Sultan Hamengkubuwono IX dan Skripsinya
Sedang mengerjakan skripsi, Sultan Hamengkubuwono IX dipanggil pulang karena perang. Berniat akan menyelesaikan, skripsinya malah disita tentara Belanda. Lulus dengan ijazah khusus.
Setelah lulus HBS (Hogere Burgerschool) di Bandung, pada Maret 1930, Gusti Raden Mas Dorodjatun berangkat ke Negeri Belanda untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebelumnya, dia masuk sekolah Gymnasium di Haarlem, karena perbedaan mutu pendidikan sekolah menengah dengan di Hindia Belanda, sehingga dia baru lulus pada 1934.
Henkie, panggilannya, kemudian melanjutkan ke jurusan Indologi di Universitas Leiden, universitas tertua dan terkemuka. Orang-orang Belanda yang akan bekerja di pemerintahan Hindia Belanda biasanya mengambil jurusan Indologi.
Di samping kuliah, Henkie bergabung dalam organisasi mahasiswa, seperti Leidse Studentencorps, Verenigde Faculteiten, dan Minerva.
Henkie berhasil lulus dengan baik dalam candidaats-examen tahun 1937. Dia mendapat ijazah candidaat Indologi sehingga boleh melanjutkan pada tingkat doktoral (sarjana lengkap). Pada tahap ini, dia mengambil vak ekonomi sebagai mata kuliah pilihan, di samping beberapa vak penting lainnya.
Baca juga: Sukarno Kuliah dengan Biaya Sendiri
Sayangnya, Perang Dunia II pecah pada 1939. Sultan Hamengkubuwono VIII mencemaskan putra-putranya yang sedang kuliah di Belanda. Dia mengirim telegram meminta mereka pulang secepat mungkin, selagi keadaan masih memungkinkan.
Di satu sisi, Henkie merasa kecewa karena tidak menyelesaikan pendidikannya. Di sisi lain, dia merasakan kecemasan keluarganya karena situasinya memang gawat. Apalagi kesehatan ayahnya mengalami kemunduran.
"Semoga saja studi yang tinggal sebentar itu dapat diselesaikan pada waktu lain dan naskah skripsi yang boleh dikatakan telah siap dan kini berada di koper dapat juga diajukan kepada sidang guru besar di Universitas Leiden," pikir Henkie sebagaimana termuat dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX.
Baca juga: Bung Hatta Membayar Beasiswa di Belanda
Henkie kembali ke Hindia Belanda dengan menumpang kapal barang, Dempo. Berminggu-minggu dalam perjalanan, akhirnya sampai di pelabuhan Tanjung Priok pada 18 Oktober 1939. Dia langsung menuju Hotel des Indes (sekarang pusat pertokoan Duta Merlin), tempat ayahnya menginap. Selama tiga hari menginap di hotel itu terjadi peristiwa penting: Sultan Hamengkubuwono VIII menyerahkan keris Kyahi Jaka Piturun kepada Henkie.
"Keris pusaka ini, yang sampai sekarang tersimpan baik-baik di Keraton, selalu diserahkan oleh raja kepada seseorang yang diinginkannya menjadi putra mahkota. Dengan penyerahan keris tersebut pada saya waktu itu, menjadi jelaslah maksud ayah bagi saya dan saudara-saudara saya," kata Henkie.
Tak lama kemudian, Sultan Hamengkubuwono VIII meninggal pada 22 Oktober 1939. Henkie menggantikannya dan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono IX pada 18 Maret 1940.
Sultan kemudian berperan penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dia menjadikan wilayahnya, Yogyakarta, sebagai ibu kota darurat Republik Indonesia, yang menghadapi agresi militer Belanda. Keratonnya menjadi tempat berlindung bagi tokoh-tokoh Republik.
Tak hanya menolak kerja sama dengan Belanda, Sultan juga merencanakan Serangan Umum terhadap Belanda pada 1 Maret 1949. Dia membicarakannya dengan Letkol Soeharto pada 13 Februari 1949.
Belanda mencium pertemuan itu. Beberapa hari kemudian, pada 22 Februari 1949, tentara Belanda menyerbu Kepatihan Danurejan, kantor Sultan.
Mula-mula mereka mendatangi kantor Sekretariat Dewan Pertahanan Daerah yang menempati ruangan di sebelah barat bangsal Kepatihan. Tempat ini diobrak-abrik dan para pegawainya ditawan. Setelah itu, mereka mengobrak-abrik seluruh kantor.
"Banyak barang diangkut oleh tentara Belanda, menurut Hamengkubuwono IX termasuk surat-surat penting, naskah skripsi yang disusun ketika belajar di Negeri Belanda, dan juga rencana lengkap dari demokratisasi desa sebagaimana telah diterapkannya pada akhir zaman Jepang di Yogyakarta," demikian tercatat dalam Tahta untuk Rakyat.
Sultan protes kepada Mayor Jenderal Meyer, panglima tentara Belanda.
"Kejadian di kantor Kepatihan beberapa hari yang lalu telah sangat menyinggung kehormatan saya. Anak buah Anda telah bersikap sangat tidak sopan dan mengadakan perampokan," kata Sultan.
"Soal Kepatihan itu bukan instruksi saya," jawab Meyer.
"Apalagi jika tanpa instruksi, berarti anak buah Anda berbuat di luar perintah dan indisipliner. Dan sekarang ini pun hal yang sama dapat tuan lakukan di Keraton saya karena tuan bersenjata dan saya tidak. Akan tetapi sebelum tuan melakukan itu, tuan harus membunuh saya dulu," tegas Sultan.
Mendengar perkataan tersebut, Meyer dan tujuh orang rekannya gagal menundukkan Sultan untuk mengajaknya bekerja sama dengan Belanda.
Baca juga: Sebuah Usaha Mengenal Sultan Hamengkubuwono IX
Dalam Sang Demokrat Hamengku Buwono IX: Dokumen Setelah Sri Sultan Mangkat, Sultan mengungkapkan bahwa dia sebenarnya berniat menyelesaikan skripsinya. Tapi revolusi pecah. “Semuanya jadi berantakan karena skripsi saya yang belum selesai itu ikut disita tentara Belanda ketika mereka menduduki Yogyakarta pada aksi militer kedua,” kata Sultan. Barangkali tentara Belanda mengira skripsi itu dokumen penting yang harus mereka pelajari.
Kendati tak membuat skripsi, Sultan Hamengkubuwono IX kemudian dinyatakan lulus secara khusus. 65 tahun setelah skripsinya disita tentara Belanda, pada 27 Februari 2014, Rektor Universitas Leiden Prof. Carel Stolker menyerahkan ijazah Sultan Hamengkubuwono IX kepada putranya, Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Yogyakarta.
"Ini pertama kali dan satu-satunya (Universitas Leiden memberikan ijazah khusus)," kata Carel Stolker, dikutip radarjogja.jawapos.com.
Ijazah itu melengkapi koleksi Museum Sultan Hamengkubuwono IX yang berada di kompleks Keraton Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar