The Mercy, Berlayar dan Tak Kembali
Kisah pelaut yang ambisius dalam pelayaran mengelilingi bumi. Berakhir tragis setelah depresi di lautan luas.
DI tengah kerumunan wartawan dan pengunjung pameran Earls Court Boat Show ke-25 tahun 1967, Donald Crowhurst (diperankan Colin Firth) tenggelam dalam lamunan kala mendengarkan kisah Sir Francis Chichester (Simon McBurney) di atas panggung. Sir Francis merupakan pelaut pertama yang berlayar mengelilingi bumi seorang diri (1966-1967). Sir Francis yang mengambil jalur lautan selatan mengarungi tiga samudera dengan sekali pemberhentian di Sydney, Australia. Hari itu, Suratkabar The Sunday Times menggelar Golden Globe Race 1968-1969 guna menantang para pelaut untuk berlayar mengelilingi bumi non-stop.
“Satu-satunya hal yang bisa saya bayangkan untuk lebih menguji seseorang mengarungi dunia sendirian adalah dengan tidak berhenti sama sekali. Seseorang pernah berkata bahwa gelombang di lautan selatan tak bisa diukur dengan inci atau kaki tapi tingkat rasa takut. Seseorang juga harus menjawab tantangan untuk keluar dari bayang-bayang orang lain dan dengan alasan itu saja, kita harus bersyukur dengan luasnya lautan dan itu jadi panggilan bagi para petualang,” kata Sir Francis di atas panggung.
Pidato itu menggugah nyali Crowhurst, pelaut amatir yang sedang membangun ekonominya dengan menjual perangkat navigator elektronik. Ia menganggap jika bisa ikut perlombaan Golden Globe Race berhadiah 5.000 poundsterling itu, perusahaan yang tengah dibangunnya, Electron Utilisation Teignmouth, akan ikut terkenal.
Baca juga: Kisah Pilot Amerika Terombang-ambing di Pasifik
Walau Clare Crowhurst (Rachel Weisz) istrinya mengkhawatirkan akan terjadi apa-apa pada suaminya, Crowhurst bersikukuh mengikuti ajang tersebut. Rumah dan aset perusahaannya pun diagunkan pada seorang investor, Stanley Best (Ken Stott), demi mendapatkan dana membangun trimaran (perahu berlambung tiga) yang didesainnya sendiri. Untuk menggalang dukungan materi dan sponsor lain, Crowhurst menyewa jasa eks wartawan Rodney Hallworth (David Thewlis) sebagai humasnya.
Namun, keraguan justru muncul dalam benaknya pada malam sebelum keberangkatan. Perasaan ingin mundur memenuhi batin Crowhurst. Ia sampai diperingatkan Hallworth dan Best bahwa dukungan sponsor tak bisa ditarik kembali dan rumah serta aset perusahannya akan disita jika mundur.
Baca juga: Manis-Pahit Petualangan SS Conte Verde
Situasi penuh dilematis itu sekadar bagian dari prolog drama biopik bertajuk The Mercy garapan sineas James Marsh. Drama tersebut diangkat dari kisah nyata petualangan Crowhurst mengarungi lautan.
Cerita lalu berganti ke momen pagi 31 Oktober 1968. Tanggal ini merupakan hari terakhir pemberangkatan peserta.
Crowhurst jadi peserta terakhir yang berangkat. Setelah dilepas keluarga, warga, hingga Walikota Teignmouth Arthur Bladon (Geoff Bladon) di Dermaga Teignmouth, dia berangkat menyusul delapan pelaut yang sudah berangkat beberapa bulan sebelumnya menggunakan Teignmouth Electron, wahana laut trimarannya. Hampir setiap pekan sekali ia melaporkan perjalanannya melalui telepon, dua catatan harian, dan masing-masing satu alat perekam dan kamera video yang disediakan BBC sebagai salah satu sponsornya.
Namun, ratusan hari sendiri hanya ditemani terik matahari siang dan ganasnya ombak lautan perlahan memengaruhi kondisi mental Crowhurst. Keadaan menjadi kian berat karena mesin trimarannya mati. Praktis Crowhurst tinggal mengandalkan angin untuk menggerakkan layar perahunya. Jiwanya perlahan terganggu. Ia mulai berhalusinasi.
Namun yang terpenting, ia sadar takkan bisa pulang karena sejak hari ke-125 ia memalsukan laporan lokasinya. Alih-alih bicara jujur kepada istri dan Hallworth bahwa ia tak pernah berlayar sampai ke selatan Samudera Atlantik, Crowhurst malah merekayasa perjalanannya. Dia bilang, sudah melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Bagaimana Crowhurst yang terombang-ambing di lautan bisa bertahan dengan mentalnya yang mulai terganggu itu? Saksikan kelanjutan kisah The Mercy di aplikasi daring Mola TV.
Menghormati Kisah Nyata
Plotnya sederhana. Iringan music scoring nan melankolis garapan mendiang komposer Jóhann Jóhannsson juga tak terlalu mendominasi setiap adegan. Marsh seolah membiarkan suara alam seperti deburan ombak atau hembusan badai mendominasi guna mengarahkan nuansa entah mengerikan, tragis, atau yang menyentuh.
Tak banyaknya dramatisasi kisah Crowhurst dalam film ini bukan tanpa alasan. Marsh beralasan mengapa dia memilih meracik filmnya seotentik mungkin sesuai fakta adalah demi menghormati sosok Crowhurst dan keluarganya.
“Filmnya dibuat seakurat mungkin dari buku harian dan rekaman komunikasinya. Saat Anda dikonfrontasikan dengan kisah nyata, di situlah Anda tahu tak bisa mengubahnya. Anda harus menghormati kisah nyata dengan tidak mengikuti narasi film konvensional sebagaimana lazimnya,” kata Marsh kepada Vulture Hound, 30 Mei 2018.
Baca juga: Just Mercy, Tiada Kata Terlambat untuk Keadilan
Baginya, kisah Crowhurst sudah menjadi narasi menarik dan tragis. Penjelasannya panjang, dari mulai bagaimana seorang pebisnis medioker menantang dirinya sendiri agar bisa dibanggakan keluarga, konflik batin dari seseorang yang mempertaruhkan segalanya demi kehormatan, hingga seseorang yang kemudian menyadari bahwa dirinya mulai dilanda gangguan mental akibat “terisolasi” di lautan.
Patut diacungi jempol adalah Colin Firth. Dia mampu membawakan semua itu dengan apik. Walau hanya berbekal membaca dua buku harian Crowhurst dan biografi The Strange Last Voyage of Donald Crowhurst (1970) karya Nicholas Tomalin dan Ron Hall, Firth bisa menghadirkan dilema, rasa putus asa dan konflik batin yang dialami Crowhurst.
Baca juga: Penerbang Amerika yang Hilang di Pasifik
Simon Crowhurst, salah satu putra Donald Crowhust, sampai mengakui bahwa peran yang dimainkan Firth sangat menyentuh. Meski begitu, Simon tak serta-merta mengatakan yang dilakonki Firth sesuai dengan apa yang dialami ayahnya. Pasalnya, untuk itu ada alasan tersendiri yang dia pun belum mengetahui pasti.
“(Peran Firth) menangkap beberapa emosi yang menyedihkan. Hal lainnya lebih kompleks dan sulit untuk diuraikan. Terutama terkait (adegan) pikiran ayah saya yang mulai kebingungan. Anda bertanya-tanya apakah rekonstruksi memori itu benar. Khususnya saat ia mengalami stres: apakah itu yang dirasakan ayah saya? Apakah itu yang ada di kepalanya ketika ia membuat keputusan-keputusan yang berakhir buruk?” ungkap Simon kepada The Guardian, 3 Februari 2018.
Terobsesi Petualangan
Sebagaimana digambarkan dalam film, Crowhurst begitu terobsesi dengan para penjelajah Inggris, terutama Kapten Robert Scott yang menjelajahi Antarktika pada 1910 dan Sir Edmund Hillary yang mendaki Gunung Everest pada 1949.
“Semua khayalan harus disingkirkan. Sementara mimpi-mimpi adalah benih dari tindakan-tindakan,” kata Crowhurst mengutip catatan harian Kapten Scott sebelum tewas di Kutub Selatan.
Baca juga: Nanggala dalam Armada Indonesia
Dalam kehidupan nyata, Crowhurst mendambakan jadi penjelajah lautan sejak kecil. Sebagaimana dituliskan Hall dan Tomalin, Crowhurst yang lahir di Ghaziabad, India pada 1932 punya mainan perahu kesayangan di samping menyimpan sebuah buklet berisi kisah ekspedisi.
“Dia punya buklet berjudul Heroes All, di mana di dalamnya berisi satu cerita, ‘Alone Around the World’, tentang pelaut solo bernama Alain Gerbault. Pesan dari kisah itu sangat menggugahnya: ‘Petualangan berarti mengambil risiko pada sesuatu…seseorang yang tak pernah berani takkan pernah berhasil; seseorang yang tak pernah mengambil risiko takkan pernah menang’,” tulis Tomalin dan Hall.
Namun, nyali Crowhurst baru tergugah setelah mendengar pelaut tua cum veteran Perang Dunia II Chichester berhasil berlayar solo mengelilingi dunia hanya dengan sekali pemberhentian di Sydney (1966-1967). Walau mengidap kanker paru-paru sejak 1958, Chichester yang berusia 65 tahun itu mampu melakoninya seorang diri menggunakan perahu Gypsy Moth IV. Dimulai di Plymouth pada 27 Agustus 1966, Chichester berlabuh di Sydney pada 12 Desember setelah 107 hari mengarungi lautan. Itu terpaksa dilakukannya untuk memperbaiki dasar lambung perahunya.
“Mari akui bahwa setelah 107 hari sendirian, Anda takkan merasa normal seperti biasanya. Kondisi saya lebih kurus dan nyeri di mana-mana. Kulit saya kian keriput dan kering. Saya merasa pelayaran ini membuat saya sadar bahwa ada sebuah batasan. Saya merindukan kekuatan tubuh saya di masa muda. Dan saya bisa mengerti bagaimana seseorang bisa berubah menjadi gila,” kata Chichester kepada Sydney Morning Herald, 13 Desember 1966.
Baca juga: Kisah Presiden Bush Terombang-ambing di Lautan
Chichester yang melanjutkan pelayarannya ke arah timur menuju Amerika Selatan akhirnya tiba kembali di Plymouth pada 28 Mei 1967. Keberhasilannya membuat Chichester diberi gelar “Sir” oleh Ratu Elizabeth II sehingga nama resminya menjadi Sir Francis.
“BBC menyiarkan langsung saat ia berlutut di hadapan ratu dalam upacara penobatan dengan sebilah pedang. Pedang yang sama saat kerajaan menobatkan Francis Drake 400 tahun sebelumnya. Bukan kebetulan rute Sir Francis keliling dunia mengingatkan pihak kerajaan pada masa berabad-abad lalu. Dia memang mengejar rekor waktu penjelajah dari era Victoria yang biasanya pulang membawa rempah-rempah, emas, wol, dan gandum,” ungkap Chris Eakin dalam A Race Too Far.
Baca juga: Enam Tragedi Kapal Selam Rusia
Hal itu membuat Crowhurst mengaguminya, bahkan sampai iri kendati sebelumnya dia kolektor banyak buku karya Sir Francis tentang penerbangan dan pelayaran. Keirian itu membuatnya menolak ikut perayaan penyambutan kepulangan Sir Francis maupun saat penobatannya.
“Ketimbang ikut merayakan ia malah berlayar ke Selat Bristol dengan temannya, Peter Beard dan hanya menyaksikan siaran ulangnya lewat televisi. Crowhurst mencibir (perayaan Sir Francis) dan berkata: ‘Apa yang bikin heboh? Chichester bukan orang pertama yang mengelilingi dunia. Perahunya pun buruk dan dia berhenti sekali di Australia. Satu-satunya hal hebat tentang pelayaran itu hanyalah usia tua Chichester’,” sambung Tomalin dan Hall.
Iri hati itu jadi satu faktor pendorong Crowhurst berambisi ikut Golden Globe Race 1968-1969 yang dihelat The Sunday Times. Crowhurst akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya dengan mengikuti lomba tersebut.
Namun, tragis menimpa Crowhurts. Ia tak pernah kembali. Sejak komunikasinya di akhir Juni, ia hilang tanpa kabar. Baru pada pagi, 10 Juli 1969, Teignmouth Electron ditemukan terombang-ambing di 1.800 mil barat daya Kepulauan Inggris oleh kapal pos Inggris RMV Picardy.
Baca juga: Musibah Kapal Hibah
Sebelum mendapati realitas itu, nakhoda Picardy Kapten Richard Box berupaya mendekati Teignmouth Electron namun tak mendapati adanya tanda-tanda kehidupan di atas dek trimaran itu. Sang pelaut mungkin tengah tertidur di dalam kabin, pikirnya. Maka peluit kapal dibunyikan sekencang mungkin sebanyak tiga kali. Namun, tiada respon balik yang didapatkan dari Teignmouth Electron. Box akhirnya memerintahkan empat anak buahnya menurunkan sekoci dan naik ke atas trimaran itu.
“Kepala kelasi Joseph Clark bersama tiga krunya memasuki kabin dan menyadari perahunya ditinggalkan pemiliknya begitu saja. Saat keluar, Clark memberikan sinyal jempol ke bawah pada kaptennya. Dari pengamatan Clark, keadaan kabin seperti ditinggalkan dengan sengaja. Karena segala sesuatunya berada pada tempatnya, termasuk buku catatan dan perangkat radio. Hanya kronometer perahunya yang hilang,” lanjutnya.
Dua buku catatan harian itupun diperiksa. Input terakhir di catatan navigasinya bertanggal 24 Juni dan catatan komunikasi radionya tertulis tanggal 29 Juni.
Sementara, salah satu kru Picardy teringat nama Teignmouth Electron. Dari suratkabar The Sunday Times yang dibawa kru itu diketahui bahwa perahu itu memang ikut perlombaan Golden Globe Race dengan pelautnya bernama Donald Crowhurst.
Awak Picardy akhirnya mengevakuasi Teignmouth Electron ke dek kapal. Kapten Box segera mengontak London dan minta bantuan pencarian orang hilang pada Angkatan Udara Amerika Serikat. Namun setelah sehari tanpa hasil, pencarian itu dihentikan dan Kapten Box membawa Teignmouth Electron ke Santo Domingo, Republik Dominika.
Baca juga: Kapal Amerika Tiga Kali Celaka di Indonesia
Tiga catatan lalu dibaca dengan seksama oleh Kapten Box. Tak ditemukan adanya tanda-tanda bencana. Semua pesan radio tertulis dengan rapi. Catatan navigasi juga dituliskan dengan baik. Tapi di tiga halaman terakhir, Kapten Box mendapati sebuah misteri dengan tulisan filosofis.
“Alas, aku takkan melihat mendiang ayahku lagi. Alam tak mengizinkan Tuhan berbuat dosa kecuali satu–yaitu rahasia. Inilah akhir permainanku dan akan diselesaikan sebagaimana yang diinginkan keluargaku. Ini sudah berakhir. Inilah belas kasihnya,” demikian bunyi catatan akhir yang dibaca Kapten Box itu.
Baca juga: Menyelamatkan Awak Kapal Selam
Mendiang Crowhurst ternyata merekayasa jalur pelayarannya, diketahui dari dua buku harian yang ia tinggalkan di kabinnya. Ketika rekayasa itu sampai ke telinga publik Inggris, keluarga Crowhurst pun kian tertekan. Media massa gencar menyebut mendiang Crowhurst sebagai penipu.
Hanya beberapa pihak yang berbesar hati memperlihatkan rasa empatinya. Salah satunya Robin Knox-Johnston, satu-satunya peserta yang mampu menyelesaikan perlombaan itu. Dia menyumbangkan hadiah lima ribu poundsterlingnya buat keluarga Crowhurst. Katanya, tak satupun manusia yang berhak menghakimi dia begitu kejam.
“Walau pada 1970 Crowhurst dianggap sebagai penipu yang berakhir menyedihkan, kini ia dianggap sebagai pahlawan yang tragis, seseorang yang jiwanya tersiksa, dan terasing dengan dunia mapan. Terlepas dari kecurangannya, ia adalah seorang berani lagi cerdas yang terpaksa bertindak demikian karena keadaan. Fakta bahwa dia membayarnya dengan lebih mahal dari yang sepantasnya jadi bukti akan kualitas dirinya,” ungkap Jonathan Raban dalam artikel “The Long, Strange Legacy of Donald Crowhurst” dalam majalah Cruising World edisi Januari 2001.
Deskripsi Film:
Judul: The Mercy | Sutradara: James Marsh | Produser: Graham Broadbent, Scott Z. Burns, Peter Czernin, Nicolas Mauvernay, Jacques Perrin | Pemain: Colin Firth, David Thewlis, Rachel Weisz, Ken Stott, Simon McBurney | Produksi: BBC Films, Blueprint Pictures, Galatée Films | Distributor: StudioCanal | Genre: Drama Biopik | Durasi: 110 Menit | Rilis: 28 November 2017, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar