Serba-serbi Nanas yang Menggemparkan Penduduk Eropa
Kegilaan terhadap buah nanas melanda orang-orang Eropa di abad ke-18. Dipandang sebagai simbol status kalangan atas, nanas menghiasi berbagai acara penting. Bukan untuk dimakan tetapi sebagai dekorasi.
NANAS merupakan salah satu buah tropis yang digemari banyak orang. Daging buahnya yang berwarna kuning tak hanya dapat disantap secara langsung, tetapi juga bisa diolah menjadi selai atau dikombinasikan dengan berbagai bahan makanan lain untuk menjadi sebuah hidangan lezat. Tak hanya memiliki rasa yang manis dan segar, nanas juga mengandung banyak manfaat untuk kesehatan, seperti dapat meningkatkan daya tahan tubuh, mengatasi gangguan pencernaan, menjaga kesehatan tulang dan mata, hingga mengurangi risiko kanker.
Yang menarik, nanas tak hanya memiliki beragam manfaat yang baik untuk tubuh. Nanas juga menyimpan banyak kisah unik yang berkaitan dengan sejarah penyebaran buah ini di berbagai negara dunia, contohnya di Eropa.
Kehadiran nanas di Benua Biru tak dapat dilepaskan dari kegiatan bangsa Eropa dalam melakukan penjelajahan untuk menemukan Dunia Baru. Ekspedisi ini bahkan telah berlangsung sejak abad ke-15. Menurut Kaori O’Connor dalam Pineapple: A Global History, salah satu orang Eropa yang pertama kali “menemukan” nanas adalah Christopher Columbus, ketika sang penjelajah mendarat di Pulau Karibia yang kala itu ia beri nama Santa Maria de Guadeloupe pada 4 November 1493.
Baca juga:
Nanas yang ditemukan Columbus berwujud bagaikan labu siam yang tampak seperti buah pinus berwarna hijau dan berbentuk kerucut. Meski begitu, buah ini memiliki ukuran yang lebih besar dan daging buahnya padat seperti melon namun lebih manis dalam hal rasa dan aromanya. Columbus yang terpesona dengan buah tropis itu kemudian mengangkut beberapa buah nanas ke dalam kapalnya.
“Terlepas dari daya tarik buah ini, penemuan pertama buah nanas adalah sebuah kekecewaan, karena tujuan dari pelayaran pada zaman penjelajahan Eropa yang berangsung dari awal abad ke-15 hingga awal abad ke-17 adalah untuk menemukan sumber kekayaan berupa emas, perak, mutiara, hingga rempah-rempah. Meski begitu, penemuan makananan baru seperti nanas pada akhirnya akan mengubah cara makan Eropa dan seluruh dunia,” tulis O’Connor.
Pada abad ke-16, nanas menjadi salah satu hasil bumi yang kerap ada di kapal-kapal orang Eropa yang tengah kembali ke negara asalnya usai melakukan penjelajahan di wilayah barat. Buah ini umumnya menjadi hadiah untuk raja karena bentuknya yang unik dan rasanya lezat. Dalam beberapa kasus, beragam flora maupun fauna eksotis yang tidak ada di Eropa justru berperan penting dalam diplomasi tingkat tinggi.
Francesca Beauman menulis dalam The Pineapple: King of Fruits bahwa pada abad ke-17, sebuah nanas pernah diberikan kepada Raja Charles II dari Inggris sebagai hadiah dari sebuah konsorsium yang berkepentingan dengan Barbados. Buah nanas itu diharapkan dapat membujuk sang raja untuk bersedia memberlakukan harga minimum pada penjualan gula.
“Raja sangat tertarik dengan buah unik itu, dan bersedia untuk mempertimbangkan petisi tersebut. Siapa pun orang jenius yang berpikir untuk mempersembahkan nanas kepada Raja, itu mungkin telah membantu para pekebun berhasil mencapai hasil yang mereka harapkan,” tulis Beauman.
Tak butuh waktu lama hingga nanas menjadi salah satu buah favorit di Kerajaan Inggris. Buah tropis ini muncul dalam jamuan makan malam kerajaan yang digelar megah dan mewah. Salah satu tamu yang hadir dalam jamuan makan malam tersebut, Duta Besar Prancis Charles Colbert, Marquis de Croissy, begitu terkesan dengan buah nanas dan segera melaporkan kepada tuannya, Raja Louis XIV. Kabar mengenai buah eksotis itu tersebar ke berbagai penjuru Eropa. Tak hanya para bangsawan, orang-orang biasa juga banyak yang memperbincangkan. Di sisi lain, ketertarikan Charles II terhadap nanas membuatnya ingin membudidayakan buah tropis itu di Inggris. Sayangnya upaya ini sulit dilakukan karena buah tersebut membutuhkan matahari yang berlimpah untuk tumbuh.
Mencoba menanam nanas di bawah langit Inggris yang dingin dan sering hujan jelas merupakan proyek yang tidak masuk akal. Namun pada abad ke-18, seorang tukang kebun Belanda bernama Henry Telende dengan dukungan dana dari majikannya yang ambisius, Sir Matthew Decker, berhasil melakukan hal ini di halaman rumah mewah keluarga Decker di Richmond, London Barat. Menurut Gary Y. Okihiro dalam Pineapple Culture: A History of the Tropical and Temperate Zones, Tellende berhasil membudidayakan buah eksotis tersebut dengan memanfaatkan teknologi rumah kaca berpemanas sekitar tahun 1720.
Kehadiran rumah kaca berpemanas ini menyebabkan persaingan ketat dalam pembudidayaan nanas di antara orang-orang kaya Eropa. Meski Belanda memelopori teknik ini, Inggris dan Prancis adalah dua negara Eropa yang berambisi untuk mengembangkan budidaya nanas secara besar-besaran. Kendati nanas kini dapat dibudidayakan di Eropa, prosesnya tetap tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada di daerah tropis. Biaya selangit untuk mendukung tanaman, ruma kaca, dan orang-orang yang memelihara buah itu pada akhirnya meningkatkan reputasi nanas sebagai simbol status dalam masyarakat.
Baca juga:
Mengoleksi tanaman langka dan menunjukkan ketertarikan terhadap pembudidayaan tanaman-tanaman seperti nanas dianggap sebagai kegiatan tepat bagi para bangsawan dan orang kaya –baik pria maupun wanita– setara dengan mengoleksi barang seni dan barang antik. Tak heran di kalangan elite, minat untuk menanam nanas mencapai puncaknya hingga memicu persaingan sengit di antara orang-orang berdompet tebal. Popularitas buah nanas yang begitu tinggi di kalangan orang-orang kaya menyebabkan tukang kebun yang berbakat dapat meminta bayaran sangat besar untuk membudidayakan nanas. Sudah bukan hal aneh bila tanaman nanas muda diperdagangkan di antara teman atau bahkan dicuri dari musuh.
“Hal ini menjadi ironi ketika mendengar laporan bahwa, di daerah koloni tropis, nanas begitu umum sehingga mereka diremehkan. Di Suriname pada masa kolonial, ada banyak jenis yang berbeda, tumbuh liar tanpa dibudidayakan dalam jumlah yang melimpah sehingga ‘di banyak perkebunan, nanas menjadi makanan umum bagi babi.’ Di Sierra Leone dan Formosa (Taiwan), nanas tumbuh liar di pinggir jalan, sementara di Ceylon (Sri Lanka), buah nanas berkualitas tinggi dapat dibeli dengan harga murah,” jelas O’Connor.
Buah nanas yang dianggap sebagai simbol stasus sosial masyarakat Eropa pada abad ke-18 mendorong para tukang kebun di Inggris berlomba-lomba menanam nanas di rumah mereka untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat. Selain membudidayakan nanas, orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat juga membeli nanas dalam jumlah besar untuk dipamerkan ketika menggelar jamuan makan malam, pesta dansa, dan berbagai acara-acara penting lain. Nanas yang dijual dengan harga tinggi tak hanya menjadi simbol kemewahan tetapi juga menjadi tanda kekuatan daya beli para kaum elite masa itu.
Hannah Rose Woods menulis dalam Rule, Nostalgia: A Backwards History of Britain bahwa selama beberapa dekade berikutnya, kegilaan terhadap nanas menjadi hiruk-pikuk nasional sehingga memunculkan peluang usaha industri kecil. Earl of Dunmore sampai membuat sebuah patung nanas yang menjulang tinggi di atas rumah kaca di tanah miliknya di Stirlingshire. Toko-toko penyewaan nanas bermunculan bagi para muda-mudi yang tidak memiliki dana untuk membelinya sendiri, namun dapat meminjamnya selama satu malam untuk dipajang sebagai pusat perhatian di pesta-pesta mereka. Begitu mahalnya harga buah tropis ini, sampai-sampai nanas yang sedang dalam perjalanan terkadang harus menyewa penjaga keamanan sendiri.
Satu hal yang menarik dari kegilaan nanas yang terjadi di Eropa, khususnya Inggris, adalah nanas yang ditanam di perkebunan hanya sesekali saja dimakan. Sebab, biaya pembudidayaan yang mahal membuat orang beranggapan memakan buah nanas sebagai pemborosan. Dengan demikian, nanas lebih sering digunakan sebagai dekorasi yang dihidangkan di atas meja. Disajikan dengan hidangan penutup, nanas ditempatkan di puncak piramida buah (anggur, stroberi, jeruk, dan sejenisnya), disusun di atas piring perak dan diletakkan di tengah meja agar semua orang yang hadir dapat berteriak “ooh” dan “aah”. Sebagai pusat perhatian, sering kali hidangan ini dibuat untuk bertahan selama beberapa waktu, diberikan dari satu pesta ke pesta lainnya hingga mulai membusuk dan menyebarkan bau tak sedap ke seluruh penjuru rumah. Meski begitu, seiring berjalannya abad ke-18, nanas mulai umum untuk dimakan dan bukan hanya dikagumi.
Baca juga:
Popularitas nanas yang tinggi juga mendorong seorang pengusaha tembikar bernama Josiah Wedgwood untuk membuat keramik bertema nanas yang dipasarkan untuk kalangan kelas menengah pada tahun 1760-an. Pemujaan terhadap nanas yang berujung pada pemborosan dan bermewah-mewahan lambat laun memicu kontroversi di kalangan masyarakat. Budaya konsumerisme yang tak terkendali akibat kegilaan terhadap nanas membuat sejumlah orang khawatir hal ini dapat merusak moral masyarakat. Gesekan di antara rakyat miskin yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan kalangan elite yang tak segan menghamburkan uang hanya untuk menanam buah nanas yang harganya sangat mahal dan membutuhkan waktu cukup lama hingga bertahun-tahun untuk tumbuh juga dikhawatirkan semakin memanas akibat kegilaan ini.
Suara sumbang terkait dengan kegilaan nanas pada akhirnya mereda seiring dengan semakin mudahnya masyarakat untuk mendapatkan buah tropis ini di wilayah Eropa pada abad ke-19. Nanas yang dahulu eksklusif dan sempat menjadi simbol kesombongan orang-orang kaya, kini tak lagi dianggap sebagai mode dan kegilaan terhadap buah tropis itu pun lambat laun menghilang dari Benua Biru.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar