran ini belakangan dibuka lagi oleh keturunan Sultan Hamengku Buwono II. Mengutip krjogja.com, Sekretaris Pengusul Pahlawan Nasional HB II Fajar Bagoes Poetranto juga mendesak pemerintah untuk membantu pengembalian benda-benda hasil jarahan itu.
“Kami mengharapkan harta dan benda bersejarah yang dijarah tentara Inggris pada Perang Sepehi tahun 1812 untuk dikembalikan. Barang-barang tersebut merupakan salah satu bagian dari milik Keraton Yogyakarta di masa Raja Sri Sultan Hamengkubuwono II,” ujar Bagoes Rabu, 22 Juli 2020.
Bagoes juga menyebut, dalam hasil jarahan itu terdapat logam emas sebanyak 57.000 ton. Namun, surat bukti kepemilikan atau kolateralnya juga dirampas. “Kami meminta agar emas tersebut dikembalikan kepada pihak Keraton atau para keturunan dari Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono II,” kata Bagoes, seperti dikutip krjogja.com.
Riset Asal-Usul
Pernyataan Bagoes tentang pengembalian barang jarahan itu, terutama mengenai emas, lalu ramai diperbincangkan. Sayangnya, tuntutan pengembalian barang-barang yang dikeluarkan Bagoes tidak didasari provenance research.
Padahal, menurut Ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Sri Margana, provenance research merupakan dasar untuk mengembalikan benda-benda tersebut. Riset tersebut untuk membuktikan bahwa benda-benda yang dimaksud benar-benar berasal dari negara jajahan.
“Jadi tidak sekedar o..iya ini kayaknya dari Indonesia, kemudian ya udah dikembalikan, enggak. Tetapi harus dibuktikan bahwa memang itu asal-usulnya dari catatan-catatan historis, catatan-catatan penting yang bisa dipakai sebagai landasan mengembalikan pada yang punya,” kata Sri Margana menjelaskan kepada Historia.
Baca juga: Inggris Menjarah Keraton Yogyakarta
Selain itu, provenance research juga penting dalam rangka produksi pengetahuan. Benda-benda yang diteliti tidak hanya dikembalikan untuk disimpan lagi di museum, melainkan dapat menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat. Hasil penelitian itu nantinya akan mengisi celah-celah dalam historiografi sebuah bangsa dan menjadi bukti baru dalam narasi sejarah yang hilang.
“Jadi dia harus memberikan efek bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Itulah mengapa syaratnya itu. Syarat pengembalian ada provenance research. Yaitu kajian yang serius, kajian yang mendalam terhadap fungsi benda itu, manfaat benda itu, bagi kebudayaan Indonesia, bagi ilmu pengetahuan, bagi sejarah itu apa. Nah itu yang kemudian dijadikan dasar,” sambung Margana.
Hal itu harus dilakukan terhadap benda-benda bersejarah dari Yogyakarta di Inggris mengingat banyaknya koleksi museum-museum Inggris yang berasal dari negara jajahan. British Museum, misalnya, mayoritas koleksinya berasal dari wilayah koloni di Asia, Afrika, dan Oseania. Bahkan, benda-benda tersebut menjadi ikon museum yang mengundang banyak pengunjung. Namun, sampai saat ini tampaknya belum ada upaya Inggris untuk melakukan pengembalian atau repatriasi.
“Setau saya Inggris juga belum melakukan apa-apa. Bahwa negara-negara di Afrika mulai membuat tuntutan, iya,” terang Margana.
Diplomasi Antar-Negara
Wacana dekolonisasi museum memang tengah ramai di Eropa. Museum-museum yang berisi benda-benda hasil rampasan selama masa kolonial dituntut untuk dikembalkan ke negara asal. Belum lama ini, Belanda telah mengembalikan keris Pangeran Diponegoro beserta 1499 benda budaya dan bersejarah lain dari Museum Nusantara di Delf.
Sri Margana, yang juga tergabung dalam tim ahli dari Indonesia dalam pengembalian keris Diponegoro, menyebut bahwa hal yang sama juga bisa dilakukan untuk benda-benda bersejarah di Inggris. Kuncinya adalah upaya diplomatik antar-kedua negara.
Baca juga: Kekejaman Inggris di Jawa
“Jadi sebetulnya, kemungkinan pengembalian itu sangat mungkin. Tapi harus dilakukan dengan upaya-upaya diplomatik yang saling menghormati masing-masing. Jadi setiap negara itu kan punya aturan, punya perwakilan diplomatik,” ujarnya.
Belajar dari pengalaman hubungan Indonesia dengan Belanda, proses repatriasi berlangsung bertahap sejak 1975. Kesepakatan-kesepakatan dan kerjasama dalam penelitian juga diadakan. Dari sana dapat diketahui mana benda yang merupakan hasil rampasan atau jarahan secara paksa dan mana yang hadiah atau sukarela.
Setelah benda-benda tersebut dikategorigan sebagai hasil ambil paksa, dilakukanlah negosiasi untuk dikembalikan. Sementara untuk benda-benda persembahan atau hadiah, tetap menjadi hak milik dan tidak perlu dikembalikan ke negara jajahan.
“Jadi kalau barang-barang yang dari Inggris ini dilakukan, ya saran saya tempuhlah cara-cara yang terhormat. Cara-cara diplomatik sebagai dua negara yang berdaulat, yang memiliki cara-cara tersendiri atau prosedur sendiri dalam hubungan antar negara,” kata Margana.
Baca juga: Jawa di Mata Pangeran Tua
Margana menambahkan, repatriasi tentu saja tidak bisa dilakukan antara negara terhadap individu. Pasalnya, benda-benda bersejarah tersebut telah menjadi properti dari negara yang berdaulat. Lembaga-lembaga negara juga tidak berurusan dengan individu, melainkan dengan lembaga negara lain yang setingkat.
“Itu harus perwakilan antar-negara. Tidak bisa individu. Seperti kalau Belanda menyerahkan keris, itu nggak bisa diserahkan pada keluarganya Diponegoro. Nggak bisa. Diserahkannya kepada Museum Nasioal karena itu aset bangsa. Tidak bisa dimiliki secara pribadi,” tegasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar