Tradisi Pengetahuan yang Digerus Zaman
Pranata mangsa ikut menyumbang keagungan kerajaan-kerajaan besar di Jawa.
MASHADI, petani asal Desa Pandansari, Brebes, Jawa Tengah, pusing dan gelisah. Dia mengeluhkan perubahan iklim dan gejala-gejala cuaca ekstrem yang membuatnya kesulitan menentukan waktu menanam bibit. Sejak dulu dia mempraktikkan pranata mangsa, ajaran orangtua dalam hal bercocok-tanam yang tak sebangun dengan penanggalan Masehi. “Tapi sekarang, susah juga ditebak, kapan musim hujan datang,” ujar Mashadi.
Mashadi hanya contoh kecil dari banyak petani tradisional yang nasibnya kian sulit akibat perubahan iklim. Perhitungan berdasar pranata mangsa kerap meleset.
Sebelumnya, eksistensi pengetahuan tradisional ini juga terpinggirkan oleh kemajuan teknologi pertanian. Rekayasa genetika yang mampu melahirkan bibit-bibit jenis baru, beragam pupuk, serta peralatan modern membuat sistem pranata mangsa seperti tak punya masa depan. Hitung-hitungannya melulu soal produktivitas.
Pranata mangsa dalam bahasa Indonesia berarti “pengaturan musim”. Sistem penanggalan ini dipercaya telah ada sebelum kedatangan orang Hindu ke Nusantara, dan ikut menyumbang bagi khazanah keagungan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Ia kemudian menjadi pengetahuan turun-temurun yang dimiliki petani Jawa. Hal ini coba diperingati kembali dalam buku Pranata Mangsa, yang termasuk dalam Seri Lawasan. Sebelumnya dalam seri ini telah diterbitkan Phit Onthel serta Uang Kuno.
Baca juga: Onthel Sepeda Cinta
Dalam sistem pranata mangsa, penanggalan musim didasarkan pada tahun surya yang panjangnya 365 hari. Menurut N. Daldjoeni, sebagaimana dikutip Sindhunata dalam buku ini, dalam pranata mangsa terdapat pertalian mengagumkan antara aspek kosmografi dan bioklimatologi yang mendasari kehidupan masyarakat tani. Perhitungannya tak kalah rumit dengan penanggalan Mesir kuno, China, Maya, dan Burma. Sistem penanggalan ini kemudian dibakukan oleh Sri Susuhunan Paku Buwana ke-VII di Surakarta pada 22 Juni 1856.
Pranata mangsa membagi periode setahun dalam 12 mangsa, yaitu kasa, karo, katelu, kapat, kalima, kanem, kapitu, kawolu, kasanga, kasapuluh, dhesta, dan saddha. Panduan dari tiap mangsa adalah bintang, yang masing-masing menandai awal dan akhir suatu mangsa. Karena itu, pengetahuan dan pengamatan rasi bintang secara konsisten merupakan perilaku yang inheren dalam kehidupan para petani tradisional di Jawa. Namun, selain bagi petani, sistem penanggalan ini juga dipakai sebagai pedoman perantau, pedagang, nelayan, bahkan untuk berperang dan menjalankan pemerintahan.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menjadikan pranata mangsa sebagai panduan untuk menyikapi keadaan iklim. Sebagai contoh, jika orang mulai menanam palawija pada mangsa kasa, maka pada mangsa katelu, saat kemarau dan paceklik memuncak, palawija dapat dipanen. Pranata mangsa juga mengajarkan petani untuk tidak terburu-buru mengolah sawah meski puncak kemarau pada mangsa katelu telah lewat. Untuk menunggu saat tepat, yakni mangsa kanem, mereka menanam padi gogo terlebih dulu.
Baca juga: Menggali Budaya Astronomi Nusantara
Salah satu hal yang membuat sistem pranata mangsa kian tak populer adalah anggapan bahwa sistem penanggalan ini berlandaskan mistisisme. Memang benar bahwa filosofi pranata mangsa kental dengan nuansa spiritualitas khas Jawa. Pranata mangsa dilandasi pandangan bahwa alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan tapi teman yang memberi berkah dan mesti dicintai. Etika ini bertujuan untuk menginternalisasi perilaku yang juga diyakini masyarakat modern, yakni mengajarkan petani untuk merancang kehidupan ekonomi dengan cara berhemat.
Perhitungan pembagian mangsa dalam pranata mangsa sendiri sebetulnya bersumber dari pengamatan pergantian iklim yang bersifat observatif. Artinya, bersifat rasional juga. Hal ini dapat dilihat dari contoh-contoh kongkret dan detail dalam menggambarkan watak tiap-tiap mangsa. Dalam mangsa kasa, misalnya, digambarkan bahwa iklimnya kering, daun-daun berguguran, belalang mulai membuat liang dan bertelur.
Hal lain yang termasuk dalam wahana pranata mangsa adalah pengetahuan jenis-jenis hama yang menyerang tanaman, berikut karakter, periode kemunculannya, serta ciri-ciri tanaman yang terserang. Hama ganjur, misalnya, digambarkan serupa nyamuk namun tak kuat terbang, sehingga penyebarannya terbatas. Hama jenis ini menyerang padi yang penanamannya terlambat. Ganjur meletakkan telur pada kelopak daun padi, kemudian menetaskan larva yang masuk ke batang padi. Serangan ini akan membunuh padi karena proses fotosintesisnya terganggu.
Baca juga: Pemimpin Ideal ala Jawa
Sebagaimana Seri Lawasan lainnya, buku Pranata Mangsa ini dilengkapi beberapa cerita pendek dan cerita rakyat dari beberapa daerah yang terkait dengan tetumbuhan, terutama padi. Selain itu, buku ini memuat jenis-jenis hama padi dan peralatan pertanian tradisional. Buku dibuka dengan syair “Sri, Isenana Ajangku” karya Sindhunata yang dibuat berdasarkan lagu “Sri Minggat” ciptaan Sonny Josz. Syair itu mewakili jeritan hati Mashadi dan para petani lain yang tergerus perubahan iklim: jagad kaya ketiban sukerta / merga tumindak srakahing manungsa / sindhung riwut udan salah mangsa / pari-pari mati dipangan ama Kala Genja / Sri, kapan kowe bali.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar