Teror Mahasiswa Kiri
Gerah dengan kebijakan negerinya, sekelompok mahasiswa radikal melakukan aksi teror, dari perampokan bank hingga penculikan.
PERANG DINGIN menimbulkan gelombang kegelisahan dan kekecewaan di kalangan generasi muda Republik Federasi Jerman, atau lebih dikenal dengan nama Jerman Barat. Mereka kecewa dan marah atas dukungan negaranya terhadap setiap langkah dan manuver Amerika Serikat di berbagai belahan dunia, seperti di Vietnam dan Timur Tengah. Terlebih ketika Jerman Barat bergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dengan konsekuensi adanya pangkalan dan personel militer Amerika Serikat.
Mereka menuduh pemerintahnya dan pemerintah AS menjalankan agenda politik yang bercorak imperialistis, khususnya terhadap rakyat dan negara-negara di Dunia Ketiga. Pada saat bersamaan, mereka curiga bahwa pemerintah, partai-partai politik, dan aparat penegak hukum di Jerman Barat didominasi eks simpatisan Nazi.
Faktor-faktor itulah yang mendorong radikalisasi, dan berujung pada kemunculan kelompok militan yang menamakan diri Rote Armee Fraktion (RAF) atau Tentara Merah Jerman. Ia lebih popular sebagai kelompok “Baader-Meinhof”, berasal dari nama dua orang pendiri dan tokoh utamanya: Andreas Baader dan Ulrike Meinhof.
Kelompok berhaluan kiri ini terlibat dalam berbagai tindak kekerasan sepanjang 1970-an hingga 1980-an di Jerman Barat maupun berbagai kota di Eropa. Penculikan, pembunuhan, pemboman gedung, penyanderaan diplomat, hingga perampokan bank menjadi trade mark. Sepakterjangnya, yang selama lebih dari satu dekade menjadi kelompok paling dibenci sekaligus ditakuti pemerintah Jerman Barat, menarik minat produser film kenamaan Jerman Bernd Eichinger dan sutradara Uli Edel untuk mengangkatnya ke layar lebar dengan judul Der Baader Meinhof complex.
Benih-benih sikap radikal muncul pada 1967. Saat itu penguasa Iran, Mohamad Reza Pahlevi atau lebih dikenal dengan nama Shah Iran, mengunjungi Deutsche Oper (Opera Jerman) di Berlin Barat. Kedatangan Shah mendapat sambutan protes dari aktivis pemuda dan mahasiswa, terutama yang berhaluan kiri. Penentangan juga muncul dari kalangan jurnalis. Salah satunya jurnalis perempuan berhaluan kiri, Ulrike Meinhof, yang menulis kritik tajam terhadap rezim Shah dalam mingguan Konkret, media tempat dia bekerja.
Aksi damai itu berujung rusuh ketika para pendukung Shah Iran, bersenjatakan tongkat kayu, menyerang para mahasiswa. Ulrike Meinhof berada di tengah-tengah mahasiswa yang diserang secara membabi-buta. Dia menyaksikan betapa polisi justru ikut menyerang dan memukuli para demonstran. Salah seorang demonstran tewas ditembak polisi.
Kebrutalan polisi menimbulkan semangat perlawanan baru. Dua aktivis radikal, Andreas Baader dan Gudrun Ensslin, dan seorang aktivis perempuan meledakkan dua mall di kota Frankfurt pada 2 April 1968. Mereka ditangkap namun kekerasan berlanjut. Beberapa hari kemudian, Rudi Dutsckhe, aktivis Der Deutsche Sozialistische Studentenbund (Persatuan Mahasiswa Sosialis Jerman) yang antiperang Vietnam, nyaris tewas oleh suatu percobaan pembunuhan yang dilakukan Josef Bachmann, seorang ekstrimis sayap kanan.
Memuncaknya suhu politik di Jerman serupa dengan kecenderungan di belahan dunia lain. Film ini menyisipkan dokumentasi pemberontakan mahasiswa di Paris, pembunuhan kandidat Presiden Amerika Serikat Robert Kennedy, pemboman Amerika atas Vietnam Utara, serangan Uni Soviet ke Cekoslowakia, serta berbagai protes menentang campur-tangan Amerika di Vietnam.
Aksi peledakan yang dilakukan Andreas Baader dan Gudrun Ensslin kian mendekatkan Meinhof dengan jaringan aktivis radikal ini. Sebagai jurnalis, dia selalu menghadiri sidang-sidang pengadilan yang digelar untuk mereka. Meinhof terlibat dalam upaya pembebasan Andreas Baader dari penjara, dengan pura-pura hendak melakukan wawancara. Upaya ini berhasil, dan sejak itu Meinhof bergabung dengan kelompok Baader. Mereka kemudian pergi ke Yordania pada 1970 untuk mendapatkan pelatihan militer sekaligus akses pada persenjataan dan bahan peledak. Fasilitas itu mereka dapatkan dari salah satu faksi pejuang Palestina, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP).
Mereka tak lama berada di sana karena perbedaan pendapat tentang teknik pelatihan militer. Pihak PFLP menekankan materi pelatihan konvensional, sementara Baader dan kawan-kawan ingin pelatihan ala “gerilya kota”, yang menekankan ketrampilan khusus seperti perampokan bank. Selain itu, ada kesenjangan budaya. Para aktivis RAF terdiri dari lelaki dan perempuan yang terbiasa hidup bebas, termasuk dalam urusan seks. Hal ini kurang bisa diterima rekan-rekan Palestina mereka. Baader dan kawan-kawan pun kembali ke Jerman Barat.
Mereka mulai merencanakan aksi-aksi perampokan bank dan peledakan pangkalan-pangkalan militer Amerika. Dalam aksi di pangkalan Amerika di kota Frankfurt, sejumlah personel militer tewas dan luka-luka. Aksi teror juga ditujukan pada musuh lama mereka, yakni kantor jaringan media milik pengusaha konservatif Axel Springer, yang selalu menyerang dan menyudutkan aktivitas kiri. Sejumlah pekerja mengalami luka-luka.
Aparat merespons dengan menggulung kelompok RAF. Ruang gerak mereka dibatasi, dan akhirnya Andreas Baader, Ulrike Meinhof, Gudrun Ensslin, dan Holger Meins ditangkap pada 1972. Mereka ditahan di Stammheim, penjara dengan tingkat keamanan khusus, di utara kota Stuttgart. Tak terima menerima isolasi ekstrim, mereka mogok makan. Holger Meins meninggal dunia. Ulrike Meinhof, yang sebelum ditangkap bertindak sebagai jurubicara, ditemukan bunuh diri di selnya pada 1976, meski rekan-rekannya menyangkal kemungkinan bunuh diri.
Ketika semua tokoh RAF tertangkap, muncul generasi baru yang tak berada dalam jalur komando dari mereka yang berada di dalam penjara. Mereka menduduki kantor kedutaan Jerman di Swedia, membunuh bankir Jurgen Ponto, serta menculik dan mengeksekusi pengusaha Hans Martin Schleyer. Sebagian aksi berkaitan dengan keberadaan para pemimpin RAF di penjara. Mereka mengupayakan pembebasan senior mereka dengan metode pertukaran sandera seperti terjadi dalam kasus pendudukan kedutaan Jerman di Swedia.
Namun aksi paling fenomenal adalah pembajakan pesawat komersial milik Lufthansa, maskapai penerbangan Jerman Barat, yang dilakukan empat anggota PFLP, sekutu lama RAF. Mereka menuntut agar para tahanan RAF dan sejumlah tahanan Palestina di Israel dibebaskan sebagai ganti pembebasan sandera. Upaya tersebut gagal karena pasukan khusus antiteroris Jerman, GSG-9, mengakhiri pembajakan tersebut.
Kegagalan itu membuat para pemimpin RAF, yang mengetahuinya dari alat komunikasi khusus, memutuskan untuk melakukan bunuh diri. Andreas Baader, Gudrun Ensslin, dan Jan-Carl Raspe ditemukan tewas, sedangkan seorang anggota perempuan RAF, Imgard Moller, luka-luka akibat upaya bunuh diri yang gagal.
Kegagalan pembajakan pesawat Lufthansa dan tewasnya tokoh-tokoh utama RAF menjadi akhir dari film berdurasi 150 menit ini. Aksi-aksi mereka kemudian mengalami kemunduran setelah 1977. Meski aksi-aksi generasi kedua dan ketiga masih berlangsung hingga 1980-an, namun tak pernah mencapai skala seperti pada 1970-an. Hal ini seiring dengan melemahnya pengaruh ideologi kiri di Eropa menjelang dan sesudah runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
Film ini memang tak menjelaskan varian atau “mazhab” Marxisme yang mereka anut. Tapi kebanyakan literatur menyebut mereka, dan kelompok-kelompok serupa di Eropa, sebagai penganut kiri baru (new left), seperti disimpulkan Frans Magnis Suseno dalam Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Menurut Magnis, fenomena kiri baru di Eropa selama periode tersebut hampir secara eksklusif ditemui di kalangan kampus dan tak memiliki “basis sosial” signifikan di masyarakat luas, termasuk di kalangan buruh yang seharusnya menjadi ujung tombak dari gerakan revolusioner kiri.
Film ini memang tak berusaha membahas sisi ideologi kelompok RAF, tapi lebih menyoroti aksi-aksi teror mereka dan perdebatan mengenai target teror yang mengarah pada percekcokan di antara tokoh-tokoh utamanya. Tak jelas juga apa sebenarnya tujuan atau obsesi mereka. Sepintas mereka lebih mirip kaum “anarkis” yang semata-mata melihat “negara” dan aparatusnya sebagai musuh yang harus dilawan, namun tanpa mempersiapkan infrastruktur dan kondisi objektif bagi suatu revolusi sosialis.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar