Suromo DS, Maestro Seni Cukil Indonesia
Menghidupkan seni cukil yang kurang diminati. Ketekunannya menginspirasi seniman lain.
Pada awal 1950-an, seni cukil belum diminati secara serius oleh para seniman. Para pelukis dan pematung biasanya hanya membuat cukilan kayu untuk mengisi waktu luang. Peralatan dan bahannya pun sederhana. Misalnya menggunakan kentang atau ubi jalar yang digores seperti membuat stempel, maupun menggunakan batang bambu yang dicukil kemudian dicapkan ke atas kertas merang atau kertas padi.
Saat itu, menurut Mustika dalam Seni Rupa Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, seni cukil hanya dianggap sebagai latihan untuk memperlancar atau mengembangkan teknik atau cara melukis. Namun, dengan ketelatenan yang lebih, seorang seniman asal Surakarta, Suromo DS berhasil menghidupkan nyawa seni cukil di kancah seni rupa Indonesia.
Suromo Darpo Sawego lahir pada 11 Oktober 1919 di Surakarta. Pria lulusan sekolah menengah pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) ini mulai belajar menggambar pada pelukis Pirngadi di Jakarta pada 1937.
Baca juga: Pelopor Seni Lukis Modern Indonesia
Suromo juga belajar keramik, melukis kaca timah, dan tata dekorasi pada arsitek Robert Deppe. Pada tahun yang sama, ia mulai melukis dan bergabung dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi).
“Pada masa sesudah Persagi ia tetap dikenal sebagai pelukis yang aktif, dengan sifat sebagai een geboren schilder (pelukis berbakat), yang lebih suka bekerja dengan produktif daripada berdebat dalam wacana,” tulis M. Agus Burhan dalam Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 1900-1942.
Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada 1943, Suromo bergabung dengan organisasi kebudayaan bentukan Jepang, Keimin Bunka Sidosho dan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) Jakarta. Kemudian pada 1945, dia turut serta dalam aksi corat-coret poster di Jakarta dan Surakarta. Setahun pasca Proklamasi, ia bersama Affandi menyelenggarakan pameran perjuangan seni lukis di Universitas Indonesia.
Pada 1946, Suromo bersama Sudjojono dan pelukis lain pindah ke Surakarta. Mereka mendirikan organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM). Berpusat di Surakarta, SIM memiliki cabang di Yogyakarta dan Madiun.
Baca juga: Koleksi Seni Istana Tak Terpelihara Era Orba
“Ia kemudian belajar grafis kepada seorang tukang klise. Dengan itu ia bisa memenuhi pesanan pelukis Sudjojono yang memintanya membuat ilustrasi dengan teknik cukil kayu untuk majalah SIM,” tulis FX Mulyadi, Hari Budiono, dan Ipong Purnama Sidhi dalam Setengah Abad Seni Grafis Indonesia.
Di SIM, Suromo bertanggung jawab mengelola cabang seni keramik dan seni grafis dan secara khusus mengajar seni cukil kayu. Namun, SIM bubar pada 1949 karena agresi militer Belanda. Ia kemudian bergabung dengan kepengurusan Himpunan Budaya Surakarta (HBS).
Mia Bustam dalam Sudjojono dan Aku menyebut Suromo memimpin seksi seni rupa HBS, serta menjadi pengajar di ASRI pada 1952. Ia juga merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) cabang Yogyakarta. Menurut Mia, wajah Suromo turut dilukis Sudjojono dalam lukisan Kawan-Kawan Revolusi (1947).
Kaboel Suadi dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia, sejak awal Suromo membuat sendiri peralatan dan perlengkapan cukilnya dan seringkali mengangkat tema-tema perjuangan dan revolusi.
“Bermodalkan peralatan sederhana yang dibuatnya itu, dia mengerjakan karya cukil kayu. Objek yang menarik tentu saja kehidupan hangat sehari-hari yang diliputi suasana perjuangan. Di antara karyanya yang berjudul Penghadangan Gerilya dan Pertempuran Gerilya,” tulis Kaboel.
Kaboel menyebut ketelitian kerja pada karya cukil kayu Suromo hampir mendekati teknik engraving. “Biasanya teknik engraving dipergunakan orang bagi perwujudan yang amat terikat pada gambar, khususnya tuntutan gambar yang sifatnya realistis. Demikian pula karya grafis Suromo yang beranjak tidak jauh dari realisme,” tulisnya.
Selain melakukan berbagai pameran, salah satu pencapaian besar Suromo ialah mengikuti pameran biennale di Italia untuk seni cukilan kayu pada 1954.
Keseriusan Suromo dalam mengembangkan seni cukil mendapat perhatian cukup besar dari para seniman lain yang baru mengenal seni cukil yang saat itu terbilang baru. Meski demikian, gagasan realisme dalam seni cukilnya tidak banyak diikuti.
“Cukil kayu Suromo hampir tidak ada yang mengikuti, tidak juga para mahasiswa dari ASRI. Realisme Suromo membutuhkan ketelitian kerja yang terikat disiplin. Teknik cukil kayunya hampir menjadi wood-engraving,” jelas Kaboel.
Sejak Suromo giat membuat cukil kayu, cukup banyak seniman yang mulai membuat karya-karya cukil seperti Mochtar Apin, Baharuddin Marahsutan, Oesman Effendi, dan Zaini.
Rino Wijaya, anak keempat Suromo mengatakan bahwa ayahnya melarang anak-anaknya menggeluti dunia seni.
“Sama almarhum diberi pesan tidak boleh jadi seniman. Beliau bilang kalian cari makan apapun terserah. Jangan jadi seniman, jadi seniman itu susah hidupnya. Yang sangat kami ingat di situ,” kata Rino Wijaya kepada historia.id.
Pasca peristiwa 1965, banyak seniman yang terafiliasi dengan Lekra dipaksa tiarap. Sejak 1966, Suromo kemudian memilih menjadi wiraswasta. Namun, ia tetap berkarya baik lukisan, keramik maupun cukil kayu, meski tidak lagi mengadakan pameran.
Baca juga: Geliat Seni Rupa Semasa Pendudukan Negeri Sakura
“Tidak lepas dari berkarya, baik itu di keramik, lukisan, atau seni cukil kayu. Pokoknya tidak jauh dari urusan seni. Sampai beliau menjelang meninggal pun masih sempat pegang (membuat karya seni) apapun yang bisa dipegang,” ujar Rino.
Suromo meninggal dunia pada 23 Januari 2003. Pada hari kematiannya, ribuan pelayat memenuhi rumah Suromo di Bausasran, Yogyakarta. Beberapa seniman termasuk pelukis kawakan Djoko Pekik juga meminta Suromo dimakamkan di Makam Seniman Girisapto Imogiri.
“Tapi ibu tidak membolehkan, alasannya kalau di Imogiri nanti menengoknya jauh. Sudahlah pokoknya dekat sini saja kalau aku menengok bapak nggak jauh-jauh,” ungkap Rino.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar