Tokio Jokio, Film Animasi Propaganda AS Masa Perang Dunia II
Tokio Jokio merupakan film animasi yang diproduksi Amerika Serikat sebagai alat propaganda pada masa Perang Dunia II. Film ini dianggap rasis terhadap orang Jepang.
DI masa Perang Dunia II, film tak hanya diproduksi untuk tujuan hiburan, tetapi juga menjadi media propaganda. Negara-negara seperti Jerman, Amerika Serikat, hingga Jepang berlomba-lomba menayangkan film live action maupun animasi yang sarat akan pesan-pesan propaganda. Tak jarang film tersebut menampilkan karakter serta adegan yang memiliki maksud untuk mempermalukan musuh, selain yang utama yakni untuk meningkatkan semangat patriotisme di kalangan penduduk negaranya.
Industri film memang tak begitu saja menghilang ketika perang berkecamuk pada 1940-an. Besarnya peran film sebagai media propaganda dimanfaatkan pemerintah untuk menarik minat masyarakat agar mau ikut ambil bagian dalam mempertahankan negara, serta melawan musuh yang dianggap mengancam kedamaian dunia. Di Amerika Serikat, sepanjang tahun 1941 hingga 1945, para animator Hollywood memproduksi banyak kartun yang tak hanya untuk menghibur tetapi juga menjadi corong propaganda di masa perang.
Menurut Henry T. Sampson dalam That's Enough, Folks : Black Images in Animated Cartoons, 1900-1960, kebanyakan film animasi tersebut menggambarkan orang Jerman, Jepang, dan Italia, dengan menggunakan stereotip rasial dan kebangsaan yang paling kejam yang pernah ada dalam industri kartun.
Baca juga:
“Praktik ini dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat yang menonton film karena ribuan pria dan wanita Amerika dari semua ras terancam kehilangan nyawa mereka dalam perjuangan hidup dan mati melawan bangsa-bangsa tersebut,” tulis sejarawan film Amerika tersebut.
Salah satu film animasi masa perang yang paling populer di Amerika Serikat adalah Tokio Jokio. Film hitam putih yang disutradarai oleh Norman McCabe dan dirilis pada 1943 itu secara terang-terangan menggunakan karikatur yang menyinggung orang Jepang.
Menurut Jim Daems dalam “Cartoons”, termuat di Race In American Television: Voices and Visions That Shaped a Nation, dalam kartun-kartun propaganda anti-Jepang yang diproduksi Amerika Serikat, stereotip dasar orang Jepang adalah karakter yang kurus, pendek, bermata sipit, berkacamatan dengan gigi tonggos, berkumis tipis, dan berbicara dengan aksen yang khas.
“Karakter-karakter seperti itu dilengkapi dengan kurangnya kesopanan moral, kecenderungan yang melekat pada kekejaman, pengabdian buta kepada Kaisar, dan kelicikan yang kejam,” tulis Daems.
Selain menggambarkan karakter orang Jepang dengan cara yang mengejek, menurut Tracey Louise Mollet dalam Cartoon in Hard Times: The Animated Short of Disney and Warner Brothers in Depression and War 1932-1945, film animasi propaganda AS juga memanfaatkan simbolisme yang kuat untuk membangkitkan kebencian dalam diri penonton terhadap musuh mereka serta mengejek upaya pertahanan mereka, mengolok-olok musuh, dan memastikan bahwa mereka tidak memancing rasa takut di dalam diri penonton.
Simbolisme ini salah satunya terlihat pada bagian awal film Tokio Jokio, di mana seekor ayam jantan berubah dengan cepat menjadi burung elang. “Ayam jantan yang membuka berita dengan cepat berubah menjadi seekor burung elang, yang dikarikaturkan agar terlihat seperti perdana menteri Jepang, Tojo. Sekali lagi, karakter burung buzzard sudah memiliki konotasi negatif bagi para penonton kartun Warner Brothers. Dalam Porky’s Poltry Plant, burung elanglah yang mengancam kedamaian peternakan Porky dan meluncurkan serangan udara terhadapnya, memicu konflik yang mengerikan di antara mereka,” tulis Mollet.
Diproduksi sebagai film propaganda di masa Perang Dunia II, Tokio Jokio tak hanya menampilkan karakter orang-orang Jepang dengan cara yang mengejek, tetapi juga mengeksplorasi hubungan negara tersebut dengan negara-negara yang tergabung dalam Poros Axis.
Contohnya adegan seekor keledai dari tokoh radio William Joyce, yang menyiarkan program propaganda Nazi kepada masyarakat Amerika Serikat dan Inggris. Keledai tersebut mengungkapkan bahwa sang fuehrer baru saja menerima kartu pos dari seorang teman yang sedang berlibur di luar negeri, yang selanjutnya diketahui bernama Rudolph Hess, yang kemudian meninggalkan sang fuehrer dan melarikan diri ke Skotlandia. Kartu pos itu menunjukkan karikatur Hess di sebuah kamp konsentrasi dengan sebuah pesan yang berbunyi, “seandainya anda ada di sini”.
“Adegan ini memungkinkan audiens untuk menangkap kesan bahwa sang fuehrer sendiri tidak memiliki sekutu, mengucilkannya, dan merendahkan pengaruhnya di seluruh dunia,” tulis Mollet.
Baca juga:
Sementara itu di Roma, karakter yang digambarkan sebagai Mussolini duduk di antara reruntuhan kota yang hancur sambil bermain yoyo. Adegan ini seakan hendak menggambarkan dampak kehadiran pasukan Sekutu di Mediterania. Kendati kehancuran Roma tidak benar-benar terjadi, adegan ini secara mengejutkan akurat dalam mengasumsikan jatuhnya kekuasaan Mussolini di Italia yang terjadi beberapa bulan setelah Tokio Jokio dirilis pada Mei 1943.
Penggambaran karakter musuh dengan stereotip rasial serta kritik terhadap kekuatan militer negara-negara Poros Axis yang dianggap lemah pada akhirnya menampilkan kesan bahwa budaya dan teknologi Amerika Serikat lebih unggul.
“Dengan menampilkan hal ini dalam batas-batas dunia animasi, Tokio Jokio mengembalikan semangat Amerika Serikat sekaligus mengejek musuhnya,” tulis Mollet. Namun, penggambaran merendahkan bangsa lain membuat film-film propaganda seperti Tokio Jokio menuai kontroversi. Bila di masa perang film ini marak ditonton oleh banyak orang, kini film tersebut justru ditinggalkan karena dianggap rasis.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar